Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sikat gigi di kantong dan handuk yang tersampir di bahu hampir terjatuh begitu saja kala Dinara bersitatap singkat dengan lelaki yang pagi- pagi telah berdiri di depan pagar rumahnya.Jemari panjangnya dengan cekatan membuka kunci gerbang. Mata yang belum terbuka sepenuhnya itu sedikit menyipit saat menemukan sosok tinggi mengenakan kaos tanpa lengan dan sepatu olahraga berdiri dihadapannya. Orang itu jelas baru selesai olahraga pagi. Tidak seperti Dinara yang baru saja beranjak dari ranjang kesayangannya. Kalau bukan karena suara baritone orang dihadapannya ini, Dinara mungkin masih sibuk berkelana dalam mimpi.Memang apa yang diharapkan dari hari minggu Dinara? Setelah setiap hari bekerja sambil kuliah, setidaknya dia ingin minggu menjadi hari santainya. Dinara masih mengenakan kaos kebesaran ditambah rambutnya super acak- acakan. Bahkan dia tak repot- repot mengenakan alas kaki untuk keluar rumah. "Cari siapa, ya?" tanyanya sembari masih berusaha mengumpulkan nyawa.Lelaki yang
Rasanya Dinara ingin mencak-mencak meluapkan seluruh kekesalannya. Hari minggu yang biasanya menjadi hari temaram kesayangannya kini seolah berubah menjadi mimpi buruk. Sepertinya Dinara harus menandai kalender hari ini sebagai hari apes khususnya.Bertahun- tahun tidak bertemu, tadi pagi Dinara justru bertemu si menyebalkan Sandi Arsena dengan tampilan paling memalukan. Padahal Dinara kan ingin sekali seperti gadis- gadis di cerita fiksi yang seolah membalaskan dendam pada lelaki masa lalu yang menolak mereka. Tumbuh menjadi gadis cantik dan sukses yang bisa memamerkan kesuksesannya sehingga para lelaki bodoh itu menyesal menyia-nyiakan mereka.Ah, itu semua tinggal angan- angan. Sandi sudah merusak khayalan sempurnanya itu pagi tadi. Meskipun bukan seratus persen salah lelaki tinggi itu, tetap saja Dinara tidak terima. Kenapa juga dia harus tampil memalukan seperti itu?Tapi masalahnya belum berakhir. Sekarang ini Dinara benar- benar tidak tahu lagi harus meletakkan wajahnya dimana.
Dinara mengenakan sepatu hak tinggi miliknya dengan tergesa. Berkas masih belum rapi dan tas yang bertanggar di bahu keadaan resleting terbuka. Gadis dua puluh dua tahun itu hampir saja terjerembab jatuh dari tangga kalau saja tadi sang adik tidak menahan tubuhnya. "Kakak panik banget ! Hati- hati dong!" teriak Dikta yang telah mengenakan seragam sekolah lengkap. Dinara tak mengindahkan kicauan siapapun, dia langsung menarik satu potong roti dan berlalu keluar pintu rumah. "Semuanyaa, Dinara berangkat duluan!" teriaknya sambil berlalu.Kalau saja kemarin malam dia tidak memaksakan diri mengerjakan berkas sampai subuh, mungkin sekarang Dinara tidak akan terlambat bangun. Sebenarnya kalaupun tidak dikerjakan, gadis itu masih punya cukup waktu untuk mengerjakannnya di kantor. Tapi begitulah Dinara jika sudah tenggelam dalam satu pekerjaan. Mungkin jika ada gempa bumi-pun dia tidak akan sadar. Langkah grasa-grusunya terhenti kala netranya menyadari bahwa mobilnya tak berada di tempat s
"Lain kali izin H-1 sama gue!" Dinara menerima kunci sembari sebelah tangannya menoyor pelan adik sepupunya. Keenan meringis, dia memasang tampang kesal karena Dinara masih saja suka menoyornya sembarangan."Ya namanya juga mendadak, kak. Gue juga gaktau kalo si semok mogok begitu," ujarnya membela diri.Dinara mengernyit, "si semok?" Keenan memutar bola matanya malas, "mobil gue," balasnya. Dinara hampir menganga mendengar jawaban acak adik sepupunya itu. Lelaki dua puluh tahun yang merupakan putra dari adik ayahnya. Rumah mereka kebetulan berada di kompleks yang sama sehingga kalau ada apa- apa jadi mudah saling bantu. Apalagi baik orang tua Dinara ataupun Keenan sama-sama pebisnis yang sering hilir mudik keluar kota meninggalkan anak- anak di rumah.Gadis itu tidak ingin meladeni lebih jauh perbincangan tidak penting tentang nama aneh mobil sepupunya itu. Dia bersidekap sembari mengusir Keenan dari wilayah tempat kerjanya. Namun sekali lagi laki- laki itu melebarkan senyuman men