Dinara mengenakan sepatu hak tinggi miliknya dengan tergesa. Berkas masih belum rapi dan tas yang bertanggar di bahu keadaan resleting terbuka. Gadis dua puluh dua tahun itu hampir saja terjerembab jatuh dari tangga kalau saja tadi sang adik tidak menahan tubuhnya.
"Kakak panik banget ! Hati- hati dong!" teriak Dikta yang telah mengenakan seragam sekolah lengkap.
Dinara tak mengindahkan kicauan siapapun, dia langsung menarik satu potong roti dan berlalu keluar pintu rumah. "Semuanyaa, Dinara berangkat duluan!" teriaknya sambil berlalu.
Kalau saja kemarin malam dia tidak memaksakan diri mengerjakan berkas sampai subuh, mungkin sekarang Dinara tidak akan terlambat bangun. Sebenarnya kalaupun tidak dikerjakan, gadis itu masih punya cukup waktu untuk mengerjakannnya di kantor. Tapi begitulah Dinara jika sudah tenggelam dalam satu pekerjaan. Mungkin jika ada gempa bumi-pun dia tidak akan sadar.
Langkah grasa-grusunya terhenti kala netranya menyadari bahwa mobilnya tak berada di tempat semestinya. Masih dengan mulut penuh roti dan mata membulat ssempurna, Dinara berbalik badan mendapati sang mama telah menyusulnya.
"Ma, mobil Dinara mana?" tanyanya dengan mulut penuh.
Sang mama mendengus, "makanya dengar dulu! Kamu sih langsung pergi- pergi aja. Itu sepupu kamu, Keenan, tadi pagi pinjam mobil buat jemput tante Nia. Soalnya mobil dia lagi di bengkel," jelas si mama sembari berkacak pinggang.
Dinara melotot, "kok mama gak bilang Dinara dulu, sih?!"
"Ya kamunya kan masih tidur. Lagipula mama kira hari ini kamu bareng sama Kalila," jawab wanita parubaya yang seolah masih belum punya kerutan di wajahnya itu. Dia nampak santai saja meskipun putrinya terlihat benar- benar cengo sekarang.
Dinara menghela nafas lelah, tidak ada waktu baginya untuk berdebat. "Papa mau jalan jam berapa?" tanyanya ketika menyadari yang tersisa di garase hanyalah mobil sang papa.
"Papa kamu masih mandi. Nanti juga dia berangkat sekalian anter Dikta ke sekolah."
Dinara melirik jam di pergelangan tangannya, "Dikta kok belum berangkat? Ini sudah hampir jam sembilan lho, ma!"
Mama Dinara kembali menggeleng- gelengkan kepalanya, "sekolahnya Dikta hari ini ada acara, murid kelas sembilan justru diintruksikan datang jam sepuluh," penjelasan sang mama membuat Dinara makin pasrah. Kalau sudah begini, tidak ada harapan numpang ngebut bareng papanya.
Biasanya memang Dinara berangkatnya santai. Kadang naik ojek online, kadang nebeng teman, kadang juga bawa mobil sendiri. Tapi hari ini Dinara sudah hampir terlambat, jadi dia tentu memikirkan opsi paling cepat. Tapi siapa sangka kesialan sepertinya sedang menyapa?
"Ah, mama punya ide!"
Dinara melongo saat mama cantiknya itu berjalan cepat melewati tubuhnya. Matanya lagi- lagi membulat kaget saat menyadari sang mama sudah membuka gerbang dan tengah berbincang dengan seseorang disana. Netranya menyipit sehingga dia baru menyadari itu Sandi Arsena yang tengah tersenyum ramah disana.
Entah apa yang mamanya katakan, yang jelas sekarang wanita empat puluhan tahun itu melambai kearahnya. Lebih tepatnya memanggil Dinara untuk segera mendekat.
"Tante titip Dinara ya, San! Maaf kalau ngerepotin," ujar sang mama lembut. Lembut sekali sampai rasanya Dinara tak ingat kapan mamanya bicara selembut itu pada putrinya sendiri.
"Gak apa kok, tan. Saya juga kebetulan lewat sana jadi bisa sekalian," Sandi melirik Dinara sekilas sebelum dia memutari mobil dan membuka pintu sebelah kemudi.
Melihat Dinara masih melongo dan hendak protes, sang mama justru mendorongnya untuk masuk kedalam mobil.
"Sudah sana berangkat! Katanya gak mau sampai terlambat, kan?" satu kerlingan nakal hinggap di mata sang mama yang membuat Dinara meringis sebal.
Sementara Sandi kini sudah berada disebelahnya, duduk memasang seat belt. Lelaki yang kali ini tampil dengan rambut rapi itu melirik Dinara penuh arti, "seat belt-nya dipakai, Dinara," ujarnya halus.
Dinara tanpa babibu langsung mengikuti perintah. Mobil Civic milik Sandi pun berlalu membelah jalanan, meninggalkan kompleks perumahan keduanya.
"Lo absensi jam berapa, Nar?" tanya Sandi yang fokus dengan setir.
"Sembilan pagi," jawabnya singkat.
Sandi melirik jam dengan merk ternama yang melekat di pergelangan tangannya. Sisa lima belas menit dan mau tak mau Sandi mempercepat laju kendaraannya.
Lajunya cukup cepat dan Sandi menyalip secara teratur. Kalau di jalanan depan tidak macet, Dinara memperhitungkan dia bisa sampai tepat waktu. Namun tetap saja, gadis itu harus menahan kaget dan takut. Dia bahkan beberapa kali memejamkan mata dan mencengkram tasnya setengah takut.
Menyadari itu, Sandi menampilkan sedikit seringaian miring sembari memperlambat sedikit laju kendaraannya. Dinara yang merasakan laju mobil sudah lebih tenang mulai membuka mata. Mereka sekarang sudah memasuki wilayah industrial dimana gedung-gedung kantor pencakar langit berada. Mobil di daerah sini sudah lebih padat daripada jalanan sebelumnya sehingga turut menjadi alasan bagi Sandi untuk memperlambat laju kendaraan.
Tepat berhenti di depan gedung kantornya. Dinara termenung sebentar saat menyadari bahwa nyawanya ternyata masih ada di tempat. Sebenarnya hendak protes, namun Dinara masih cukup tahu diri setelah dibantu. Dinara melirik jam tangannya dan ternyata sisa lima menit lagi. Sebelum keluar dari mobil, tak lupa gadis itu mengucapkan terimakasih pada Sandi yang memberikannya tumpangan (nyaris maut) gratis.
"Makasih banyak, San! Sorry jadi ngerepotin," ujarnya.
Sandi tersenyum simpul, "sering- sering juga gak apa," balas Sandi.
"Hah?" Dinara tak begitu mendengarnya karena Sandi bicara sembari langsung keluar dari mobil. Sementara Dinara masih planga-plongo, lelaki dengan kemeja biru tua itu ternyata sudah membuka pintu penumpang dan tentu mengagetkan Dinara. Apalagi secara tiba- tiba Sandi membawa masuk setengah tubuhnya dan melewati wajah Dinara saat ia berusaha membantu melepaskan seat belt di tubuh Dinara.
"Dinara.."
Dinara mengerutkan kening saat jari telunjuk Sandi menunjuk garis bibir Dinara. Mata Dinara membulat, apa- apaan ini? Jangan bilang Sandi memintanya untuk—
"Remahan rotinya berantakan disekitar bibir."
Ada semacam angin lalu yang membuat Dinara berdesir—lebih tepatnnya karena malu. Bisa-bisanya otak kotornya berpikiran yang tidak- tidak. Ini pasti akibat ikut-ikutan menonton drama romansa rekomendasi Kalila!
"Makasih," ucap Dinara singkat sembari mengusap sekitar bibirnya. Sandi juga sudah menarik diri dan keluar dari mobil.
"Udah, makasihnya nanti aja. Keburu telat tuh nanti," tutur Sandi lagi mengingatkan.
Dinara mengangguk lalu dengan segenap tenaga berlari menuju pintu masuk. Syukurnya dia masih bisa absensi tepat waktu meskipun harus melewati beragam drama pagi hari. Baru menghela nafas lega, suara- suara menyebalkan tiba- tiba terdengar dari belakang punggungnya.
"Cie Dinn, siapa tuh yang tadii?"
"Ganteng yang ini, Din! Supir Grab yang ini ada nomornya, gak?"
"Astaga Dinara akhirnya deket sama cowok guys!!"
Bola matanya dia rotasikan dengan malas. Bagaimana ya? Seumur- umur Dinara tidak pernah diantar ke kantor oleh yang tampan begini. Kalaupun ada lelaki yang mengantar Dinara, paling hanya sebatas adik sepupunya, si ayah, atau supir saja.
Pemandangan semacam tadi sudah pasti akan jadi santapan besar untuk grup ghibah kantor.
"Lain kali izin H-1 sama gue!" Dinara menerima kunci sembari sebelah tangannya menoyor pelan adik sepupunya. Keenan meringis, dia memasang tampang kesal karena Dinara masih saja suka menoyornya sembarangan."Ya namanya juga mendadak, kak. Gue juga gaktau kalo si semok mogok begitu," ujarnya membela diri.Dinara mengernyit, "si semok?" Keenan memutar bola matanya malas, "mobil gue," balasnya. Dinara hampir menganga mendengar jawaban acak adik sepupunya itu. Lelaki dua puluh tahun yang merupakan putra dari adik ayahnya. Rumah mereka kebetulan berada di kompleks yang sama sehingga kalau ada apa- apa jadi mudah saling bantu. Apalagi baik orang tua Dinara ataupun Keenan sama-sama pebisnis yang sering hilir mudik keluar kota meninggalkan anak- anak di rumah.Gadis itu tidak ingin meladeni lebih jauh perbincangan tidak penting tentang nama aneh mobil sepupunya itu. Dia bersidekap sembari mengusir Keenan dari wilayah tempat kerjanya. Namun sekali lagi laki- laki itu melebarkan senyuman men
Jalanan lenggang membuat Dinara berhasil tiba lebih cepat. Dia membelokkan mobil masuk kompleks perumahan dan akhirnya sampai tepat di kediamannya. Ketika hendak menutup kembali gerbangnya, Dinara melirik rumah sebelah yang nampak ramai dengan beberapa mobil- mobil asing. Pikirnya, mungkin keluarga Sandi kedatangan beberapa tamu berhubung mereka baru saja pindah. Dinara tentu tak ambil pusing. Dia langsung masuk kedalam rumah dan menemukan situasi sepi seperti biasanya. Dia mengambil segelas air lebih dulu sebelum memutuskan naik kearah kamar tidurnya. Sebelum masuk, lebih dulu Dinara memeriksa kamar Dikta, adiknya. Didapatinya remaja itu sedang tekun di meja belajarnya. "Mama sama papa udah berangkat, dek?" tanyanya. Memang semalam kedua orang tuanya itu sudah memberi info bahwa mereka akan pergi keluar kota selama beberapa hari untuk mengurus pekerjaan. Dikta membalik tubuhnya dan mengangguk pada Dinara. Remaja laki- laki itu melepas kaca mata belajar miliknya. Dinara terseny
Dinara memutar bola matanya malas sebab nasi goreng yang tadinya dia siapkan untuk diri sendiri sekarang harus dia bagi dua. Setelah memutuskan untuk membawa Sandi masuk kedalam rumahnya, dia harus merelakan porsinya dibagi dua. Lelaki yang duduk santai lesehan di ruang tamu itu makan dengan super lahap seolah tidak sempat makan tiga hari. "Lo ada acara di rumah gak sempet colek makanan dikit gitu?" sarkas Dinara sembari menyuap nasi goreng di piringnya."Jangankan makanan, gue aja kaget yang dateng tiba- tiba sekampung. Awalnya gue cuma ngajakin sepuluh orang. Eh mereka pada ngajakin pacarnya, belum lagi pacar- pacarnya pada bawa temen," ujar Sandi menggebu. Lelaki itu meneguk air dalam gelas yang juga sudah Dinara siapkan sebelumnya. Piringnya sudah bersih sekarang. "Tempat cuci piringnya dimana, Nar?" tanya sandi sembari berdiri. Dinara yang baru saja menghabiskan nasinya ikut beranjak. "Sini biar gue aja!" Tangannya hendak menagih piring di tangan Sandi. Namun dengan cepat le
Lampu remang- remang yang sedari tadi menyorot mendadak berkedip. Seolah seirama dengan mata Dinara yang mengedip heran mendengar ucapan mendadak Sandi. Lelaki dengan rahang tegas itu seolah menenggelamkannya dalam tatapan kelam. Dinara merasakan dejavu yang mendadak membuat ngilu kembali menjalar di hatinya. Ada kebingungan yang sempat mencuat namun dengan cepat ditepis oleh sisi rasionalnya. Gadis itu kembali pada wajah datarnya, "Sekarang gue paham kenapa lo sampai dikejar- kejar penggemar gila. Lo gampang mengumbar omongan," ujarnya. Sandi yang awalnya diam kini kembali tertawa kecil. "Lo gak baper?" tanya Sandi."Kalau maksudnya bawaan laper, ya gue baper," jawabnya tanpa beban. Sekali lagi Sandi tergelak akan jawaban santai bernada datar milik Dinara.Awalnya Sandi pikir Dinara adalah sosok kaku seperti apa yang teman-temannya ceritakan dahulu. Mereka bilang Dinara hanyalah gadis ambisius yang tidak bisa bercanda. Masuk daftar hitam untuk didekati karena sulit digapai. Namu
"Din, Mas Alam udah kirim fotonya. Tolong langsung buatin deskripsinya sekarang ya!""Minta tolong revisian naskah yang Pak Samsul kemarin dong, Din!""Bu Alana minta draft-nya harus rampung nanti sore, langsung print out aja kalo udah kelar!"Hari-hari hectic Dinara berjalan seperti biasanya. Penuh dengan pekerjaan yang padat merayap namun syukurnya masih bisa dia kerjakan dengan baik. Jemarinya tak henti bergerak lincah diatas keyboard saat merevisi naskah buatan rekan-rekan satu timnya. Setelah selesai, Dinara akan langsung mengirimkannya pada Kepala Divisi untuk ditinjau kembali atau mengembalikannya lengkap dengan catatan.Terdengar suara-suara sendi saat Dinara mulai meregangkan tubuhnya di depan meja kerja. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dia bisa pulang tiga puluh menit lagi kalau memang tidak ada lembur hari ini. Dinara meninjau lagi daftar pekerjaannya. Menandai mereka dengan tanda centan
"Oh iya, surat pengajuan cuti dua hari kamu sudah disetujui HR. Good luck wisudanya, ya!" Bu Alana berujar usai dia melahap potongan terakhir brownies bagiannya. Dinara yang mendengar kabar baik langsung memamerkan deretan giginya, "terimakasih, bu!"Ia memang telah mengajukan cuti dua hari untuk wisudanya nanti. Satu untuk gladi dan satu lagi untuk hari wisuda. Meskipun masih dua minggu lagi, Dinara harus mengajukan jauh-jauh hari karena itulah prosedur yang berlaku di perusahaan.Mendengar wisuda, tiga serangkai yang tadinya masih asik menghabiskan cemilan langsung kembali bersuara. "Emang udah selesai ngurus surat-surat kelengkapan wisuda, Din?" tanya Stecia.Dinara mengangguk, "udah kelar minggu lalu. Itu lho pas gue izin datang terlambat karena harus ke kampus nyetor berkas kelengkapan wisuda," ujar Dinara. Stecia menerawang karena baru ingat. "Terus kebaya sama MUA juga udah siap?" tanya Kalila kali ini. Dinara mengangguk lagi. Semuanya memang sudah disiapkan sejak lama. K
Ada yang lebih sulit daripada pelajaran fisika yang Sandi Arsena selalu hindari saat sekolah dulu. Dia pikir itu mungkin tidak ada bedanya dengan memahami seorang Dinara Jeandra.Untuk kesekian kalinya laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu berdecak sebal. Apalagi setelah melihat bahwa tak ada satupun pesannya yang dibalas Dinara. Dibaca saja tidak. Atau mungkinkah Dinara memblokir nomornya?"Lo janji mau ngabulin permintaan gue, kan? Cuma satu, setelah ini ayo pura- pura saling gak kenal."Sandi masih ingat kalimat singkat dengan nada datar yang Dinara ucapkan tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Pukul dua belas lebih lima menit saat Dinara mengantarnya keluar gerbang dan seolah berbicara tanpa emosi. Saat itu, Sandi hanya bisa membeku, tak mengucapkan sepatah katapun karena terlalu bingung dengan situasi yang dia hadapi. Terhitung hampir lima belas jam, kalimat yang tak bisa Sandi pahami itu terus berputar mengacaukan kewarasannya. Ada apa? Mengapa kalimat itu terdengar sanga
"Ayolah, Nar! Lo sama sekali gak pernah muncul waktu kita ngumpul. Reuni ini mau dilewatin gitu aja?" Kiran mungkin manusia kesekian yang telah menghubungi Dinara pasal reuni angkatan SMA-nya minggu depan. Dinara sudah mendapatkan undangannya secara online. Dia juga mendadak masuk grup kelas lagi pagi ini. Pagi harinya yang hectic bertambah riuh karena tumben sekali ponselnya jadi ramai. Dinara akhirnya membisukan pesan grup agar tidak mengganggu fokus bekerjanya. Apapun itu, Dinara sama sekali tidak tertarik menghadiri acara reuni semacam ini. Lagipula, Dinara bukan sosok supel banyak teman yang akan bisa bersenang- senang disana nantinya."Sekali aja, Nar! Emang lo gak kangen temen-temen SMA?" tanya Kiran lagi.Kangen? Dinara juga mempertanyakan kembali frasa kangen yang disebut oleh mantan teman sebangkunya itu. Apakah masa sekolah menengah atas Dinara dulu semenyenangkan itu sampai dia harus kangen?Tiga tahun Dinara habiskan hanya untuk belajar dan belajar. Dia tidak punya ling