Jalanan lenggang membuat Dinara berhasil tiba lebih cepat. Dia membelokkan mobil masuk kompleks perumahan dan akhirnya sampai tepat di kediamannya.
Ketika hendak menutup kembali gerbangnya, Dinara melirik rumah sebelah yang nampak ramai dengan beberapa mobil- mobil asing. Pikirnya, mungkin keluarga Sandi kedatangan beberapa tamu berhubung mereka baru saja pindah.
Dinara tentu tak ambil pusing. Dia langsung masuk kedalam rumah dan menemukan situasi sepi seperti biasanya. Dia mengambil segelas air lebih dulu sebelum memutuskan naik kearah kamar tidurnya.
Sebelum masuk, lebih dulu Dinara memeriksa kamar Dikta, adiknya. Didapatinya remaja itu sedang tekun di meja belajarnya.
"Mama sama papa udah berangkat, dek?" tanyanya.
Memang semalam kedua orang tuanya itu sudah memberi info bahwa mereka akan pergi keluar kota selama beberapa hari untuk mengurus pekerjaan.
Dikta membalik tubuhnya dan mengangguk pada Dinara. Remaja laki- laki itu melepas kaca mata belajar miliknya.
Dinara tersenyum lembut, "udah makan? atau mau beli cemilan malam lagi?" tanya Dinara.
Dia cukup peka saat melihat sang adik yang terlihat frustasi dengan beberapa lembar kertas dan buku dihadapannya. Belum lagi mata memerah Dikta membuat Dinara jadi sedikit tidak tega.
"Aku mau langsung tidur aja deh, kak," ucap Dikta sembari berjalan lemas menuju ranjangnya. Dinara kembali menutup pintu perlahan dan membiarkan sang adik beristirahat.
Menjadi siswa tingkat akhir memang selalu memberikan sensasi tersendiri. Dinara jadi ingat bagaimana dia dulu berjuang sampai dilabeli siswa 'ambis' oleh teman- temannya. Dinara dan Dikta sepertinya memang mewarisi ambisi ayahnya, mereka cukup perfeksionis kalau menyangkut tentang belajar dan pekerjaan. Tidak heran dua anak itu selalu jadi yang pertama di kelas mereka masing- masing.
Meski begitu, mama dan papanya juga sebenarnya tak pernah mendorong Dinara ataupun Dikta untuk keras pada diri mereka masing- masing. Hanya saja sejak kecil dua anak itu memang punya tekad kuat untuk berhasil dalam hal akademik.
Setelah selesai bersih-bersih dan segar kembali, Dinara turun ke bawah untuk menyiapkan makan malamnya sendiri. Gadis itu memang sudah terbiasa memasak dan melakukan tugas rumahan sendiri. Keluarganya tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga untuk setiap harinya.
Hanya ada satu orang yang akan datang untuk membersihkan rumah seminggu sekali. Untuk sehari- hari mereka masih bisa melakukannya sendiri. Keluarga Dinara juga hanya punya seorang supir untuk mengantar dan menjemput Dinara dan Dikta. Namun setelah Dinara bisa menyetir sendiri, supir tersebut tentu hanya bertugas mengantar jemput Dikta dan papanya sesekali.
Dinara dan Dikta tidak pernah merasa keberatan dengan itu karena sejak kecil memang telah terbiasa hidup mandiri. Bahkan meskipun kedua orang tuanya sering bepergian seperti ini, mereka sudah tak perlu khawatir karena Dinara telah dipercaya dan cukup mandiri serta mampu menjaga adiknya.
Saat membuka kulkas, Dinara menemukan semuanya telah tertata rapi dan lengkap. Dia beruntung karena orang tuanya selalu menyediakan hampir semuanya di rumah. Secara fasilitas, Dinara tidak merasa kekurangan apapun.
Karena perutnya terus meronta minta diisi, Dinara memutuskan untuk membuat nasi goreng saja. Pilihan paling tepat yang bisa Dinara buat dengan cepat dan pasti enak. Entah kenapa Dinara paling percaya diri dengan nasi goreng buatannya sampai Dikta pernah bergurau bahwa Dinara bisa mencoba menjadi pedagang nasi goreng saja sepulang kerja.
Ketika Dinara baru saja mematikan kompor, telinganya menangkap suara denting bel. Melihat jam yang tergantung di dinding membuat Dinara mengernyit heran, siapa yang bertamu malam- malam begini?
Dinara memantau via monitor, mendapati lelaki dengan pakaian hitam dan rambut sedikit acak-acakan menunggu di depan gerbang rumahnya. Dia sedikit ngeri sebenarnya. Sejauh yang dia tahu, tidak mudah bagi orang luar masuk kompleks rumahnya karena penjagaan keamanan yang cukup ketat. Tapi siapa orang aneh itu?
Setelah memfokuskan matanya berkali- kali, Dinara seolah baru sadar bahwa presensi yang berada diluar adalah tetangganya sendiri, Sandi.
Meskipun dia masih kesal, Dinara tak sampai hari membiarkan tetangganya itu berdiri lama di depan gerbang. Apalagi lelaki itu terus mondar-mandir tak karuan. Mau tak mau Dinara berjalan keluar dan menemui Sandi dengan tanda tanya tercetak jelas di dahinya.
"Ngapain?" tanyanya was-was sembari membuka gerbang sedikit.
Sandi tersenyum kecil, "bantuin gue kali ini aja, Nar, please!" mohonnya.
Dinara mengernyit heran, lelaki itu terlihat gelisah sembari sesekali mencuri pandang kearah rumahnya sendiri.
"Bantuin apa?" tanya Dinara.
Sandi terlihat sedikit panik lalu mendorong pelan Dinara untuk masuk kedalam rumah. Setelah itu dia menarik Dinara untuk bersembunyi disamping pagar.
Dinara hendak protes karena aksi tak sopan ini, namun pada akhirnya dia hanya diam karena lelaki itu seolah memberinya kode untuk diam dulu. Telinganya menangkap derap beberapa sepatu disertai keluhan.
"Biarin gue sembunyi sebentar disini, please! Temen- temen gue lagi pada di rumah, tapi ada penyelinap yang ikut masuk!" ujar Sandi dengan suara pelan.
Suara sepatu menjauh dan kini Dinara memberi pandangan menghakimi kearah Sandi.
"Gimana ceritanya lo justru gak ada di rumah padahal lo sendiri yang punya acara?" tanya Dinara sewot.
Sandi menggaruk kepalanya yang tidak begitu gatal, "yah niatnya sebenarnya cuma semacam makan- makan sama beberapa temen aja, tapi yang dateng ternyata rame banget. Mana ketua fansclub gue di kampus juga ikutan dateng, bikin runyam aja," keluh Sandi.
Dinara hendak tertawa namun dia mengurungkannya karena melihat Sandi yang benar- benar terlihat ketakutan. "Jadi cewek- cewek tadi itu semacam fansclub lo di kampus? Astaga, masih aja ya ada begituan di lingkungan lo?!" ujar Dinara.
Gadis itu tidak sepenuhnya heran mengingat ini juga sempat terjadi sebelumnya. Sandi memang golongan siswa populer incaran setiap gadis sejak dulu. Waktu SMA juga ada kumpulan gadis- gadis yang meneriakkan nama Sandi setiap lelaki itu lewat di koridor. Fansclub Sandi juga terkenal ganas karena kerap meneror gadis- gadis yang dirasa punya kedekatan khusus dengan Sandi.
Meskipun Dinara termasuk salah satu gadis yang mengagumi Sandi dulu, setidaknya dia bangga tidak pernah ikut- ikutan masuk fansclub gila begitu.
"Please bantuin gue malem ini, Nar! Gue bakal balas budi dengan cara apapun!" Sandi memohon padanya dengan dua tangan ditangkupkan di depan.
"Cara apa aja?" Dinara menggaris bawahi kalimat Sandi tadi dengan senyuman miring yang tercetak di wajahnya.
Lelaki itu mengangguk, nampaknya dia benar- benar tak punya pilihan lain sekarang. Namun senyuman penuh arti di wajah Dinara kini justru membuat Sandi mempertanyakan lagi keputusannya.
"Tapi please jangan aneh- aneh ya, Nar!"
Dinara memutar bola matanya malas sebab nasi goreng yang tadinya dia siapkan untuk diri sendiri sekarang harus dia bagi dua. Setelah memutuskan untuk membawa Sandi masuk kedalam rumahnya, dia harus merelakan porsinya dibagi dua. Lelaki yang duduk santai lesehan di ruang tamu itu makan dengan super lahap seolah tidak sempat makan tiga hari. "Lo ada acara di rumah gak sempet colek makanan dikit gitu?" sarkas Dinara sembari menyuap nasi goreng di piringnya."Jangankan makanan, gue aja kaget yang dateng tiba- tiba sekampung. Awalnya gue cuma ngajakin sepuluh orang. Eh mereka pada ngajakin pacarnya, belum lagi pacar- pacarnya pada bawa temen," ujar Sandi menggebu. Lelaki itu meneguk air dalam gelas yang juga sudah Dinara siapkan sebelumnya. Piringnya sudah bersih sekarang. "Tempat cuci piringnya dimana, Nar?" tanya sandi sembari berdiri. Dinara yang baru saja menghabiskan nasinya ikut beranjak. "Sini biar gue aja!" Tangannya hendak menagih piring di tangan Sandi. Namun dengan cepat le
Lampu remang- remang yang sedari tadi menyorot mendadak berkedip. Seolah seirama dengan mata Dinara yang mengedip heran mendengar ucapan mendadak Sandi. Lelaki dengan rahang tegas itu seolah menenggelamkannya dalam tatapan kelam. Dinara merasakan dejavu yang mendadak membuat ngilu kembali menjalar di hatinya. Ada kebingungan yang sempat mencuat namun dengan cepat ditepis oleh sisi rasionalnya. Gadis itu kembali pada wajah datarnya, "Sekarang gue paham kenapa lo sampai dikejar- kejar penggemar gila. Lo gampang mengumbar omongan," ujarnya. Sandi yang awalnya diam kini kembali tertawa kecil. "Lo gak baper?" tanya Sandi."Kalau maksudnya bawaan laper, ya gue baper," jawabnya tanpa beban. Sekali lagi Sandi tergelak akan jawaban santai bernada datar milik Dinara.Awalnya Sandi pikir Dinara adalah sosok kaku seperti apa yang teman-temannya ceritakan dahulu. Mereka bilang Dinara hanyalah gadis ambisius yang tidak bisa bercanda. Masuk daftar hitam untuk didekati karena sulit digapai. Namu
"Din, Mas Alam udah kirim fotonya. Tolong langsung buatin deskripsinya sekarang ya!""Minta tolong revisian naskah yang Pak Samsul kemarin dong, Din!""Bu Alana minta draft-nya harus rampung nanti sore, langsung print out aja kalo udah kelar!"Hari-hari hectic Dinara berjalan seperti biasanya. Penuh dengan pekerjaan yang padat merayap namun syukurnya masih bisa dia kerjakan dengan baik. Jemarinya tak henti bergerak lincah diatas keyboard saat merevisi naskah buatan rekan-rekan satu timnya. Setelah selesai, Dinara akan langsung mengirimkannya pada Kepala Divisi untuk ditinjau kembali atau mengembalikannya lengkap dengan catatan.Terdengar suara-suara sendi saat Dinara mulai meregangkan tubuhnya di depan meja kerja. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dia bisa pulang tiga puluh menit lagi kalau memang tidak ada lembur hari ini. Dinara meninjau lagi daftar pekerjaannya. Menandai mereka dengan tanda centan
"Oh iya, surat pengajuan cuti dua hari kamu sudah disetujui HR. Good luck wisudanya, ya!" Bu Alana berujar usai dia melahap potongan terakhir brownies bagiannya. Dinara yang mendengar kabar baik langsung memamerkan deretan giginya, "terimakasih, bu!"Ia memang telah mengajukan cuti dua hari untuk wisudanya nanti. Satu untuk gladi dan satu lagi untuk hari wisuda. Meskipun masih dua minggu lagi, Dinara harus mengajukan jauh-jauh hari karena itulah prosedur yang berlaku di perusahaan.Mendengar wisuda, tiga serangkai yang tadinya masih asik menghabiskan cemilan langsung kembali bersuara. "Emang udah selesai ngurus surat-surat kelengkapan wisuda, Din?" tanya Stecia.Dinara mengangguk, "udah kelar minggu lalu. Itu lho pas gue izin datang terlambat karena harus ke kampus nyetor berkas kelengkapan wisuda," ujar Dinara. Stecia menerawang karena baru ingat. "Terus kebaya sama MUA juga udah siap?" tanya Kalila kali ini. Dinara mengangguk lagi. Semuanya memang sudah disiapkan sejak lama. K
Ada yang lebih sulit daripada pelajaran fisika yang Sandi Arsena selalu hindari saat sekolah dulu. Dia pikir itu mungkin tidak ada bedanya dengan memahami seorang Dinara Jeandra.Untuk kesekian kalinya laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu berdecak sebal. Apalagi setelah melihat bahwa tak ada satupun pesannya yang dibalas Dinara. Dibaca saja tidak. Atau mungkinkah Dinara memblokir nomornya?"Lo janji mau ngabulin permintaan gue, kan? Cuma satu, setelah ini ayo pura- pura saling gak kenal."Sandi masih ingat kalimat singkat dengan nada datar yang Dinara ucapkan tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Pukul dua belas lebih lima menit saat Dinara mengantarnya keluar gerbang dan seolah berbicara tanpa emosi. Saat itu, Sandi hanya bisa membeku, tak mengucapkan sepatah katapun karena terlalu bingung dengan situasi yang dia hadapi. Terhitung hampir lima belas jam, kalimat yang tak bisa Sandi pahami itu terus berputar mengacaukan kewarasannya. Ada apa? Mengapa kalimat itu terdengar sanga
"Ayolah, Nar! Lo sama sekali gak pernah muncul waktu kita ngumpul. Reuni ini mau dilewatin gitu aja?" Kiran mungkin manusia kesekian yang telah menghubungi Dinara pasal reuni angkatan SMA-nya minggu depan. Dinara sudah mendapatkan undangannya secara online. Dia juga mendadak masuk grup kelas lagi pagi ini. Pagi harinya yang hectic bertambah riuh karena tumben sekali ponselnya jadi ramai. Dinara akhirnya membisukan pesan grup agar tidak mengganggu fokus bekerjanya. Apapun itu, Dinara sama sekali tidak tertarik menghadiri acara reuni semacam ini. Lagipula, Dinara bukan sosok supel banyak teman yang akan bisa bersenang- senang disana nantinya."Sekali aja, Nar! Emang lo gak kangen temen-temen SMA?" tanya Kiran lagi.Kangen? Dinara juga mempertanyakan kembali frasa kangen yang disebut oleh mantan teman sebangkunya itu. Apakah masa sekolah menengah atas Dinara dulu semenyenangkan itu sampai dia harus kangen?Tiga tahun Dinara habiskan hanya untuk belajar dan belajar. Dia tidak punya ling
Dinara menghabiskan lebih dari sepuluh menit untuk membersihkan seluruh tubuh dan rambutnya. Sabtu ini menjadi hari yang cukup melelahkan baginya karena harus ikut penjajakan lapangan ke beberapa client untuk mendapatkan materi. Menggantikan Steci yang mendadak limbung akibat vertigonya kumat. Usai mandi, Dinara bersiap mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Berhubung ini masih sore, Dinara berencana menghabiskan waktunya dengan menonton serial di platform berbayar. Namun sebelum itu, dia perlu mengisi perutnya yang keroncongan. Baru lima sendok nasi campur dia telan, suara pintu utama yang didorong terdengar. Dinara yakin itu Dikta, adiknya yang baru saja pulang dari bimbel. Dinara hendak menyiapkan satu bungkus nasi campur yang memang dia beli untuk adiknya. Namun penampakan gadis 160 senti dengan gaun berwarna pink cerah membuatnya silau. Bukan Dikta, namun Kiran yang sedang berdiri membawa satu koper tengah berkacak pinggang menatap Dinara galak. "Lagi minggat, Ran? Tumben
Ini mungkin kali pertama Dinara menjejakkan kaki di salah satu hotel paling mahal di kotanya. Tidak heran sih harganya selangit, begitu masuk saja mereka sudah disuguhkan taman kecil area parkir yang ditata sedemikian rupa. Sangat cantik, apalagi dalam keadaan gelap begini dibantu oleh lampu-lampu taman yang tersusun manis. Setelah melewati taman, mereka terus masuk kedalam melewati ballroom menuju areal taman belakang yang sudah disulap menjadi pesta taman nan mewah. Mereka tidak menggunakan ballroom hotel, melainkan memilih untuk meyelenggarakan keseluruhan pesta secara terbuka di taman belakang. Sepertinya anak- anak muda zaman sekarang selain suka cari masalah juga suka cari angin. Dinara menyambut beberapa cipika-cipiki dari lingkaran pergaulannya semasa SMA dulu. Ada Julie, Viviane, dan Kanaya yang langsung menghampirinya ketika Dinara baru saja masuk bersama Kiran.Menemui banyak sekali wajah familiar yang menyapanya, Dinara terus mempertahankan senyum canggungnya. Terjebak