Ada yang lebih sulit daripada pelajaran fisika yang Sandi Arsena selalu hindari saat sekolah dulu. Dia pikir itu mungkin tidak ada bedanya dengan memahami seorang Dinara Jeandra.Untuk kesekian kalinya laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu berdecak sebal. Apalagi setelah melihat bahwa tak ada satupun pesannya yang dibalas Dinara. Dibaca saja tidak. Atau mungkinkah Dinara memblokir nomornya?"Lo janji mau ngabulin permintaan gue, kan? Cuma satu, setelah ini ayo pura- pura saling gak kenal."Sandi masih ingat kalimat singkat dengan nada datar yang Dinara ucapkan tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Pukul dua belas lebih lima menit saat Dinara mengantarnya keluar gerbang dan seolah berbicara tanpa emosi. Saat itu, Sandi hanya bisa membeku, tak mengucapkan sepatah katapun karena terlalu bingung dengan situasi yang dia hadapi. Terhitung hampir lima belas jam, kalimat yang tak bisa Sandi pahami itu terus berputar mengacaukan kewarasannya. Ada apa? Mengapa kalimat itu terdengar sanga
"Ayolah, Nar! Lo sama sekali gak pernah muncul waktu kita ngumpul. Reuni ini mau dilewatin gitu aja?" Kiran mungkin manusia kesekian yang telah menghubungi Dinara pasal reuni angkatan SMA-nya minggu depan. Dinara sudah mendapatkan undangannya secara online. Dia juga mendadak masuk grup kelas lagi pagi ini. Pagi harinya yang hectic bertambah riuh karena tumben sekali ponselnya jadi ramai. Dinara akhirnya membisukan pesan grup agar tidak mengganggu fokus bekerjanya. Apapun itu, Dinara sama sekali tidak tertarik menghadiri acara reuni semacam ini. Lagipula, Dinara bukan sosok supel banyak teman yang akan bisa bersenang- senang disana nantinya."Sekali aja, Nar! Emang lo gak kangen temen-temen SMA?" tanya Kiran lagi.Kangen? Dinara juga mempertanyakan kembali frasa kangen yang disebut oleh mantan teman sebangkunya itu. Apakah masa sekolah menengah atas Dinara dulu semenyenangkan itu sampai dia harus kangen?Tiga tahun Dinara habiskan hanya untuk belajar dan belajar. Dia tidak punya ling
Dinara menghabiskan lebih dari sepuluh menit untuk membersihkan seluruh tubuh dan rambutnya. Sabtu ini menjadi hari yang cukup melelahkan baginya karena harus ikut penjajakan lapangan ke beberapa client untuk mendapatkan materi. Menggantikan Steci yang mendadak limbung akibat vertigonya kumat. Usai mandi, Dinara bersiap mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Berhubung ini masih sore, Dinara berencana menghabiskan waktunya dengan menonton serial di platform berbayar. Namun sebelum itu, dia perlu mengisi perutnya yang keroncongan. Baru lima sendok nasi campur dia telan, suara pintu utama yang didorong terdengar. Dinara yakin itu Dikta, adiknya yang baru saja pulang dari bimbel. Dinara hendak menyiapkan satu bungkus nasi campur yang memang dia beli untuk adiknya. Namun penampakan gadis 160 senti dengan gaun berwarna pink cerah membuatnya silau. Bukan Dikta, namun Kiran yang sedang berdiri membawa satu koper tengah berkacak pinggang menatap Dinara galak. "Lagi minggat, Ran? Tumben
Ini mungkin kali pertama Dinara menjejakkan kaki di salah satu hotel paling mahal di kotanya. Tidak heran sih harganya selangit, begitu masuk saja mereka sudah disuguhkan taman kecil area parkir yang ditata sedemikian rupa. Sangat cantik, apalagi dalam keadaan gelap begini dibantu oleh lampu-lampu taman yang tersusun manis. Setelah melewati taman, mereka terus masuk kedalam melewati ballroom menuju areal taman belakang yang sudah disulap menjadi pesta taman nan mewah. Mereka tidak menggunakan ballroom hotel, melainkan memilih untuk meyelenggarakan keseluruhan pesta secara terbuka di taman belakang. Sepertinya anak- anak muda zaman sekarang selain suka cari masalah juga suka cari angin. Dinara menyambut beberapa cipika-cipiki dari lingkaran pergaulannya semasa SMA dulu. Ada Julie, Viviane, dan Kanaya yang langsung menghampirinya ketika Dinara baru saja masuk bersama Kiran.Menemui banyak sekali wajah familiar yang menyapanya, Dinara terus mempertahankan senyum canggungnya. Terjebak
Dinara dengan serius bertanya, memang apa sih keuntungan yang didapatkan dengan merundung seseorang? Gadis itu menahan geram saat menyaksikan sebuah pertunjukan besar di kolam renang. Seorang perempuan tercebur secara dramatis dan disaksikan semua orang. Dinara menyipitkan penglihatannya, yakin bahwa orang yang jatuh ke dalam kolam itu tampak familiar. "Itu nenek sihir punya masalah apa sih? Kayanya sejak kelas sepuluh si Felma jadi sasaran dia terus," tanya Kiran tak habis pikir. Ah iya, Dinara baru ingat nama gadis itu Felma. Gadis berkacamata yang sering mengikuti lomba- lomba akademik, sama sepertinya. Seingatnya, Felma selalu menjadi siswa perwakilan kelas MIPA 2. Dinara sebenarnya juga tak terlalu mengenalnya, mereka hanya pernah bercakap sekali saat kegiatan seleksi.Sementara di tepi kolam, berdiri dengan angkuh gadis dengan rambut ikal dan dress slit yang belahan bagian kaki terbuka cukup panjang. Gadis yang tadi sempat mengamit lengan Sandi secara posesif. "Sejak kapan s
Kesialan Dinara nampaknya belum berhenti. Kali ini netranya kembali bertabrakan dengan tatapan elang yang membeku. Belum sempat Dinara menjauhkan diri dari sana, suara Kalista yang menggelegar kembali terdengar dan kali ini membuat Dinara kembali kehabisan kesabaran. "Kayanya lo emang sengaja cari perkara sama gue supaya dinotice crush?" Dinara membeku di tempat. Dihadapannya ada Sandi yang berdiri kaku balas menatapnya. Sementara dibelakang tubuhnya ada Kalista yang entah sejak kapan sudah berdiri disana menyusulnya."Astaga Dinara! Gue gak pernah nyangka bahwa kita bakal terlibat dalam satu frame. Tapi berhubung lo udah mengacaukan kesenangan gue, should we make it even better?" Semua manusia disana serentak menahan nafas. Mereka tahu bagaimana kasarnya Kalista kalau sudah dalam mode merundung orang. Tapi mereka juga tahu bahwa Dinara bukan gadis sembarangan. Tidak sabar akan kejadian mengejutkan macam apa selanjutnya. "Soal cinta bertepuk sebelah tangan yang lo alamin karena Sa
"Cewek gue katanya bos!" pekik seseorang yang makin menyulut riuh sorakan yang lainnya. Bagaimana tidak? tiga orang populer mendadak terlibat dalam satu frame dan menghasilkan sebuah pertunjukan besar.Sandi si incaran para kaum hawa tak pernah sekalipun terdengar se-emosi itu di depan umum. Tapi kini dengan netra memerah dia mencengkram lengan salah satu penggemar fanatiknya di depan umum. Apalagi disaat bersamaan tangan sebelahnya juga merengkuh lembut gadis lainnya. "S-Sandi, sakit!" Kalista mendadak terdengar ciut. Padahal sedari tadi suaranya adalah yang paling menggelegar disini. Dia mungkin berusaha menampakkan citra sok lemah di depan laki- laki incarannya.Netra nyalang Sandi tidak padam sama sekali. Dengan sebuah dengusan ia memandang Kalista remeh."Lo kok lebih belain cewek aneh ini daripada sahabat lo sendiri?" tanya Kalista dengan sok sedih.Semua tahu bagaimana Sandi Arsena selalu ramah dan berteman dengan siapapun. Teman Sandi memang dari berbagai kalangan, termasuk K
Dinara mengabaikan beberapa pesan yang masuk hampir bersamaan di ponselnya. Dia bahkan mendadak masuk kedalam grup baru besutan Kiran. Seperti yang dia duga, kejadian tadi sudah pasti sukses membuatnya jadi bahan perbincangan teman- teman satu almamaternya. Setidaknya Dinara bersyukur sudah lulus, dia tidak perlu menghadapi semua orang itu lagi setiap hari. Kiran, Viviane, Julie, dan Kanaya masih memborbardirnya dengan ribuan pertanyaan. Gadis itu pada akhirnya memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Mengarahkan pandangannya ke kiri, menyaksikan pepohonan dan jalanan malam yang berada disekitarnya. Denting ponsel disebelahnya juga tidak kunjung berhenti, sudah pasti lelaki itu mengalami hal yang sama dengannya. "Kita gak bisa pura-pura saling gak kenal lagi, kan?' Dinara menoleh saat Sandi akhirnya buka suara dengan nada sindiran. Satu tangan lelaki itu sibuk menekan tombol power guna menonaktifkan ponselnya sebelum melemparkannya kembali ke tempat semula. Dari reaksinya, Dinara yak