Share

Bab 5

last update Last Updated: 2021-11-07 16:54:35

    Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi.

    Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar.

    Jangan lupa, besok pameran.

    Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku 

    Aku tunggu besok pagi.

    Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan.

    Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku!

    Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!!

    Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya berdering memberi tanda ada pesan masuk. Sulit sekali menolak permintaan Nadhine.

    Setelah menimbang berkali-kali keputusannya, akhirnya Arjuna memilih untuk berangkat saja dengan langkah gamang.

    "Bapak mau kemana?" Fina, sekretaris Arjuna menyambutnya di depan pintu.

    "Hari ini saya udah nggak ada jadwal ketemu klien, kan?"

    Fina menatap remindernya. Tidak ada acara setelah merting tadi pagi.

    "Kosong, Pak. Tidak ada janji sama sekali," seru Fina setelah membaca papan organizer di kubikelnya. "Memangnya Bapak mau kemana? Apa ada meeting dadakan?"

    Arjuna menggeleng seraya melepas jasnya. "Nggak ada, Fin. Saya mau datang ke acara pamerannya Nadhine. Tolong nanti kalau ada hal yang penting dan mendesak, kamu langsing telepon saya, ya. Ingat! Penting dan mendesak!" Arjuna memperingatkan dengan tegas.

    "Baik, Pak!" jawab Fina seraya tersenyum.

    Arjuna mengangguk kemudian segera melangkah pergi meninggalkan kantornya.

    "Gue kira mau kemana, ternyata mau dateng ke acaranya nenek lampir!" gumam Fina yang didengar oleh rekannya.

    "Huss! Masih aja lo nyebut Nadhine nenek lampir! Ntar kalo Pak Juna denger, bisa digorok lo!"

    Fina mengibaskan tangannya. "Bodo amat! Kan, emang dia kayak nenek lampir! Kalo dateng ke sini, mana pernah punya sopan santun, senyum kek, nyapa kek. Pasti langsung masuk aja! Masih pacar tuh, udah sombong! Gimana kalo jadi istri?"

    Rinda menggeleng seraya tertawa. "Elo sensi banget sig, Fin? Bilang aja lo ngiri kan sama Nadhine? Hayoo ngakuuu!"

    Fina melotot membuat Rinda tertawa lebih kencang.

    ***

    Arjuna memarkir mobilnya di parkiran utama. Sesampainya di jurusan Nadhine, seperti biasa ia akan mengirimi Nadhine pesan. Tetapi belum sempat ia kirimkan, Nadhine sudah ada di depannya.

“Udah dari tadi?” tanya Nadhine.

“Belum. Barusan dateng.” Jawabnya datar.

“Ya udah yuk, langsung ke aula aja!” Nadhine segera menggandeng Arjuna dan mengajaknya memasuki aula utama.

Pameran busana untuk jurusan tata busana dilakukan di aula utama karena semua kelas memamerkan hasil karyanya hari itu juga. Arjuna sebenarnya tidak terlalu memahami fashion, ia datang ke sini hanya untuk memenuhi permintaan Nadhine.

“Ke sana yuk, Jun. Rancangan aku ada di sana.” Ajak Nadhine. Lagi-lagi Arjuna hanya menurutiya.

Sesampainya di sisi kiri aula, ada empat rancangan baju. Menurut Nadhine, dua yang di tengah adalah rancangannya.

“Ini rancangan aku, Jun. Menurut kamu bagus nggak?” tanyanya pada Arjuna yang sedari tadi hanya diam.

Arjuna mendekati dua manekin di depannya. Yang pertama, setelan untuk laki-laki dengan celana katun berwarna hitam yang dipadukan dengan baju berwarna ungu tua dengan aksen batik khas timur. Baju berlengan pendek itu menampakkan kesan kalem.

Yang kedua adalah gaun selutut dengan lengan tiga perempat. Warnanya senada dengan baju untuk laki-laki tadi hanya saja aksen batik lebih mendominasi mulai dari perut sampai lutut. Untuk model leher dari gaun tersebut diberi model sabrina sehingga menampilkan kesan anggun.

“Bagus!” jawab Arjuna sambil mengangguk padahal ia tak mengerti sama sekali apa nama model baju tersebut dan tetek bengeknya. “Kamu desain sendiri?”

“Ya iyalah! Apalagi ini dipamerin satu jurusan!” seru Nadhine dengan semangat. “Oh iya, aku nggak bisa nemenin kamu lama-lama. Soalnya nanti ada peragaan busana. Dan aku salah satu modelnya. Nggak apa-apa kan?”

Arjuna terdiam sejenak. Kalau tau hanya untuk melihat desain baju dari Nadhine, harusnya ia tak perlu berangkat sepagi ini. “Iya. Nggak apa-apa. Mungkin nanti aku langsung pulang.”

“Iya, Pak Bos! Nggak apa-apa kok!” Nadhine tersenyum. “Eh, tadi kamu belum ngisi daftar tamu ya? Ayo, isi dulu! Biar dapet tambahan nilai!” Nadhine menyeret Arjuna mendekati meja yang sudah disiapkan. Dengan malas Arjuna menulis nama, kesannya dan tanda tangan di sana.

“Udah!” serunya singkat.

“Makasih!” Nadhine memeluknya. Arjuna tersenyum. “Ya udah, aku ke backstage dulu ya. Dari tadi udah dicariin. Makasih udah nyempetin waktu ke sini!” pamitnya kemudian melengang pergi.

Arjuna hanya tersenyum. “Terus aku ngapain di sini?” gumamnya sambil melirik kanan-kiri. “Aku keliling aula ini dulu kali ya? Abis itu langsung pulang?”

Akhirnya Arjuna mengelilingi aula tersebut sendirian. Ia melihat-lihat beberapa rancangan baju terlihat simpel tetapi elegan baginya. Meskipun Arjuna tidak mengerti secara pasti, tetapi ia bisa memberikan sedikit penilaian menarik atau tidaknya rancangan-rancangan di depannya.

Beberapa pasang mata menatap Arjuna dengan kagum. Celana joger pants berwarna hitam dengan sedikit aksen putih di lutut, kaos putih yang dibalut tuxedo hitam yang digulung sampai siku. Pakaian santainya untuk memasuki aula ini mungkin akan terlihat sedikit aneh. Tetapi bukan itu yang membuat ia menjadi pusat perhatian. Tetapi karena matanya yang berwarna coklat terang dan tubuhnya yang atletis membuat beberapa perempuan berdecak kagum melihatnya.

Arjuna menoleh. Merasa diperhatikan ia pun buru-buru keluar dari aula tersebut. sesampainya di luar ia meneliti pakaiannya. “Emangnya ada yang salah? Kayaknya enggak deh!” gumamnya lagi. “Ah, palingan mereka aja yang kurang kerjaan ngeliatin orang sebegitunya!” omelnya.

Arjuna menatap gedung seberang yang juga terlihat ramai. “Eh, di sana ada apa ya? Kok rame?” gumamnya lagi. Karena penasaran akhirnya Arjuna turun dan berjalan menuju gedung di seberangnya yang terdapat papan bertuliskan Jurusan Seni Lukis.

Arjuna memerhatikan sekelilingnya. Gaya anak seni yang menurut orang-orang terlihat nyeleneh menarik perhatiannya. Arjuna memantapkan hatinya untuk menaiki gedung itu. Di setiap lantainya ia celingukan mencari pusat keramaian. Hingga ia tiba di lantai ketiga dan berhenti di sana. Arjuna berjalan mendekati kerumunan beberapa mahasiswa. Ia mendongak. Aula Seni Lukis. Tulisan itu membuatnya melongokkan kepala ke dalam ruang di depannya. Aula yang tidak sebesar aula untuk pameran tata busana tadi. Tetapi, ada hal yang mendorong Arjuna untuk masuk.

“Selamat datang di pameran lukisan jurusan seni lukis!” sapa seorang perempuan mengagetkannya.

“Eh, hehehe. iya.” Jawabnya canggung. Perempuan di depannya mengerutkan kening.

“Masnya nyariin seseorang?” tanyanya.

“Eh, enggak sih. Tadi sebenernya saya liat pameran busana di gedung sebelah. Terus liat ke sini kok kayaknya rame juga. Karena penasaran saya ke sini juga deh!” ujar Arjuna jujur.

Perempuan di depannya mengulurkan tangannya. “Reni. Saya salah satu mahasiswa yang sedang menyelenggarakan pameran ini.”

Arjuna terdiam. Ia meneliti perempuan di depannya. Sepatu sport berwarna hitam dengan aksen putih yang terlihat dekil, celana jeans belel yang warnanya sudah tidak nampak, kemeja berwarna krem yang kebesaran dan digulung sampai siku juga rambut kecoklatannya yang diikat asal. Pantes banget jadi anak seni. Batin Arjuna.

Merasa perkenalannya tidak mendapatkan tanggapan, Reni memperhatikan laki-laki yang ada di depannya. “Mas?” serunya.

Arjuna tersadar kemudian segera menjabat tangan Reni. “Arjuna. Atau kamu bisa panggil Juna.” Ujarnya memperkenalkan diri.

“Oh, oke.” Reni tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?”

Arjuna tertawa. “Kamu nggak usah seformal itu kali! Biasa aja.” Serunya membuat Reni nyengir dan menampakkan gigi gingsulnya.

“I-Iya maaf. Habisnya tadi kamu juga kaku. Aku kan jadi bingung harus ngomong gimana.”

“Hehehe. Maaf.” Arjuna memperhatikan sekelilingnya. “Bisa temenin lihat-lihat lukisan?”

Reni tersenyum. “Tentu!”

***

Related chapters

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 6

    Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”

    Last Updated : 2022-01-18
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 7

    Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran

    Last Updated : 2022-01-18
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 8

    Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena

    Last Updated : 2022-01-18
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 9

    Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me

    Last Updated : 2022-01-18
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 10

    Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d

    Last Updated : 2022-02-01
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 11

    Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera

    Last Updated : 2022-02-02
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 12

    Setelah mengikuti serangkaian acara dalam pameran fotografi, Arjuna mengajak Reni keluar dari gedung. “Kamu mau langsung pulang?” tanya Arjuna saat sudah berada di luar gedung. “Eng..” Reni menggaruk kepalanya. “Nggak tau. Mau pulang, ntar nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo nggak pulang juga mau kemana?” Reni mengangkat bahu. Arjuna melihat jam di tangannya. Masih pukul empat sore. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Ia kembali melihat Reni yang memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Arjuna heran. “Aku... laper.” Bisik Reni sambil meringis. Arjuna tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya udah yuk, kita cari makan!” Arjuna langsung menggenggam tangan Reni dan menariknya. “Eh, aku bawa mobil sendiri!” seru Reni membuat langkah Arjuna terhenti. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. “Dititipin ke Aldo aja. Nanti kita ambil di sini. Gimana?” tanyanya memberikan saran. “Emangnya nggak pa-pa? Takutnya ng

    Last Updated : 2022-02-03
  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 13

    Hari sudah gelap saat Arjuna dan Reni pulang. Arjuna mengantar Reni ke gedung kesenian kemudian langsung pulang. Ketika sampai di rumah, Mamanya sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah. Ketika mendengar suara pintu dibuka, ia mendongak.“Kamu baru pulang? Dari mana aja?” tanya Mamanya seraya menutup majalah yang sedang ia baca.“Tadi liat pameran foto di gedung kesenian.” Arjuna menghempaskan tubuhnya di samping Mamanya. “Terus ketemu sama Reni.”Mata Andini membesar. “Kamu ketemu sama Reni? Terus-terus?”Arjuna menghela napas. “Ya aku ajak dia makan. Udah itu doang!”“Ya ampun, kamu ini belum-belum kok udah ngambil langkah pertama! Mama jadi seneng!”Arjuna memandang Mamanya dengan wajah penasaran. “Langkah pertama? Langkah pertama apa maksud Mama?”Andini mendengus. “Ya itu, kamu udah ngajakin Reni dinner.” Andini tersenyum leba

    Last Updated : 2022-02-04

Latest chapter

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 142

    Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 142

    Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 140

    Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 139

    Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 138

    Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 137

    Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 136

    Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 135

    Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.

  • Garis Pikat Sang Arsitek   Bab 134

    Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status