"Lain kali izin H-1 sama gue!"
Dinara menerima kunci sembari sebelah tangannya menoyor pelan adik sepupunya. Keenan meringis, dia memasang tampang kesal karena Dinara masih saja suka menoyornya sembarangan.
"Ya namanya juga mendadak, kak. Gue juga gaktau kalo si semok mogok begitu," ujarnya membela diri.
Dinara mengernyit, "si semok?"
Keenan memutar bola matanya malas, "mobil gue," balasnya.
Dinara hampir menganga mendengar jawaban acak adik sepupunya itu. Lelaki dua puluh tahun yang merupakan putra dari adik ayahnya. Rumah mereka kebetulan berada di kompleks yang sama sehingga kalau ada apa- apa jadi mudah saling bantu. Apalagi baik orang tua Dinara ataupun Keenan sama-sama pebisnis yang sering hilir mudik keluar kota meninggalkan anak- anak di rumah.
Gadis itu tidak ingin meladeni lebih jauh perbincangan tidak penting tentang nama aneh mobil sepupunya itu. Dia bersidekap sembari mengusir Keenan dari wilayah tempat kerjanya. Namun sekali lagi laki- laki itu melebarkan senyuman menyebalkan.
"Gue balik ke kampus naik apa, kak?"
Dinara mengernyit, "lah, emang lo gak ngajak temen kesini? Atau naik grab kan bisa?"
Tangan Keenan menadah ringan seirama dengan senyum sok menggemaskan yang dia buat, "bagi duit buat ongkos dong kakakku sayang," ujarnya.
Dinara mendecih jijik, memang sepupunya satu ini paling bisa membuatnya kesal. Padahal Dinara yakin om dan tantenya itu pasti memberi uang jajan yang cukup untuk putra semata wayangnya itu. Apalagi Keenan dari kecil memang paling jago mengeluarkan rayuan maut untuk minta uang dari orang tua.
Dasar pelit! Giliran begini tetap saja dia minta lagi pada Dinara. Namun karena Dinara tak mau berlama-lama lagi meladeni, dia akhirnya menyerahkan selembar uang berwarna merah.
Keenan membalas dengan senyuman culas.
"Gitu dong, kan cantik!" ujarnya mencolek dagu Dinara lalu langsung berlari secepat kilat menjauh dari sang kakak yang hendak meledak.
Dinara syukurnya tak mau berlarut- larut pada si bocah tengik, dia langsung berbalik badan dan masuk kembali kedalam kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.
Begitu sampai ruangan, dia mendapati seluruh meja telah kosong. Baru lah Dinara menyadari bahwa ini sudah jam makan siang. Para Karyawan pasti sudah turun ke kafetaria.
Omong-omong tentang makan siang, perusahaan Dinara menyediakan makan siang untuk seluruh pekerja. Namun karyawan juga boleh makan siang keluar kantor selama waktu memadai. Dinara hendak menyusul ke kafetaria, namun saat ia hendak keluar ruangan, seorang office boy mendekat kearahnya sembari menyerahkan satu buah paperbag.
"Mbak, ini ada titipan g*jek," tuturnya sopan.
Dinara mengernyit heran, seingatnya dia belum memesan apapun.
"Gak salah orang, pak? Soalnya saya gak merasa pesan apapun," ujarnya keheranan.
"Betul itu buat mbak Dinara. Ada nama penerimanya juga," si bapak menunjuk detail note yang berada di depan kemasan. Lelaki itu tersenyum ramah sembari pamit setelah Dinara dengan pasrah berucap terimakasih.
Dinara mengintip kedalamnya. Ada satu paket bento dari restoran cepat saji langganannya. Ini merupakan paket yang paling sering dia beli kalau memang mendesak. Tapi siapa yang mengiriminya?
Rasa penasarannya masih menggebu- gebu saat satu buah panggilan masuk dari nomor asing dia terima.
"Udah terima paketnya, kan?" ujarnya.
Suaranya cukup familiar, "Sandi?" terkanya.
Terdengar kekehan diseberang, "iya ini gue, Nar. Jangan lupa save nomor gue, ya! Ah, gue dapet nomor lo dari Tante Naira," ujar Sandi.
Dinara mengernyit, kapan mama-nya membagikan nomor telepon Dinara kepada Sandi?
"Gue pesen yang itu karena gue pikir lo suka sama sesuatu yang basic. Ya semoga aja tebakan gue gak salah kali ini."
Memang tidak salah. Namun Dinara harus percaya berapa kali lagi pada kebetulan? Bagaimana bisa Sandi memberinya set makanan yang memang merupakan favorit item-nya? Dinara jadi takut, Sandi tidak sedang memata-matai dia, kan?
"Ngapain lo kirim makanan?" tanyanya setelah lama terdiam.
Sandi terkekeh diseberang telepon, "jangan galak- galak, Nar! Anggap aja itu sapaan dari gue, kita udah lama banget gak ketemu, kan?"
Dinara masih setengah jengkel, "yaa maksudnya buat apa? Kenapa mesti repot?" tanyanya lagi.
"Gak usah kaku gitu! Rejeki gak boleh ditolak," Sandi masih lanjut terkekeh..
Dinara tak terbiasa menerima pemberian orang tanpa alasan jelas. Dia juga punya wewenang untuk menolak.
"Kirim alamat, gue balikin sekarang!" Dinara secara ketus menambahi.
Suara kekehaan Sandi terdengar lagi, "santai aja, Nar! Makanannya gak sempet gue sentuh sama sekali, kok! Jadi gak mungkin ada racunnya. Lagipula ini cuma traktiran biasa, anggap aja gue seneng karena akhirnya ketemu lo lagi, apalagi kita sekarang tetangga, kan?"
Dinara menghela nafasnya kasar, dan itu masih bisa didengar lelaki yang kini senyam-senyum berbincang dengannya meski hanya via telepon.
"Dinara.." suara lelaki itu jadi lebih dalam yang membuat Dinara terdiam beberapa saat.
"Gini, pokoknya gausah dibalikin, ya. Kalo gak suka ataupun mungkin gak percaya, lo bisa buang aja makanannya," jelasnya dengan nada yang lebih lembut.
Mana tega Dinara buang- buang makanan? Meskipun dia juga berasal dari golongan menengah keatas, orang tuanya akan menegurnya kalau sampai membuang- buang makanan.
"Nanti pulang jam berapa? Gue jemput," potong Sandi mengganti topik akhirnya.
Dinara tersadar dan membalas sedikit lebih lembut daripada sebelumnya, "mobil udah dibalikin, jadi gue bisa balik sendiri," balasnya.
"Oh gitu, yaudah nanti hati- hati aja di jalan," balas Sandi.
Dinara hanya membalas dengan deheman pelan lalu sedetik kemudian mematikan panggilan tersebut. Gadis itu menghela nafas pelan, mengapa dia harus terlibat dengan Sandi lagi? Meskipun ini mungkin bukan apa- apa, namun Dinara yakin semuanya tidak akan semudah itu. Apalagi kini keduanya tinggal di daerah yang sama.
Bagaimana Sandi bisa bersikap biasa saja setelah apa yang terjadi pada mereka sebelumnya? Apakah lelaki itu tengah merencanakan sesuatu untuk kembali mengusik hidup Dinara?
Apapun itu, Dinara harap kali ini dia bisa menghadapinya dengan cara yang jauh lebih bijak. Dinara Jeandra sekarang bukan lagi siswa SMA yang akan terpengaruh oleh efek patah hati.
Jalanan lenggang membuat Dinara berhasil tiba lebih cepat. Dia membelokkan mobil masuk kompleks perumahan dan akhirnya sampai tepat di kediamannya. Ketika hendak menutup kembali gerbangnya, Dinara melirik rumah sebelah yang nampak ramai dengan beberapa mobil- mobil asing. Pikirnya, mungkin keluarga Sandi kedatangan beberapa tamu berhubung mereka baru saja pindah. Dinara tentu tak ambil pusing. Dia langsung masuk kedalam rumah dan menemukan situasi sepi seperti biasanya. Dia mengambil segelas air lebih dulu sebelum memutuskan naik kearah kamar tidurnya. Sebelum masuk, lebih dulu Dinara memeriksa kamar Dikta, adiknya. Didapatinya remaja itu sedang tekun di meja belajarnya. "Mama sama papa udah berangkat, dek?" tanyanya. Memang semalam kedua orang tuanya itu sudah memberi info bahwa mereka akan pergi keluar kota selama beberapa hari untuk mengurus pekerjaan. Dikta membalik tubuhnya dan mengangguk pada Dinara. Remaja laki- laki itu melepas kaca mata belajar miliknya. Dinara terseny
Dinara memutar bola matanya malas sebab nasi goreng yang tadinya dia siapkan untuk diri sendiri sekarang harus dia bagi dua. Setelah memutuskan untuk membawa Sandi masuk kedalam rumahnya, dia harus merelakan porsinya dibagi dua. Lelaki yang duduk santai lesehan di ruang tamu itu makan dengan super lahap seolah tidak sempat makan tiga hari. "Lo ada acara di rumah gak sempet colek makanan dikit gitu?" sarkas Dinara sembari menyuap nasi goreng di piringnya."Jangankan makanan, gue aja kaget yang dateng tiba- tiba sekampung. Awalnya gue cuma ngajakin sepuluh orang. Eh mereka pada ngajakin pacarnya, belum lagi pacar- pacarnya pada bawa temen," ujar Sandi menggebu. Lelaki itu meneguk air dalam gelas yang juga sudah Dinara siapkan sebelumnya. Piringnya sudah bersih sekarang. "Tempat cuci piringnya dimana, Nar?" tanya sandi sembari berdiri. Dinara yang baru saja menghabiskan nasinya ikut beranjak. "Sini biar gue aja!" Tangannya hendak menagih piring di tangan Sandi. Namun dengan cepat le
Lampu remang- remang yang sedari tadi menyorot mendadak berkedip. Seolah seirama dengan mata Dinara yang mengedip heran mendengar ucapan mendadak Sandi. Lelaki dengan rahang tegas itu seolah menenggelamkannya dalam tatapan kelam. Dinara merasakan dejavu yang mendadak membuat ngilu kembali menjalar di hatinya. Ada kebingungan yang sempat mencuat namun dengan cepat ditepis oleh sisi rasionalnya. Gadis itu kembali pada wajah datarnya, "Sekarang gue paham kenapa lo sampai dikejar- kejar penggemar gila. Lo gampang mengumbar omongan," ujarnya. Sandi yang awalnya diam kini kembali tertawa kecil. "Lo gak baper?" tanya Sandi."Kalau maksudnya bawaan laper, ya gue baper," jawabnya tanpa beban. Sekali lagi Sandi tergelak akan jawaban santai bernada datar milik Dinara.Awalnya Sandi pikir Dinara adalah sosok kaku seperti apa yang teman-temannya ceritakan dahulu. Mereka bilang Dinara hanyalah gadis ambisius yang tidak bisa bercanda. Masuk daftar hitam untuk didekati karena sulit digapai. Namu
"Din, Mas Alam udah kirim fotonya. Tolong langsung buatin deskripsinya sekarang ya!""Minta tolong revisian naskah yang Pak Samsul kemarin dong, Din!""Bu Alana minta draft-nya harus rampung nanti sore, langsung print out aja kalo udah kelar!"Hari-hari hectic Dinara berjalan seperti biasanya. Penuh dengan pekerjaan yang padat merayap namun syukurnya masih bisa dia kerjakan dengan baik. Jemarinya tak henti bergerak lincah diatas keyboard saat merevisi naskah buatan rekan-rekan satu timnya. Setelah selesai, Dinara akan langsung mengirimkannya pada Kepala Divisi untuk ditinjau kembali atau mengembalikannya lengkap dengan catatan.Terdengar suara-suara sendi saat Dinara mulai meregangkan tubuhnya di depan meja kerja. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dia bisa pulang tiga puluh menit lagi kalau memang tidak ada lembur hari ini. Dinara meninjau lagi daftar pekerjaannya. Menandai mereka dengan tanda centan
"Oh iya, surat pengajuan cuti dua hari kamu sudah disetujui HR. Good luck wisudanya, ya!" Bu Alana berujar usai dia melahap potongan terakhir brownies bagiannya. Dinara yang mendengar kabar baik langsung memamerkan deretan giginya, "terimakasih, bu!"Ia memang telah mengajukan cuti dua hari untuk wisudanya nanti. Satu untuk gladi dan satu lagi untuk hari wisuda. Meskipun masih dua minggu lagi, Dinara harus mengajukan jauh-jauh hari karena itulah prosedur yang berlaku di perusahaan.Mendengar wisuda, tiga serangkai yang tadinya masih asik menghabiskan cemilan langsung kembali bersuara. "Emang udah selesai ngurus surat-surat kelengkapan wisuda, Din?" tanya Stecia.Dinara mengangguk, "udah kelar minggu lalu. Itu lho pas gue izin datang terlambat karena harus ke kampus nyetor berkas kelengkapan wisuda," ujar Dinara. Stecia menerawang karena baru ingat. "Terus kebaya sama MUA juga udah siap?" tanya Kalila kali ini. Dinara mengangguk lagi. Semuanya memang sudah disiapkan sejak lama. K
Ada yang lebih sulit daripada pelajaran fisika yang Sandi Arsena selalu hindari saat sekolah dulu. Dia pikir itu mungkin tidak ada bedanya dengan memahami seorang Dinara Jeandra.Untuk kesekian kalinya laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu berdecak sebal. Apalagi setelah melihat bahwa tak ada satupun pesannya yang dibalas Dinara. Dibaca saja tidak. Atau mungkinkah Dinara memblokir nomornya?"Lo janji mau ngabulin permintaan gue, kan? Cuma satu, setelah ini ayo pura- pura saling gak kenal."Sandi masih ingat kalimat singkat dengan nada datar yang Dinara ucapkan tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Pukul dua belas lebih lima menit saat Dinara mengantarnya keluar gerbang dan seolah berbicara tanpa emosi. Saat itu, Sandi hanya bisa membeku, tak mengucapkan sepatah katapun karena terlalu bingung dengan situasi yang dia hadapi. Terhitung hampir lima belas jam, kalimat yang tak bisa Sandi pahami itu terus berputar mengacaukan kewarasannya. Ada apa? Mengapa kalimat itu terdengar sanga
"Ayolah, Nar! Lo sama sekali gak pernah muncul waktu kita ngumpul. Reuni ini mau dilewatin gitu aja?" Kiran mungkin manusia kesekian yang telah menghubungi Dinara pasal reuni angkatan SMA-nya minggu depan. Dinara sudah mendapatkan undangannya secara online. Dia juga mendadak masuk grup kelas lagi pagi ini. Pagi harinya yang hectic bertambah riuh karena tumben sekali ponselnya jadi ramai. Dinara akhirnya membisukan pesan grup agar tidak mengganggu fokus bekerjanya. Apapun itu, Dinara sama sekali tidak tertarik menghadiri acara reuni semacam ini. Lagipula, Dinara bukan sosok supel banyak teman yang akan bisa bersenang- senang disana nantinya."Sekali aja, Nar! Emang lo gak kangen temen-temen SMA?" tanya Kiran lagi.Kangen? Dinara juga mempertanyakan kembali frasa kangen yang disebut oleh mantan teman sebangkunya itu. Apakah masa sekolah menengah atas Dinara dulu semenyenangkan itu sampai dia harus kangen?Tiga tahun Dinara habiskan hanya untuk belajar dan belajar. Dia tidak punya ling
Dinara menghabiskan lebih dari sepuluh menit untuk membersihkan seluruh tubuh dan rambutnya. Sabtu ini menjadi hari yang cukup melelahkan baginya karena harus ikut penjajakan lapangan ke beberapa client untuk mendapatkan materi. Menggantikan Steci yang mendadak limbung akibat vertigonya kumat. Usai mandi, Dinara bersiap mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Berhubung ini masih sore, Dinara berencana menghabiskan waktunya dengan menonton serial di platform berbayar. Namun sebelum itu, dia perlu mengisi perutnya yang keroncongan. Baru lima sendok nasi campur dia telan, suara pintu utama yang didorong terdengar. Dinara yakin itu Dikta, adiknya yang baru saja pulang dari bimbel. Dinara hendak menyiapkan satu bungkus nasi campur yang memang dia beli untuk adiknya. Namun penampakan gadis 160 senti dengan gaun berwarna pink cerah membuatnya silau. Bukan Dikta, namun Kiran yang sedang berdiri membawa satu koper tengah berkacak pinggang menatap Dinara galak. "Lagi minggat, Ran? Tumben