Dinara tidak kaget saat menemukan Sean bersama Dikta bermain game di ruang keluarga. Kemarin Dikta memang mengatakan akan bersama Sean seharian karena orang tua bocah itu sedang pergi ke Bandung untuk beberapa urusan keluaarga. Satu-satunya yang membuat Dinara jengkel adalah keberadaan Sandi Arsena yang notabene merupakan kakak Sean. Pikirnya hanya Sean yang akan berada disini, namun mengapa Sandi juga ikut duduk bersandar disana juga? Tiga laki- laki itu sepertinya benar- benar menikmati hari minggu pagi yang menyenangkan. Rebahan santai namun mulutnya aktif—entah makan ataupun melafalkan nama-nama binatang. Satunya tiduran di sofa, ada yang di lantai, dan ada juga yang bersandar di dekat sofa. "Kak Naraaa! Ikut main game gak?" sapa Sean dengan senyum cerah. Bocah laki-laki itu menyapanya dengan manis. Sejak awal bertemu, Sean sudah menunjukkan keramahan yang luar biasa—sepertinya satu keluarganya pun begitu. Ditambah lagi, Tante Sandra mengatakan bahwa Sean memang kerap mere
Tidak ada waktu untuk tenang di hari minggu yang cerah ini. Bukan karena pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, melainkan karena tiga anak laki-laki yang tadinya sibuk bermain playstation itu seperti tidak kehabisan energi sama sekali. Beberapa waktu yang lalu mereka mulai bermain UNO lalu bergeser pada permainan kartu lainnya. Permainan apapun itu, hebohnya tetap sama. Saling tertawa dan bicara dengan suara keras nan lantang yang menggema. Untung saja ada cukup jarak antar rumah di kompleks ini sehingga Dinara tidak perlu khawatir mendapatkan omelan dari tetangga manapun. Ditambah lagi, jarak dari ruang keluarga dengan halaman depan rumahnya pun tidak terlalu dekat sehingga orang lewat pun tidak akan mendengar kegaduhan disini. Sayangnya Dinara bukan orang luar. Dia harus bertahan dan terpaksa menikmati seluruh kegaduhan tidak biasa ini secara dekat nan lekat. Pasalnya, Dikta sekarang sudah bergabung dalam klan super ribut milik Sandi dan Sean. Dia tidak tahu sejak kapan adiknya
Dinara bersenandung kecil, bibirnya menggumamkan lirik puitis sebuah lagu yang sempat dia dengar di radio—entah apa judulnya. Angin menerpa rambut panjangnya yang tergerai hingga melambai halus. Kardigan panjang berwarna nude yang dia kenakan menutupi kaos crop dan celana pendeknya. Seperti gadis kecil, netranya berbinar ketika menemukan beberapa cangkang kerang yang sudah kosong. Sandi yang berjalan dibelakangnya sampai bingung sendiri ketika Dinara tiba- tiba berjongkok dan menampakkan sebuah senyuman indah karena temuannya. Padahal tadi Dinara lah yang ragu- ragu beranjak dari duduknya, tapi kini dia justru terlihat sangat antusias. Dari responnya, Sandi tahu dia tidak salah memilih tempat ini sebagai lokasi rekreasi singkat mereka. Pergerakan gadis itu benar- benar halus sehingga Sandi bahkan sampai tidak sadar terus mengarahkan mirorless miliknya kearah Dinara. Gadis yang terlalu sibuk bergelung dalam dunianya sendiri itu bahkan tidak menyadari ada bidikan dari beberapa sudut
"Lo ngutang penjelasan banyak banget, Din!"Dinara baru saja melilitkan handuk di rambut basahnya saat Kiran muncul di depan pintu kamar mandi. Selain Kiran, tiga lainnya juga menjajah kamar Dinara. Ada Viviane yang tengah duduk di meja rias. Julie rebahan di tempat tidur. Sementara Kanaya duduk di lantai sibuk dengan setoples nastar buatan Dinara. Kamar yang biasanya tenang temaram kini dalam hitungan menit berubah bak markas yang habis digunakan sebagai arena perang.Empat orang wanita itu menyambangi kediamannya bertepatan saat Dinara baru saja kembali dari pantai bersama dengan Sandi dan adik-adiknya. Itu pukul delapan malam dan pertemuan tidak diduga itu benar-benar mengagetkannya. Dinara merasa seperti diciduk satpol karena empat pasang mata itu menuntutnya dengan tatapan minta penjelasan."Kita udah nelpon dan chat lo berkali-kali tapi hp lo gak aktif!"Petikan kalimat protes yang disuarakan Kiran menyadarkan Dinara. Saking nyamannya tanpa ponsel, dia bahkan belum menyalakan po
"Kangen banget ya sampai minta ketemuan sama gue?"Sandi menaik turunkan alisnya dengan senyum miring menggoda. Dinara yang baru saja sampai di depan rumah Sandi masih mempertahankan raut masamnya. "Hapus foto gue!" Titahnya.Alis Sandi kembali mengenyit naik sebelah. Melihat Dinara yang datang dengan kaos rumahan, rambut setengah basah dan sandal super lucu membuat Sandi menyadari betapa seriusnya gadis itu. Dia langsung datang hanya dalam beberapa menit setelah foto candid di pantai tadi Sandi unggah di instagram pribadinya. Meskipun Dinara memandangnya galak, tak sedikitpun Sandi gentar. Dia malah dengan santai membuka gerbang lebih lebar. "Masuk dulu, yuk! Dingin banget diluar, apalagi lo cuma pakai kaos tipis," ujarnya tenang. Dinara merasa Sandi benar- benar meremehkan kemarahannya. Gadis itu menghempas tangan Sandi yang hendak menuntunnya masuk ke dalam rumah."Gak! Kita bicara disini aja!" Tegasnya.Penolakan Dinara membuat Sandi lagi- lagi tersenyum miring."Kalau gitu, lo
Manusia tidak bisa saling paham dengan apa yang ada dalam pikiran manusia lainnya. Kali ini, Sandi semakin membuat Dinara yakin seratus persen dengan hipotesis itu. Tidak ada satupun tindakan Sandi bisa dia pahami sekarang. Apa sih yang sebenarnya Sandi inginkan darinya? Dalam waktu kurang dari satu bulan, Sandi berhasil memberinya banyak sekali jenis kejutan. Mulai dari sorotan umum, narasi kisah yang harusnya sama sekali tidak dia perlukan, hingga letupan- letupan baru di relungnya yang sama sekali tidak mau Dinara akui keberadaannya. Ya. Dinara benci mengakui bahwa Sandi membuatnya kembali berdebar akan hal- hal yang tidak pasti. Munafik kalau Dinara mengatakan bahwa dia tidak merasakan sesuatu setiap kali berdekatan lagi dengan Sandi. Dia tidak sebodoh itu untuk menangkap sinyal bahwa saat ini Sandi berusaha mendekatinya. Nah, itu dia masalahnya. Untuk apa Sandi mendekatinya? Dinara yakin letupan dan aneka perasaan aneh yang kini menjalar dalam dirinya adalah sebuah sinyal
Senyum penuh wibawa yang tadi dia sampirkan langsung luruh begitu saja begitu kembali pada tempat duduknya. Dinara menghela nafas perlahan, menahan sesak yang menjalar dalam hatinya. Kepalanya sedikit menengadah, takut kalau- kalau ada air mata yang jatuh merusak riasannya.Suasana disini sangat ramai. Dinara duduk di deret keempat dari sekitar 20 deret yang ada. Saat ini, pita toganya sudah digeser Rektor. Giliran bangku dibelakangnya yang ikut prosesi. Alunan lagu dari grup paduan suara mengiringi barisan wisudawan yang menunggu giliran diresmikan. Ini akan berlangsung cukup lama karena Rektor harus meresmikan sekitar lima ratus wisudawan dan wisudawati yang berada di aula utama kampus ini.Hari ini seharusnya menjadi salah satu hari paling bahagia yang dia miliki. Diwisuda sebagai lulusan dengan predikat terbaik di fakultasnya merupakan pencapaian luar biasa untuk Dinara. Sayang sekali kedua orang tuanya tidak bisa turut hadir dalam acara ini. Adiknya juga masih ada ujian sehingga
"Tau darimana gue wisuda hari ini?""Astaga Dinara! Lo kuliah di kampus besar! Jadwal wisuda lo bisa gue dapet dengan mudah, apalagi banyak juga temen- temen gue yang berasal dari kampus ini," ujar Kiran gemas sendiri. Dinara hampir melupakan fakta yang satu itu. Banyak sekali yang posting terkait persiapan wisuda dan semacamnya di media sosial. Kiran yang juga anak jebolan medsos pasti langsung paham akan adanya perhelatan ini. "Om sama tante belum dateng, Din?" Pertanyaan dari Viviane mendadak membuat Dinara sedikit lesu. Meski begitu, dia tetap berusaha untuk terlihat tetap tegar. "Papa masih ada urusan di Jepang, jadi mama juga ikut disana. Dikta masih ada ujian juga," jawabnya sembari memaksakan sedikit senyum. Viviane agaknya merasa bahwa dia keliru bertanya. Jadi dia pada akhirnya hanya bisa tertawa canggung. "Ya udah, anggap kehadiran kita disini penggantinya. Sebagai utusan keluarga lo, hari ini Kiran yang traktir makan!" Ujaran penuh semangat dari Kanaya langsung mendap
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
“Apa kabar Dinara?” Satu kalimat pendek yang Alana layangkan pertengahan januari lalu membuka kembali komunikasi antar mantan rekan kerja itu. Alana tak mau banyak basa-basi dan langsung menawarkan pekerjaan meskipun dia tahu Dinara masih dalam masa menyelesaikan studinya. Alana cukup tahu kapasitas kerja Dinara Jeandra. Dia mengenal Dinara sejak gadis itu masih magang di perusahaan lama. Apa yang dia tawarkan saat itu juga merupakan sesuatu yang fleksibel yang untungnya disanggupi oleh Dinara sendiri. Meskipun pada awalnya wanita muda itu agak meragukan dirinya sendiri. Bisa dibilang, Alana pada akhirnya dengan percaya memberikan posisi tetap pada Dinara. Syukur juga Dinara berkesempatan lulus lebih awal sehingga dia bisa kembali ke Indonesia lebih dulu. Dan disinilah dia sekarang. Tanah kelahirannya yang amat dia rindukan. Berdiri dengan anggun memperkenalkan diri sebagai junior manager salah satu cabang perusahaan milik keluarga Alana. Pertemuannya dengan Sandi disini pun sebe
“Kalau bukan karena Kak Alana, gue nggak bakal bela-belain dateng, sih!” Arkasa tertawa kecil menyambut kedatangan sepupu kesayangannya yang berjalan kearahnya dengan wajah setengah cemberut. Tapi siapapun tahu bahwa raut itu jelas dibuat-buat karena beberapa detik kemudian si pelaku justru menjabat tangan Arkasa dengan santai dan menampilkan senyuman lebarnya. Wajahnya jadi agak lucu, kontras dengan setelan desainer serta sisiran rambutnya yang ditata rapi. Lelaki itu kemudian lanjut bersalaman dengan pemilik utama perhelatan, Alana Diandra Yasmin. “Katanya lo maraton kesini setelah dari acaranya Damian, ya?” tanya Alana memastikan info yang dia dapat dari asistennya.Sang suami lebih dulu menambahi, “Udah makin sering gantiin Om Seno di event-event gede! Tinggal nunggu peresmian aja sih kalau gini,” godanya.Sandi Arsena memasang wajah malas, pun menggeleng sebagai tanggapan lanjutan. Memang setelah hampir setahun mengabdi di anak perusahaan, akhirnya secara resmi Sandi diperkena
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berkunjung ke museum, foto-foto di beberapa bagian town square, belanja ke toko buku dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Cambridge. Jangan tanya kenapa destinasi wisata keduanya jadi terlihat akademis begitu. Mau bagaimana lagi? Tempat semacam itulah yang dimiliki oleh salah satu wilayah institusi pendidikan ini. Dinara paling malas kalau harus berkendara jauh, sementara Sandi juga tidak terlalu mengenal banyak tempat disana. Maka dari itu keduanya memilih untuk berwisata sesuai panduan di internet, mendatangi tempat-tempat sekitar mereka yang jadi pilihan turis. Dinara sempat membeli beberapa buku dan sangat menikmati kunjungannya. Sementara Sandi sih sebenarnya sama sekali tidak masalah mau kemanapun, poin pentingnya adalah dia harus menghabiskan wak
Terbangun dari mimpi indahnya yang seakan hanya berlangsung dua detik. Dinara mendapati dirinya telah berada dalam kamar asrama—masih dengan pakaian semalam karena gadis itu ternyata justru ketiduran. Melirik jam di meja, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum dia harus ke kampus untuk mengumpulkan hardcopy tugas. Semuanya sudah siap, Dinara tinggal mandi dan siap-siap sedikit lalu berjalan menuju kampus yang hanya sekitar lima menit dari asrama. Pandangannya kini tertuju pada langit-langit kamar, memandang kosong atau bahkan lebih tepatnya memutar kembali memori semalam yang masih berbekas. Kali pertama dia melangkah lebih jauh dengan Sandi—maksudnya ya belum sampai dijebol tapi sepertinya ini sudah sangat intim baginya.Dinara masih ingat pandangan kelam dan bibir bengkak Sandi dihadapannya, begitu juga selatannya yang jelas terasa mengganjal. Cahaya remang-remang dan bahkan mereka hanya berdua dini hari kemarin. Meskipun Sandi berhasil menyentuh kulitnya lebih banyak, tetap saja
Pada akhirnya, dua insan yang sempat terpisah jarak dan waktu itu hanya bisa duduk dalam diam. Dinara yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar serta Sandi yang merasa terlalu meluap-luap hingga berprasangka buruk begitu saja. Canggung? Tentu. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa Sandi bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Itu yang mendasari pada akhirnya kata maaf meluncur beberapa kali. Meskipun sebenarnya Dinara masih sedikit gondok menghadapinya.“Besok kamu ada kelas jam berapa?” tanya Sandi pada akhirnya.Dinara meliriknya sebentar, “sekitar pukul sebelas, hanya submit tugas,” jawabnya. Sandi mengangguk paham, “aku disini seminggu kedepan. Kapan ada waktu luang? Temenin jalan-jalan, bisa?” tanya Sandi lagi.“Kemana?” Dinara mau, tapi sejujurnya dia tidak terlalu tahu banyak tempat disini. Seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Dinara bahkan sama sekali belum sempat jalan-jalan. “Kemana aja. Kamu nggak akan nyasar, kok!” ucap Sandi seolah menjawab kekh