"PERJODOHAN??!!" pekik Reni saat Papanya selesai berbicara. Santi, sang Mama mengelus punggung Reni agar putri kesayangannya ini tidak meledak-ledak.
"Iya, Sayang! Jadi Papa dan Mama itu sudah janji dengan teman kami sewaktu kuliah dulu. Kalau kami punya anak perempuan dan mereka punya anak laki-laki, begitu pula sebaliknya, kami akan menjodohkan anak kami ketika dewasa kelak!"
WTF!
Reni tak henti-hentinya mengumpat. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa orang tuanya masih berpikiran kolot seperti itu. Padahal, sedari dulu Reni sangat bangga dengan kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya adalah orang tua yang sangat diidamkan oleh teman-temannya. Mereka tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada sang anak.
"Pa, ini udah era milenial loh, Pa! Kenapa jadi kayak jamannya Siti Nurbaya sih, harus pake dijodohin segala?" Reni masih terus berusaha memberontak.
"Reni..." giliran sang Mama berusaha menenangkannya. "Perjodohan itu nggak melulu ada di masa lalu. Kalau dirasa sekarang perlu dilakukan ya nggak masalah!"
"Dan Mama rasa perjodohanku sama orang asing ini perlu?"
Sang Mama mengangguk membuat Reni berdiri dari duduknya. "Ma, aku selalu menghormati apapun keputusan Mama dan Papa tentang hidupku. Aku selalu bahagia punya Mama dan Papa yang nggak pernah memaksakan kehendaknya pada anak. Kalian adalah dream parents untuk semua teman-teman aku! Tapi, pandangan ini sepertinya harus berubah sekarang. Papa sama Mama mulai nggak memikirkan perasaanku sebagai anak!"
Lesmana ikut berdiri. "Karena kami memikirkan perasaanmu, makanya Papa ingin melakukan perjodohan ini, Sayang."
"Di sisi mananya Papa mikirin perasaan aku?" Reni masih terus berapi-api. Ia tidak akan menyerah untuk beradu argumen dengan kedua orang tuanya sampai ia menang.
"Kamu tidak akan jatuh ke pelukan orang yang bisa saja dengan mudah menyakiti perasaan kamu. Setelah menyakiti perasaanmu, bisa saja orang asing ini akan pergi meninggalkanmu begitu saja tanpa perasaan. Sementara kalau dengan anak teman Papa ini, kamu tidak akan merasakan itu."
"Tau apa Papa tentang dia? Papa pasti ketemu juga baru sekali dua kali, kan? Penilaian Papa ini nggak berdasar!"
"Lalu tau apa kamu tentang cinta orang lain di luar sana?" nada bicara Lesmana mulai meninggi. Ia terpancing emosi putrinya.
"Papa nggak akan pernah tau isi hati orang lain dari sekali ketemu, Pa! Oke, dia menampilkan sikap baik di depan Papa dan Mama. Tapi apa ada jaminan dia akan terus baik ke aku sampai aku tua? Apa jaminannya, Pa?"
Lesmana dan Santi bungkam. Kalimat terakhir Reni memang belum bisa mereka jawab. Tetapi, mereka akan mencari jawaban itu.
"Papa akan mencari jaminan itu!" jawab Lesmana tegas.
"Oke, selama Papa cari jawaban itu, aku nggak mau pulang ke rumah!" Reni menyambat tasnya dan segera berjalan keluar rumah.
"Ren, Papa belum selesai bicara! Reni!" Lesmana memanggil putrinya, namun Reni tetap acuh.
Santi berlari mengejar Reni. Ia menggamit lengan Reni. "Sayang, semua ini bisa dibicarakan baik-baik. Kamu jangan ngambek-ngambek kayak gini ya, Sayang!"
Reni menoleh dengan tatapan tidak mengerti. "Ma, aku tuh nggak ngambek! Aku bukan anak kecil yang ketika ngambek dikasih permen langsung selesai ngambeknya. Aku butuh waktu buat mikir. Mama dan Papa juga harus mikirin keputusan konyol ini kalau masih mau aku pulang ke rumah!"
Ia langsung membuka pintu mobil dan menghempaskan tubuhnya. Reni tidak lagi mempedulikan Mamanya yang menggedor pintu mobil. Segera ia menancap gas dan keluar dari pekarangan rumah.
Lesmana menghampiri sang istri dan memeluknya.
"Kita coba pikirin lagi ya. Aku yakin, Reni pasti bersedia menerima perjodohan ini. Ini cuma masalah waktu."
***
Jalanan cukup lengang karena waktu memasuki pukul sepuluh malam. Reni memacu mobilnya lebih cepat. Ia melipir di depan sebuah halte.
"Apa sih yang Mama Papa pikirin sampe mau jodohin aku? Dikira aku nggak bisa cari jodoh sendiri apa ya?" Reni masih saja menggerutu. Ini pertama kalinya permintaan kedua orang tua yang sangat disayanginya terdengar tidak masuk akal. Biasanya, kedua orang tua Reni memberikan pilihan, tidak begitu saja memberikan keputusan final.
Reni memejamkan matanya. Ia berusaha untuk membuang semua amarah agar tak sampai berlarut panjang. Reni tidak suka hanyut dalam amarah karena Papanya selalu bilang akan banyak penyesalan ketika kita mengambil sikap saat sedang marah.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Ma Bro.
Telepon dari Rio, kakaknya.
"Halo!" Reni mengangkat telepon tersebut setelah menghela napas berkali-kali.
"Lo ngapain keluar dari rumah?" suara Rio masih sangat tenang.
"Tanya aja sendiri sama Papa sama Mama!" Reni masih sedikit sewot.
"Jangan aneh-aneh lu yee! Gue nggak suka punya adek ngambil keputusan pas lagi emosi!"
Reni menghela napas lebih panjang. Entah kenapa, kali ini ia lebih emosional seperti biasanya. Mungkin karena orang tuanya memilih waktu yang tidak tepat untuk membicarakan ini semua. Kondisi Reni sedang suntuk karena harus persiapan untuk pameran minggu depan. Belum lagi bulan depan akan ada pameran fotografi di salah satu galeri tutornya. Ia benar-benar suntuk bukan main.
"Gue sementara ini nginep di apartemen. Gue nggak bakalan aneh-aneh. Gue cuma butuh waktu! Papa sama Mama juga butuh waktu buat mikirin keputusan konyol mereka ini!"
Terdengar Rio melenguh di sana. "Oke, kalau emang lo baik-baik aja. Selalu kabarin gue kalau ada apa-apa."
"Thanks!"
"Anytime." Kemudian telepon terputus.
Reni sebenarnya sangat beruntung. Ia memiliki keluarga harmonis. Orang tua yang pengertian dan juga kakak yang menyayanginya adalah hal yang selalu diidamkan banyak orang. Reni pun diperbolehkan mengambil kuliah jurusan seni dan minor fotografi karena orang tuanya memiliki pemikiran bahwa setiap anak memiliki bakat dan minat mereka masing-masing. Rio boleh saja lebih tertarik dengan bisnis dan dunia arsitektur. Tapi Reni lebih tertarik pada dunia seni. Sedari kecil, Reni paling suka menggambar sampai menghabiskan puluhan buku gambar dalam satu tahun.
"Nggak apa-apa kalau Reni mau ambil jurusan seni. Yang penting Reni harus bahagia menjalani itu, karena itu pilihan Reni." Itu kalimat dari Mama yang selalu terngiang-ngiang di dalam otaknya setiap kali ia merasa lelah dengan rutinitasnya.
Tapi kali ini, pemikiran orang tuanya berbalik. Mereka jadi mengatur Reni dan menentukan garis hidupnya harus seperti apa. Reni tidak terima itu.
Setelah cukup tenang, Reni kembali menjalankan mobilnya. Ia segera meluncur ke apartemennya yang tidak jauh dari kampus.
Ketika mendekati wilayah kampus, Reni seperti melihat bayangan teman sekelasnya. Ia memelankan laju mobilnya. Ternyata benar.
"Rendi!" panggil Reni dari dalam mobil. Yang dipanggil terkejut dan menoleh ke arah Reni.
"Eh, ha-halo Ren!" Rendi tampak gugup dan seperti menyembunyikan sesuatu di balik bajunya.
"Kamu ngapain malam-malam gini masih di sini? Lembur?"
"Eh, enggak kok. Ini udah mau pulang. Tadi kebetulan aja habis nongkrong." Rendi tersenyum tipis. "Kamu sendiri ngapain di sini?"
Gantian Reni yang gelagapan. "Eh, aku mau ke apartemen. Ya udah ya!"
Reni menutup kaca mobilnya dan segera melajukan mobil dengan masih gugup.
***
Arsitek itu sedang memandangi gambarannya. Ia merasa ada bagian yang masih kurang dari gambar tersebut. Akan tetapi, setelah lebih dari setengah jam ia putar-putar kertas itu, tetap saja ia tidak menemukan dimana letak kurangnya. "Serius amat arsitek satu ini!" sebuah suara mengagetkannya. Arjuna yang sedang suntuk melihat kekasihnya langsung tersenyum. Arjuna memeluk kekasihnya dan memberikan kecupan hangat. "Udah selesai kuliahnya?" tanya Arjuna seraya tetap memeluk tubuh langsing perempuan di hadapannya. "Udah dong. Mulai besok aku mau persiapan buat pameran. Nanti kamu dateng di pameran aku, kan?" Arjuna melepaskan pelukannya. Ia mengangkat dagu kekasihnya sebelum akhirnya mencium bibirnya. "Sayang, kamu kan tau aku pria sibuk. Kerjaan aku banyak banget. Aku nggak bisa dateng di pameran kamu. Maaf ya!" Nadhine, kekasih Arjuna langsung melepa
Reni mengatur napasnya. Kali ini, lukisannya harus selesai dengan sempurna. Palet ditangannya yang masih bersih segera ia isi dengan bermacam-macam warna pastel cat air. Kali ini, ia melukis kamera dengan aksen warna pastel karena tema lukisan untuk pameran kali ini adalah relaxed of life. Reni segera menggoreskan kuasnya ke kanvas yang sudah berisi gambaran. Ia meningkatkan konsentrasinya karena lukisan kubismenya terlalu mendetail. Terlalu banyak kotakan yang ia buat sehingga ia harus memolesnya dengan cat air secara hati-hati.Ia melirik Rendi yang ada di sebelahnya. Lelaki yang beberapa waktu terakhir diam-diam disukainya itu juga sedang asyik mengarahkan kuasnya ke kanvas. Reni mengintip gambaran Rendi. Di kanvasnya terdapat gambaran dua buah gelas dengan isi yang berbeda. Teh dan kopi. Reni tau bahwa Rendi sangat menyukai kedua minuman tersebut.“Serius banget!” celetuknya membuat Rendi yang hendak menyentuhkan kuasnya ke kanvas mengurungkan niatnya.
Pameran tinggal dua hari lagi. Mahasiswa jurusan seni lukis benar-benar sibuk. Mereka tidak hanya sibuk mempersiapkan pameran, tetapi juga menyelesaikan tugas yang lain. Pameran adalah akhir sebelum libur semester. Mereka harus mendapatkan nilai minimal B jika tidak ingin mengulang di tahun depan. Reni sudah menyelesaikan lukisannya. Ternyata langit sudah gelap saat Reni menoleh ke arah jendela. Sembari menunggu lukisannya kering, Reni membantu persiapan lain di aula jurusan Aula di jurusan seni lukis tidak terlalu besar karena memang hanya digunakan untuk pameran antarkelas di jurusan seni lukis. Di fakultas kesenian ada tiga aula yang lebih besar untuk pameran antarjurusan Reni hanya mengekor di belakang Nadya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa teman sekelas mereka “Jadi mereka melarikan diri ke sini?” gumam Reni Nadya yang mendengarnya berbalik meno
Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi. Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar. Jangan lupa, besok pameran. Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku Aku tunggu besok pagi. Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan. Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku! Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!! Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya
Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”
Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran
Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me