Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Keheningan semakin menyelimuti dengan rapat saat jam sudah menunjukkan tengah malam. Lelaki yang masih berkutat dengan laptopnya tidak sekalipun menoleh ke arah jam di sampingnya yang terus berdentang mengingatkannya untuk beristirahat. Pekerjaan yang amat ia cintai sepertinya begitu erat memeluknya hingga ia melupakan keadaan sekitar. Keheningan segera terpecah saat suara baritonnya bersorak.“Yess! Akhirnya selesai juga!” pekiknya girang kemudian segera menutup pekerjaannya.Ketika ia akan mematikan laptopnya, tampilan desktop membuatnya enggan untuk segera mematikannya. Di laptop tersebut tergambar seorang perempuan yang menampakkan wajah kesalnya karena merasa dipaksa untuk berfoto.“Dasar gadis dekil! Selalu manyun kalo diajak foto!” gumamnya seraya menyeringai.Pria itu baru menyadari, bahwa ia teramat sangat merindukan gadis yang terlihat manyun sambil memegang bola basket dan dirangkul olehnya itu. Sudah seminggu ia tak ber
"PERJODOHAN??!!" pekik Reni saat Papanya selesai berbicara. Santi, sang Mama mengelus punggung Reni agar putri kesayangannya ini tidak meledak-ledak. "Iya, Sayang! Jadi Papa dan Mama itu sudah janji dengan teman kami sewaktu kuliah dulu. Kalau kami punya anak perempuan dan mereka punya anak laki-laki, begitu pula sebaliknya, kami akan menjodohkan anak kami ketika dewasa kelak!" WTF!Reni tak henti-hentinya mengumpat. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa orang tuanya masih berpikiran kolot seperti itu. Padahal, sedari dulu Reni sangat bangga dengan kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya adalah orang tua yang sangat diidamkan oleh teman-temannya. Mereka tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada sang anak. "Pa, ini udah era milenial loh, Pa! Kenapa jadi kayak jamannya Siti Nurbaya sih, harus pake dijodohin segala?" Reni masih terus berusaha memberontak. "Reni..."
Arsitek itu sedang memandangi gambarannya. Ia merasa ada bagian yang masih kurang dari gambar tersebut. Akan tetapi, setelah lebih dari setengah jam ia putar-putar kertas itu, tetap saja ia tidak menemukan dimana letak kurangnya. "Serius amat arsitek satu ini!" sebuah suara mengagetkannya. Arjuna yang sedang suntuk melihat kekasihnya langsung tersenyum. Arjuna memeluk kekasihnya dan memberikan kecupan hangat. "Udah selesai kuliahnya?" tanya Arjuna seraya tetap memeluk tubuh langsing perempuan di hadapannya. "Udah dong. Mulai besok aku mau persiapan buat pameran. Nanti kamu dateng di pameran aku, kan?" Arjuna melepaskan pelukannya. Ia mengangkat dagu kekasihnya sebelum akhirnya mencium bibirnya. "Sayang, kamu kan tau aku pria sibuk. Kerjaan aku banyak banget. Aku nggak bisa dateng di pameran kamu. Maaf ya!" Nadhine, kekasih Arjuna langsung melepa
Reni mengatur napasnya. Kali ini, lukisannya harus selesai dengan sempurna. Palet ditangannya yang masih bersih segera ia isi dengan bermacam-macam warna pastel cat air. Kali ini, ia melukis kamera dengan aksen warna pastel karena tema lukisan untuk pameran kali ini adalah relaxed of life. Reni segera menggoreskan kuasnya ke kanvas yang sudah berisi gambaran. Ia meningkatkan konsentrasinya karena lukisan kubismenya terlalu mendetail. Terlalu banyak kotakan yang ia buat sehingga ia harus memolesnya dengan cat air secara hati-hati.Ia melirik Rendi yang ada di sebelahnya. Lelaki yang beberapa waktu terakhir diam-diam disukainya itu juga sedang asyik mengarahkan kuasnya ke kanvas. Reni mengintip gambaran Rendi. Di kanvasnya terdapat gambaran dua buah gelas dengan isi yang berbeda. Teh dan kopi. Reni tau bahwa Rendi sangat menyukai kedua minuman tersebut.“Serius banget!” celetuknya membuat Rendi yang hendak menyentuhkan kuasnya ke kanvas mengurungkan niatnya.
Pameran tinggal dua hari lagi. Mahasiswa jurusan seni lukis benar-benar sibuk. Mereka tidak hanya sibuk mempersiapkan pameran, tetapi juga menyelesaikan tugas yang lain. Pameran adalah akhir sebelum libur semester. Mereka harus mendapatkan nilai minimal B jika tidak ingin mengulang di tahun depan. Reni sudah menyelesaikan lukisannya. Ternyata langit sudah gelap saat Reni menoleh ke arah jendela. Sembari menunggu lukisannya kering, Reni membantu persiapan lain di aula jurusan Aula di jurusan seni lukis tidak terlalu besar karena memang hanya digunakan untuk pameran antarkelas di jurusan seni lukis. Di fakultas kesenian ada tiga aula yang lebih besar untuk pameran antarjurusan Reni hanya mengekor di belakang Nadya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa teman sekelas mereka “Jadi mereka melarikan diri ke sini?” gumam Reni Nadya yang mendengarnya berbalik meno
Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi. Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar. Jangan lupa, besok pameran. Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku Aku tunggu besok pagi. Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan. Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku! Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!! Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya
Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”