Dinara memutar bola matanya malas sebab nasi goreng yang tadinya dia siapkan untuk diri sendiri sekarang harus dia bagi dua. Setelah memutuskan untuk membawa Sandi masuk kedalam rumahnya, dia harus merelakan porsinya dibagi dua. Lelaki yang duduk santai lesehan di ruang tamu itu makan dengan super lahap seolah tidak sempat makan tiga hari.
"Lo ada acara di rumah gak sempet colek makanan dikit gitu?" sarkas Dinara sembari menyuap nasi goreng di piringnya.
"Jangankan makanan, gue aja kaget yang dateng tiba- tiba sekampung. Awalnya gue cuma ngajakin sepuluh orang. Eh mereka pada ngajakin pacarnya, belum lagi pacar- pacarnya pada bawa temen," ujar Sandi menggebu.
Lelaki itu meneguk air dalam gelas yang juga sudah Dinara siapkan sebelumnya. Piringnya sudah bersih sekarang.
"Tempat cuci piringnya dimana, Nar?" tanya sandi sembari berdiri.
Dinara yang baru saja menghabiskan nasinya ikut beranjak. "Sini biar gue aja!" Tangannya hendak menagih piring di tangan Sandi. Namun dengan cepat lelaki itu berkilah.
"Biar gue aja. Kalo cuma cuci piring sendiri gue masih bisa, kok!" ujarnya.
Dinara mengernyit, dalam hati dia berbisik, yaa bagus kalau tahu diri. Gadis itu melangkah menuntun, membiarkan Sandi yang sudah berdiri di depan tempat cuci piring mulai dengan menggulung lengan kemejanya dan mencuci alat makan mereka berdua. Dia bahkan sekaligus mencuci alat masak yang sempat Dinara gunakan.
"By the way, orang tua lo udah tidur? Sorry gue jadi ganggu malem- malem gini," ujarnya.
Dinara bersender di kulkas mengawasi, "udah berangkat keluar kota tadi sore," balasnya.
Bibir Sandi membentuk huruf o, "kalo Dikta?"
"Udah tidur," balas Dinara lagi.
Sandi mengangguk paham. "Keluarga gue juga lagi pada pergi. Biasanya cuma orang tua aja yang berangkat, ini tumben banget Sean ikut. Mungkin karena lagi libur, ya? Kakak Kelasnya lagi ujian sekarang, " Sandi menerangkan cukup panjang.
Dinara tak pernah menyangka akan membicarakan hal- hal semacam ini dengan pria yang dulu dikenal sebagai cinta pertamanya SMA Tunas Raya. Katanya, siapapun yang baru masuk SMA Tunas Raya pasti akan mengidolakan Sandi Arsena. Wajar sih, dengan paras rupawan, tubuh atletis, dan segudang prestasi dalam hal olahraga membuatnya cukup menonjol. Apalagi Sandi juga merupakan pentolan dari ajang Putra Putri Daerah yang membuatnya semakin terkenal.
Selama tiga tahun, mereka berdua berada di kelas yang sama. Meski begitu, seolah tak ada interaksi berarti diantara mereka. Keduanya mungkin hanya sekedar tahu nama. Dinara si juara kelas yang selalu sibuk berangkat pembinaan olimpiade dan sibuk mengurus ekstra kurikuler jurnalistik di sekolah. Sementara Sandi yang sibuk persiapan Porseni dan terkadang ikut bolos untuk nongkrong di gang belakang sekolah.
Kalaupun keduanya berada di kelas, hampir tak pernah bicara secara langsung. Dinara si penghuni bangku depan dan Sandi penghuni bangku belakang. Bahkan keduanya tak pernah berada dalam kelompok yang sama. Mereka teman sekelas yang tidak pernah benar- benar saling kenal.
Dinara terkesiap saat Sandi dengan jahil justru mencipratkan sisa air di tangan kearahnya. Gadis itu mendengus kasar dan memasang tatapan membunuh.
Sandi tanpa takut justru tertawa kecil.
"Udah, gak usah sok diserem-seremin gitu tampangnya. Lo justru kelihatan lucu," ujarnya santai berlalu dari hadapan Dinara. Bak di rumah sendiri, lelaki itu bahkan kini sudah kembali duduk di kursi panjang milik Dinara.
"Masih laper gak, Nar?"
Dinara yang masih sewot menanggapi dengan ketus, "ya masih, lah!"
Meskipun tubuhnya terlihat ramping, Dinara kalau urusan makan nomor satu. Lagipula nasi goreng yang dia buat satu porsi justru dibagi dua, tidak mungkin dia kenyang.
"Jajan keluar, yuk! Kemaren gue lihat diseberang ada semacam alun- alun gitu," ujar Sandi yang memancing Dinara untuk kembali mengerutkan dahi.
"Lo gak inget kenapa lo disini? Kan lagi sembunyi, kok malah keluar?"
Sandi tertawa kecil sembari menjelaskan rencananya. "Mereka masih pada di dalem. Lagian kan kita keluar pake mobil lo, jadi gak bakal ketahuan. "
Dinara sih sebenarnya paling malas kalau keluar rumah begini. Dia lebih suka pesan secara online dan makan di rumah. Tapi Dinara pikir kesempatan ini bisa jadi kedempatan tepat untuk membayar kiriman Sandi tadi siang.
"Yaudah, tapi gue yang bayar!" ujar Dinara.
"Kok gitu?" Sandi kini giliran bingung.
Dinara naik keatas menuju kamarnya guna mengambil dompet dan ponselnya. "Gue gak mau punya utang. Tadi lo kirimin gue makan siang, sekarang giliran gue yang bayar," terangnya.
Sandi hendak menanggapi, namun melihat Dinara sudah menghilang membuatnya menahan diri. Ikuti saja lah apa yang gadis itu sebutkan. Sudah bagus Dinara mau menampungnya malam ini sehingga dia tidak perlu pusing mendengar ocehan memekakkan telinga dari wanita- wanita menyebalkan yang terus mengganggu harinya.
Dinara memainkan kunci mobil di tangannya sembari memimpin Sandi berjalan menuju garase mobil. Kali ini Dinara juga yang menyetir mengingat Sandi harus membungkuk dan bersembunyi saat lewat di depan rumah. Meskipun orang luar tak bisa melihat kedalam mobil Dinara, mereka memutuskan untuk tetap waspada..
Setelah berhasil keluar dari kompleks, barulah dia kembali menegakkan tubuh dan bernafas lega. Dinara yang meliriknnya sekilas hanya memasang tampang julid, "udah kaya bawa buronan negara aja," celetuknya.
Tak sampai lima belas menit, keduanya tiba di alun-alun. Saat turun, Dinara langsung dimanjakan oleh aneka jajanan malam yang mengundang selera.
Dinara berjalan di depan sementara Sandi mengekori dibelakang. Dinara hampir saja berteriak saat merasakan hoodienya ditarik kebawah.
Sandi berbisik, "ada om-om mesum yang liatin pantat lo dari tadi," Dinara mendadak bergidik ngeri sembari mempertahankan posisi hoodienya agar tetap menutupi bagian belakang tubuhnya.
Melihat Dinara yang berjalan lucu membuat Sandi terkikik. Padahal tidak ada om-om mesum, dia hanya ingin menjaga Dinara dari pandangan- pandangan tidak etis, termasuk pandangannya sendiri.
Keduanya berhenti di salah satu stan yang menjual lumpia, lalu berpindah lagi pada stan cilok, lanjut membeli wedang ronde juga dan beberapa makanan lainnya. Setelah puas membeli cemilan, barulah keduanya memilih duduk di salah satu titik jalanan.
Hening. Tak ada percakapan karena Dinara sudah fokus pada cilok yang ditusuk. Pipinya penuh hingga membulat dan terlihat lucu. Sandi yang sedari tadi masih belum melepaskan pandangan dari Dinara sampai ikut tertawa. Ternyata dibalik citra dingin yang selama ini gadis itu tampilkan, menyimpan pesona lucu kalau sudah dihadapkan dengan makanan.
Refleks jemarinya mengusap pelan sudut bibir Dinara yang belepotan sedikit saus. Dinara membeku sebentar sebelum akhirnya menepis tangan Sandi dan beralih membersihkan sendiri sembari bercermin di ponsel.
"Dinara.."
"Hmm?"
"Jadi pacar gue, mau?"
Lampu remang- remang yang sedari tadi menyorot mendadak berkedip. Seolah seirama dengan mata Dinara yang mengedip heran mendengar ucapan mendadak Sandi. Lelaki dengan rahang tegas itu seolah menenggelamkannya dalam tatapan kelam. Dinara merasakan dejavu yang mendadak membuat ngilu kembali menjalar di hatinya. Ada kebingungan yang sempat mencuat namun dengan cepat ditepis oleh sisi rasionalnya. Gadis itu kembali pada wajah datarnya, "Sekarang gue paham kenapa lo sampai dikejar- kejar penggemar gila. Lo gampang mengumbar omongan," ujarnya. Sandi yang awalnya diam kini kembali tertawa kecil. "Lo gak baper?" tanya Sandi."Kalau maksudnya bawaan laper, ya gue baper," jawabnya tanpa beban. Sekali lagi Sandi tergelak akan jawaban santai bernada datar milik Dinara.Awalnya Sandi pikir Dinara adalah sosok kaku seperti apa yang teman-temannya ceritakan dahulu. Mereka bilang Dinara hanyalah gadis ambisius yang tidak bisa bercanda. Masuk daftar hitam untuk didekati karena sulit digapai. Namu
"Din, Mas Alam udah kirim fotonya. Tolong langsung buatin deskripsinya sekarang ya!""Minta tolong revisian naskah yang Pak Samsul kemarin dong, Din!""Bu Alana minta draft-nya harus rampung nanti sore, langsung print out aja kalo udah kelar!"Hari-hari hectic Dinara berjalan seperti biasanya. Penuh dengan pekerjaan yang padat merayap namun syukurnya masih bisa dia kerjakan dengan baik. Jemarinya tak henti bergerak lincah diatas keyboard saat merevisi naskah buatan rekan-rekan satu timnya. Setelah selesai, Dinara akan langsung mengirimkannya pada Kepala Divisi untuk ditinjau kembali atau mengembalikannya lengkap dengan catatan.Terdengar suara-suara sendi saat Dinara mulai meregangkan tubuhnya di depan meja kerja. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dia bisa pulang tiga puluh menit lagi kalau memang tidak ada lembur hari ini. Dinara meninjau lagi daftar pekerjaannya. Menandai mereka dengan tanda centan
"Oh iya, surat pengajuan cuti dua hari kamu sudah disetujui HR. Good luck wisudanya, ya!" Bu Alana berujar usai dia melahap potongan terakhir brownies bagiannya. Dinara yang mendengar kabar baik langsung memamerkan deretan giginya, "terimakasih, bu!"Ia memang telah mengajukan cuti dua hari untuk wisudanya nanti. Satu untuk gladi dan satu lagi untuk hari wisuda. Meskipun masih dua minggu lagi, Dinara harus mengajukan jauh-jauh hari karena itulah prosedur yang berlaku di perusahaan.Mendengar wisuda, tiga serangkai yang tadinya masih asik menghabiskan cemilan langsung kembali bersuara. "Emang udah selesai ngurus surat-surat kelengkapan wisuda, Din?" tanya Stecia.Dinara mengangguk, "udah kelar minggu lalu. Itu lho pas gue izin datang terlambat karena harus ke kampus nyetor berkas kelengkapan wisuda," ujar Dinara. Stecia menerawang karena baru ingat. "Terus kebaya sama MUA juga udah siap?" tanya Kalila kali ini. Dinara mengangguk lagi. Semuanya memang sudah disiapkan sejak lama. K
Ada yang lebih sulit daripada pelajaran fisika yang Sandi Arsena selalu hindari saat sekolah dulu. Dia pikir itu mungkin tidak ada bedanya dengan memahami seorang Dinara Jeandra.Untuk kesekian kalinya laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu berdecak sebal. Apalagi setelah melihat bahwa tak ada satupun pesannya yang dibalas Dinara. Dibaca saja tidak. Atau mungkinkah Dinara memblokir nomornya?"Lo janji mau ngabulin permintaan gue, kan? Cuma satu, setelah ini ayo pura- pura saling gak kenal."Sandi masih ingat kalimat singkat dengan nada datar yang Dinara ucapkan tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Pukul dua belas lebih lima menit saat Dinara mengantarnya keluar gerbang dan seolah berbicara tanpa emosi. Saat itu, Sandi hanya bisa membeku, tak mengucapkan sepatah katapun karena terlalu bingung dengan situasi yang dia hadapi. Terhitung hampir lima belas jam, kalimat yang tak bisa Sandi pahami itu terus berputar mengacaukan kewarasannya. Ada apa? Mengapa kalimat itu terdengar sanga
"Ayolah, Nar! Lo sama sekali gak pernah muncul waktu kita ngumpul. Reuni ini mau dilewatin gitu aja?" Kiran mungkin manusia kesekian yang telah menghubungi Dinara pasal reuni angkatan SMA-nya minggu depan. Dinara sudah mendapatkan undangannya secara online. Dia juga mendadak masuk grup kelas lagi pagi ini. Pagi harinya yang hectic bertambah riuh karena tumben sekali ponselnya jadi ramai. Dinara akhirnya membisukan pesan grup agar tidak mengganggu fokus bekerjanya. Apapun itu, Dinara sama sekali tidak tertarik menghadiri acara reuni semacam ini. Lagipula, Dinara bukan sosok supel banyak teman yang akan bisa bersenang- senang disana nantinya."Sekali aja, Nar! Emang lo gak kangen temen-temen SMA?" tanya Kiran lagi.Kangen? Dinara juga mempertanyakan kembali frasa kangen yang disebut oleh mantan teman sebangkunya itu. Apakah masa sekolah menengah atas Dinara dulu semenyenangkan itu sampai dia harus kangen?Tiga tahun Dinara habiskan hanya untuk belajar dan belajar. Dia tidak punya ling
Dinara menghabiskan lebih dari sepuluh menit untuk membersihkan seluruh tubuh dan rambutnya. Sabtu ini menjadi hari yang cukup melelahkan baginya karena harus ikut penjajakan lapangan ke beberapa client untuk mendapatkan materi. Menggantikan Steci yang mendadak limbung akibat vertigonya kumat. Usai mandi, Dinara bersiap mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Berhubung ini masih sore, Dinara berencana menghabiskan waktunya dengan menonton serial di platform berbayar. Namun sebelum itu, dia perlu mengisi perutnya yang keroncongan. Baru lima sendok nasi campur dia telan, suara pintu utama yang didorong terdengar. Dinara yakin itu Dikta, adiknya yang baru saja pulang dari bimbel. Dinara hendak menyiapkan satu bungkus nasi campur yang memang dia beli untuk adiknya. Namun penampakan gadis 160 senti dengan gaun berwarna pink cerah membuatnya silau. Bukan Dikta, namun Kiran yang sedang berdiri membawa satu koper tengah berkacak pinggang menatap Dinara galak. "Lagi minggat, Ran? Tumben
Ini mungkin kali pertama Dinara menjejakkan kaki di salah satu hotel paling mahal di kotanya. Tidak heran sih harganya selangit, begitu masuk saja mereka sudah disuguhkan taman kecil area parkir yang ditata sedemikian rupa. Sangat cantik, apalagi dalam keadaan gelap begini dibantu oleh lampu-lampu taman yang tersusun manis. Setelah melewati taman, mereka terus masuk kedalam melewati ballroom menuju areal taman belakang yang sudah disulap menjadi pesta taman nan mewah. Mereka tidak menggunakan ballroom hotel, melainkan memilih untuk meyelenggarakan keseluruhan pesta secara terbuka di taman belakang. Sepertinya anak- anak muda zaman sekarang selain suka cari masalah juga suka cari angin. Dinara menyambut beberapa cipika-cipiki dari lingkaran pergaulannya semasa SMA dulu. Ada Julie, Viviane, dan Kanaya yang langsung menghampirinya ketika Dinara baru saja masuk bersama Kiran.Menemui banyak sekali wajah familiar yang menyapanya, Dinara terus mempertahankan senyum canggungnya. Terjebak
Dinara dengan serius bertanya, memang apa sih keuntungan yang didapatkan dengan merundung seseorang? Gadis itu menahan geram saat menyaksikan sebuah pertunjukan besar di kolam renang. Seorang perempuan tercebur secara dramatis dan disaksikan semua orang. Dinara menyipitkan penglihatannya, yakin bahwa orang yang jatuh ke dalam kolam itu tampak familiar. "Itu nenek sihir punya masalah apa sih? Kayanya sejak kelas sepuluh si Felma jadi sasaran dia terus," tanya Kiran tak habis pikir. Ah iya, Dinara baru ingat nama gadis itu Felma. Gadis berkacamata yang sering mengikuti lomba- lomba akademik, sama sepertinya. Seingatnya, Felma selalu menjadi siswa perwakilan kelas MIPA 2. Dinara sebenarnya juga tak terlalu mengenalnya, mereka hanya pernah bercakap sekali saat kegiatan seleksi.Sementara di tepi kolam, berdiri dengan angkuh gadis dengan rambut ikal dan dress slit yang belahan bagian kaki terbuka cukup panjang. Gadis yang tadi sempat mengamit lengan Sandi secara posesif. "Sejak kapan s