Rasanya Dinara ingin mencak-mencak meluapkan seluruh kekesalannya. Hari minggu yang biasanya menjadi hari temaram kesayangannya kini seolah berubah menjadi mimpi buruk. Sepertinya Dinara harus menandai kalender hari ini sebagai hari apes khususnya.
Bertahun- tahun tidak bertemu, tadi pagi Dinara justru bertemu si menyebalkan Sandi Arsena dengan tampilan paling memalukan. Padahal Dinara kan ingin sekali seperti gadis- gadis di cerita fiksi yang seolah membalaskan dendam pada lelaki masa lalu yang menolak mereka. Tumbuh menjadi gadis cantik dan sukses yang bisa memamerkan kesuksesannya sehingga para lelaki bodoh itu menyesal menyia-nyiakan mereka.
Ah, itu semua tinggal angan- angan. Sandi sudah merusak khayalan sempurnanya itu pagi tadi. Meskipun bukan seratus persen salah lelaki tinggi itu, tetap saja Dinara tidak terima. Kenapa juga dia harus tampil memalukan seperti itu?
Tapi masalahnya belum berakhir. Sekarang ini Dinara benar- benar tidak tahu lagi harus meletakkan wajahnya dimana. Sandi Arsena yang tiba- tiba menjelma menjadi tetangganya itu sekarang justru duduk santai berhadapan dengannya.
Sandi berada tepat dihadapannya, duduk di ruang tamu kediaman Dinara. Entah berapa kebetulan lagi yang harus Dinara percayai? Setelah mengetahui bahwa Sandi adalah tetangga barunya, fakta bahwa mamanya dan mama Sandi merupakan bestie semasa sekolah menengah membuatnya kembali tercengang. Sejak kapan sih dunia jadi sempit begini?
Duo mama sedang asik berbincang disebelah mereka. Dinara rasanya mau kabur dari situasi canggung ini, tapi dia masih punya malu. Dia tak mau dianggap ketus atau kurang ramah, makanya dia bertahan sembari memasang senyum pertahanan diri khas miliknya.
Tawa kencang dari dua bocah lelaki di sofa sedikit mengalihkan perhatiannya. Ada adik lelaki Dinara yakni Dikta yang kini menginjak kelas tiga sekolah menengah pertama sedang bermain game bersama Sean. Sean adalah adiknya Sandi yang baru masuk sekolah menengah pertama tahun ini. Mungkin karena usia kedua bocah laki- laki itu tidak terpaut begitu jauh, makanya mereka jadi cepat akrab begitu.
Sementara orang- orang disebelahnya sibuk dengan dunia dan euforia mereka masing- masing, Dinara dan Sandi justru duduk berhadapan canggung.
Keduanya? Mungkin sebenarnya yang merasa canggung hanya Dinara. Pasalnya sedari tadi Sandi terlihat santai, sesekali dia menimpali percakapan duo mama sembari makan kudapan yang mama Dinara sajikan. Benar- benar santai seperti sudah di rumah sendiri.
Dinara enggan memulai pembicaraan, lebih- lebih karena Sandi sedari tadi juga tidak memulai pembicaraan apapun dengannya juga.
Satu yang jelas. Meskipun sama sekali tak bicara, Sandi terang- terangan menatap Dinara dengan jenis tatapan yang sulit diartikan. Jenis tatapan yang membuat Dinara merasa risih sampai-sampai rasanya ingin sekali menggunakan kentang goreng dihadapannya untuk mencolok mata kurang ajar Sandi.
Tapi Dinara tak mau tampil bar- bar dan semakin merusak citranya.
Untungnya ditengah kekalutan, satu dering panggilan masuk terdengar dan langsung menarik perhatian Dinara. Dia langsung cepat- cepat bangkit dan permisi mengangkat telepon.
"Halo Kal? Kenapa?"
"Dinaraaa astagaaa, gue kira lo gak bakal angkat telponnn!"
Suara cempreng khas milik Kalila langsung mendengung membuat Dinara harus menjauhkan ponselnya dari telinga."Santai aja Kal, gue gak budeg!" Dinara ikut nyolot.
Terdengar kekehan ringan diseberang panggilan, "kirain Dinn. Soalnya biasanya lo gak bakal aktifin hape kalo lagi hari libur gini. Gue ngeliat W******p lo centang dua aja udah beneran bikin kaget. Ini beneran lo kan Din?"
Dinara memutar bola matanya dengan malas. Kalila memang terkadang dramatis, namun untuk urusan kali ini dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Kalila. Kenyataannya memang demikian. Dinara seolah akan memutus seluruh kontak media sosialnya di hari minggu sehingga tak ada pekerjaan kantor ataupun hal- hal sehubungan pekerjaan yang akan mengganggu hari istirahatnya.
"Syukur gue angkat nih, Kal! Udah ah, cepetan! Ada apa lo nelpon gue?"
Meskipun kekehan milik Kalila terdengar belum berhenti, namun kali ini nada gadis itu terdengar sedikit lebih serius.
"Ada klien yang minta rombak hasil. Gue udah kirim poin-poinnya via email. Kalo sempet, tolong kerjain sekalian ya, Din! Soalnya Bu Alana minta draft secepatnya buat doi bawa rapat besok siang," jelasnya.
Dinara sama sekali tak suka mengerjakan tugas diluar jam kerja. Kalau biasanya mungkin Dinara akan menolak mentah- mentah. Namun karena sepertinya yang satu ini urgent dan juga kebetulan bisa dia jadikan tameng, gadis itu justru tersenyum penuh arti.
"Oke bisa! Secepatnya gue kirim balik ya!"
Tanpa basa- basi Dinara mematikan ponsel dan berjalan kecil menuju ruang tamu.
"Ma, tante, Dinara izin keatas dulu ya. Ada kerjaan urgent yang harus aku kerjain sekarang," ucapnya dengan wajah dan suara semanis mungkin.
"Tumben? Biasanya kamu paling anti bawa kerjaan pulang," celetuk sang mama.
Dinara tertawa canggung, "yaa, soalnya urgent ma," jawabnya pendek.
Si mama hanya ber 'oh' ria. Dinara melirik mama Sandi yang masih tersenyum kepadanya,
"Lho, Dinara sudah kerja? Bukannya kamu juga belum wisuda, ya?"
Dinara membalas dengan senyum kecil santun, "kemarin magangnya disana, tante. Setelah magang kebetulan ditawarin untuk jadi karyawan meskipun tanpa ijazah. Yaa saya ambil aja, lumayan mengisi waktu," balasnya santun.
Tante Sandra tersenyum sembari manggut- manggut. "Keren lho kamu, Din! Padahal kamu bisa istirahat dulu sebelum kerja beneran, tapi justru langsung ambil peluang disana," pujinya.
Dinara menggeleng tak enak, sementara mamanya justru langsung menyahut dengan sedikit tawa, "bagaimana ya, jeng? Dinara anaknya memang gak bisa diam. Dulu waktu kuliah terlalu aktif kegiatan, lalu magang dan langsung kerja. Rasanya gak bisa saya temukan di rumah kecuali hari minggu begini. Sampai- sampai saya hampir lupa punya anak perempuan," ujarnya meledek.
"Yaa gak apa, toh larinya kegiatan positif, kan?"
Diberi pembelaan oleh mama tetangga membuat Dinara refleks ingin mengejek mamanya sendiri.
"Jangan dipuji terus, jeng! Nanti jadi besar kepala dia," ledek sang mama lagi.
Dinara sih langsung pasang ekspresi ingin meledek tapi malu. Maka dengan cepat dia pamit dan naik menuju kamarnya diatas. Mengabaikan Sandi yang masih memandangnya intens seolah akan menguliti Dinara hidup- hidup.
Dinara mengenakan sepatu hak tinggi miliknya dengan tergesa. Berkas masih belum rapi dan tas yang bertanggar di bahu keadaan resleting terbuka. Gadis dua puluh dua tahun itu hampir saja terjerembab jatuh dari tangga kalau saja tadi sang adik tidak menahan tubuhnya. "Kakak panik banget ! Hati- hati dong!" teriak Dikta yang telah mengenakan seragam sekolah lengkap. Dinara tak mengindahkan kicauan siapapun, dia langsung menarik satu potong roti dan berlalu keluar pintu rumah. "Semuanyaa, Dinara berangkat duluan!" teriaknya sambil berlalu.Kalau saja kemarin malam dia tidak memaksakan diri mengerjakan berkas sampai subuh, mungkin sekarang Dinara tidak akan terlambat bangun. Sebenarnya kalaupun tidak dikerjakan, gadis itu masih punya cukup waktu untuk mengerjakannnya di kantor. Tapi begitulah Dinara jika sudah tenggelam dalam satu pekerjaan. Mungkin jika ada gempa bumi-pun dia tidak akan sadar. Langkah grasa-grusunya terhenti kala netranya menyadari bahwa mobilnya tak berada di tempat s
"Lain kali izin H-1 sama gue!" Dinara menerima kunci sembari sebelah tangannya menoyor pelan adik sepupunya. Keenan meringis, dia memasang tampang kesal karena Dinara masih saja suka menoyornya sembarangan."Ya namanya juga mendadak, kak. Gue juga gaktau kalo si semok mogok begitu," ujarnya membela diri.Dinara mengernyit, "si semok?" Keenan memutar bola matanya malas, "mobil gue," balasnya. Dinara hampir menganga mendengar jawaban acak adik sepupunya itu. Lelaki dua puluh tahun yang merupakan putra dari adik ayahnya. Rumah mereka kebetulan berada di kompleks yang sama sehingga kalau ada apa- apa jadi mudah saling bantu. Apalagi baik orang tua Dinara ataupun Keenan sama-sama pebisnis yang sering hilir mudik keluar kota meninggalkan anak- anak di rumah.Gadis itu tidak ingin meladeni lebih jauh perbincangan tidak penting tentang nama aneh mobil sepupunya itu. Dia bersidekap sembari mengusir Keenan dari wilayah tempat kerjanya. Namun sekali lagi laki- laki itu melebarkan senyuman men
Jalanan lenggang membuat Dinara berhasil tiba lebih cepat. Dia membelokkan mobil masuk kompleks perumahan dan akhirnya sampai tepat di kediamannya. Ketika hendak menutup kembali gerbangnya, Dinara melirik rumah sebelah yang nampak ramai dengan beberapa mobil- mobil asing. Pikirnya, mungkin keluarga Sandi kedatangan beberapa tamu berhubung mereka baru saja pindah. Dinara tentu tak ambil pusing. Dia langsung masuk kedalam rumah dan menemukan situasi sepi seperti biasanya. Dia mengambil segelas air lebih dulu sebelum memutuskan naik kearah kamar tidurnya. Sebelum masuk, lebih dulu Dinara memeriksa kamar Dikta, adiknya. Didapatinya remaja itu sedang tekun di meja belajarnya. "Mama sama papa udah berangkat, dek?" tanyanya. Memang semalam kedua orang tuanya itu sudah memberi info bahwa mereka akan pergi keluar kota selama beberapa hari untuk mengurus pekerjaan. Dikta membalik tubuhnya dan mengangguk pada Dinara. Remaja laki- laki itu melepas kaca mata belajar miliknya. Dinara terseny
Dinara memutar bola matanya malas sebab nasi goreng yang tadinya dia siapkan untuk diri sendiri sekarang harus dia bagi dua. Setelah memutuskan untuk membawa Sandi masuk kedalam rumahnya, dia harus merelakan porsinya dibagi dua. Lelaki yang duduk santai lesehan di ruang tamu itu makan dengan super lahap seolah tidak sempat makan tiga hari. "Lo ada acara di rumah gak sempet colek makanan dikit gitu?" sarkas Dinara sembari menyuap nasi goreng di piringnya."Jangankan makanan, gue aja kaget yang dateng tiba- tiba sekampung. Awalnya gue cuma ngajakin sepuluh orang. Eh mereka pada ngajakin pacarnya, belum lagi pacar- pacarnya pada bawa temen," ujar Sandi menggebu. Lelaki itu meneguk air dalam gelas yang juga sudah Dinara siapkan sebelumnya. Piringnya sudah bersih sekarang. "Tempat cuci piringnya dimana, Nar?" tanya sandi sembari berdiri. Dinara yang baru saja menghabiskan nasinya ikut beranjak. "Sini biar gue aja!" Tangannya hendak menagih piring di tangan Sandi. Namun dengan cepat le
Lampu remang- remang yang sedari tadi menyorot mendadak berkedip. Seolah seirama dengan mata Dinara yang mengedip heran mendengar ucapan mendadak Sandi. Lelaki dengan rahang tegas itu seolah menenggelamkannya dalam tatapan kelam. Dinara merasakan dejavu yang mendadak membuat ngilu kembali menjalar di hatinya. Ada kebingungan yang sempat mencuat namun dengan cepat ditepis oleh sisi rasionalnya. Gadis itu kembali pada wajah datarnya, "Sekarang gue paham kenapa lo sampai dikejar- kejar penggemar gila. Lo gampang mengumbar omongan," ujarnya. Sandi yang awalnya diam kini kembali tertawa kecil. "Lo gak baper?" tanya Sandi."Kalau maksudnya bawaan laper, ya gue baper," jawabnya tanpa beban. Sekali lagi Sandi tergelak akan jawaban santai bernada datar milik Dinara.Awalnya Sandi pikir Dinara adalah sosok kaku seperti apa yang teman-temannya ceritakan dahulu. Mereka bilang Dinara hanyalah gadis ambisius yang tidak bisa bercanda. Masuk daftar hitam untuk didekati karena sulit digapai. Namu
"Din, Mas Alam udah kirim fotonya. Tolong langsung buatin deskripsinya sekarang ya!""Minta tolong revisian naskah yang Pak Samsul kemarin dong, Din!""Bu Alana minta draft-nya harus rampung nanti sore, langsung print out aja kalo udah kelar!"Hari-hari hectic Dinara berjalan seperti biasanya. Penuh dengan pekerjaan yang padat merayap namun syukurnya masih bisa dia kerjakan dengan baik. Jemarinya tak henti bergerak lincah diatas keyboard saat merevisi naskah buatan rekan-rekan satu timnya. Setelah selesai, Dinara akan langsung mengirimkannya pada Kepala Divisi untuk ditinjau kembali atau mengembalikannya lengkap dengan catatan.Terdengar suara-suara sendi saat Dinara mulai meregangkan tubuhnya di depan meja kerja. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dia bisa pulang tiga puluh menit lagi kalau memang tidak ada lembur hari ini. Dinara meninjau lagi daftar pekerjaannya. Menandai mereka dengan tanda centan
"Oh iya, surat pengajuan cuti dua hari kamu sudah disetujui HR. Good luck wisudanya, ya!" Bu Alana berujar usai dia melahap potongan terakhir brownies bagiannya. Dinara yang mendengar kabar baik langsung memamerkan deretan giginya, "terimakasih, bu!"Ia memang telah mengajukan cuti dua hari untuk wisudanya nanti. Satu untuk gladi dan satu lagi untuk hari wisuda. Meskipun masih dua minggu lagi, Dinara harus mengajukan jauh-jauh hari karena itulah prosedur yang berlaku di perusahaan.Mendengar wisuda, tiga serangkai yang tadinya masih asik menghabiskan cemilan langsung kembali bersuara. "Emang udah selesai ngurus surat-surat kelengkapan wisuda, Din?" tanya Stecia.Dinara mengangguk, "udah kelar minggu lalu. Itu lho pas gue izin datang terlambat karena harus ke kampus nyetor berkas kelengkapan wisuda," ujar Dinara. Stecia menerawang karena baru ingat. "Terus kebaya sama MUA juga udah siap?" tanya Kalila kali ini. Dinara mengangguk lagi. Semuanya memang sudah disiapkan sejak lama. K
Ada yang lebih sulit daripada pelajaran fisika yang Sandi Arsena selalu hindari saat sekolah dulu. Dia pikir itu mungkin tidak ada bedanya dengan memahami seorang Dinara Jeandra.Untuk kesekian kalinya laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu berdecak sebal. Apalagi setelah melihat bahwa tak ada satupun pesannya yang dibalas Dinara. Dibaca saja tidak. Atau mungkinkah Dinara memblokir nomornya?"Lo janji mau ngabulin permintaan gue, kan? Cuma satu, setelah ini ayo pura- pura saling gak kenal."Sandi masih ingat kalimat singkat dengan nada datar yang Dinara ucapkan tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Pukul dua belas lebih lima menit saat Dinara mengantarnya keluar gerbang dan seolah berbicara tanpa emosi. Saat itu, Sandi hanya bisa membeku, tak mengucapkan sepatah katapun karena terlalu bingung dengan situasi yang dia hadapi. Terhitung hampir lima belas jam, kalimat yang tak bisa Sandi pahami itu terus berputar mengacaukan kewarasannya. Ada apa? Mengapa kalimat itu terdengar sanga