Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.
“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.
Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.
Jadi dia! Batin keduanya.
“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.
“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.
“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.
“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.
“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d
Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera
Setelah mengikuti serangkaian acara dalam pameran fotografi, Arjuna mengajak Reni keluar dari gedung. “Kamu mau langsung pulang?” tanya Arjuna saat sudah berada di luar gedung. “Eng..” Reni menggaruk kepalanya. “Nggak tau. Mau pulang, ntar nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo nggak pulang juga mau kemana?” Reni mengangkat bahu. Arjuna melihat jam di tangannya. Masih pukul empat sore. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Ia kembali melihat Reni yang memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Arjuna heran. “Aku... laper.” Bisik Reni sambil meringis. Arjuna tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya udah yuk, kita cari makan!” Arjuna langsung menggenggam tangan Reni dan menariknya. “Eh, aku bawa mobil sendiri!” seru Reni membuat langkah Arjuna terhenti. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. “Dititipin ke Aldo aja. Nanti kita ambil di sini. Gimana?” tanyanya memberikan saran. “Emangnya nggak pa-pa? Takutnya ng
Hari sudah gelap saat Arjuna dan Reni pulang. Arjuna mengantar Reni ke gedung kesenian kemudian langsung pulang. Ketika sampai di rumah, Mamanya sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah. Ketika mendengar suara pintu dibuka, ia mendongak.“Kamu baru pulang? Dari mana aja?” tanya Mamanya seraya menutup majalah yang sedang ia baca.“Tadi liat pameran foto di gedung kesenian.” Arjuna menghempaskan tubuhnya di samping Mamanya. “Terus ketemu sama Reni.”Mata Andini membesar. “Kamu ketemu sama Reni? Terus-terus?”Arjuna menghela napas. “Ya aku ajak dia makan. Udah itu doang!”“Ya ampun, kamu ini belum-belum kok udah ngambil langkah pertama! Mama jadi seneng!”Arjuna memandang Mamanya dengan wajah penasaran. “Langkah pertama? Langkah pertama apa maksud Mama?”Andini mendengus. “Ya itu, kamu udah ngajakin Reni dinner.” Andini tersenyum leba
Weekend kali ini dinikmati Reni dengan membersihkan lensa-lensa kameranya. Itu selalu ia lakukan dua minggu sekali untuk menghindari munculnya jamur pada lensa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan ada notifikasi. Notifikasi khusus i*******m. ArjunaWirayudha_ followed you. Reni mengedipkan matanya berkali-kali. Apakah ia tidak salah baca? "Nemu akunku darimana nih?" Reni mengunjungi profil i*******m Arjuna. Di sana banyak foto-foto Arjuna yang memang i*******mable. "Oh, narsis juga ternyata," gumam Reni sembari terus menggulir layarnya. "Mana yang nge-like cewek-cewek semua lagi!" Semua foto Arjuna ia lihat satu per satu. Mulai dari foto formal, sampai foto-foto liburan Arjuna ia lihat semua. Ketika sedang asyik melihat-lihat foto Arjuna, Reni tidak sengaja mengetuk dua kali yang membuat salah satu foto Arjuna ia sukai. "Lah! Haduuuuh! Kok bisa
Santi yang sedang fokus membuat kue menoleh ketika mendengar langkah kaki mendekat ke arah dapur. "Loh, kok udahan berduaannya? Kurang lama dong, Sayang!" Santi tak henti-hentinya menggoda sang putri. "Ih, Mamaaaa! Udah deh jangan godain terus!" Reni mencubit lengan Mamanya. "Mama tumben bikin kue?" "Nah itu ada Nak Arjuna, masak dibiarin gitu aja nggak dikasih cemilan? Kan kasian, Sayang. Ingat, kita harus memuliakan tamu loh!" "Tapi dia ngeselin!" "Uh, udah bisa ngambek-ngambekan ya sekarang? Mama baru tau loh kalau anak kesayangan Mama ini progres hubungannya udah jauh banget!" "MAMAAAAA!!" Santi tertawa. Ia senang membuat Reni jadi kesal begini. Reni memang mudah sekali merengek kepadanya. Maka dari itu Santi semakin sering menggoda Reni. "Ada apa sih nih, pagi-pagi kok udah rame banget!" Rio mendekat seraya menguap
Minggu pagi Arjuna sudah bertengger di depan papan gambarnya. Ketika mengingat kejadian semalam, ia senyum-senyum sendiri. Bagaimana ia dan Reni begitu menikmati momen berciuman ketika hujan sedang deras-derasnya. Hampir saja Arjuna berpikiran untuk melakukan lebih. Akan tetapi, ia menjernihkan otaknya. Ia harus ingat bahwa perjodohan ini masih berlangsung lama. Ia tidak mau Reni menyebutnya lelaki brengsek karena sudah berani melakukan hal yang lebih padahal mereka belum bertunangan. Ia sudah bersiap untuk mulai menggambar ketika pintu ruang kerjanya ada yang membuka. “Morning, Juna!” sapa suara yang akhir-akhir ini tidak ingin Arjuna dengar. Nadhine. “Morning, Dhine. Kamu tumben pagi-pagi ke sini?” tanya Arjuna seraya meletakkan peralatan menggambarnya. Ia berbalik menghadap Nadhine yang kini sedang duduk di kursi kerjanya. Ia melihat Nadhine berdandan terlalu berlebihan hari ini. “Ya aku mau ketemu kamu lah! Kan ke
Hari ini Reni tidak pulang ke rumah, tetapi memilih untuk menyambangi apartemennya yang sudah seminggu tidak ia tinggali. Reni sedang memainkan ponselnya saat suara bel apartemennya berbunyi. Dengan malas ia berjalan ke arah pintu dan membukanya.“Nadya?” serunya kaget saat melihat temannya ada di apartemennya.Yang disebut hanya tersenyum simpul. “Gue lagi nggak ganggu kan?”Reni mempersilakan Nadya masuk. “Ya enggaklah! Kebetulan banget, gue lagi nggak ngapa-ngapain di sini. Mau jalan juga uang abis buat biaya pameran kemarin. Ya udah, alhasil cuma tidur-tiduran kayak pengangguran gitu.” Reni membuka kulkasnya dan mengambilkan minuman untuk Nadya.“Dasar elo! Bisanya xuma males-malesan! Emangnya elo nggak hunting?” tanya Nadya seraya meletakkan kantong plastik yang ia bawa.“Enggak. Lagi nggak mood motret nih!” Reni melongokkan kepalanya ke dalam kantong plastik. “Cem