Reni mengatur napasnya. Kali ini, lukisannya harus selesai dengan sempurna. Palet ditangannya yang masih bersih segera ia isi dengan bermacam-macam warna pastel cat air. Kali ini, ia melukis kamera dengan aksen warna pastel karena tema lukisan untuk pameran kali ini adalah relaxed of life. Reni segera menggoreskan kuasnya ke kanvas yang sudah berisi gambaran. Ia meningkatkan konsentrasinya karena lukisan kubismenya terlalu mendetail. Terlalu banyak kotakan yang ia buat sehingga ia harus memolesnya dengan cat air secara hati-hati.
Ia melirik Rendi yang ada di sebelahnya. Lelaki yang beberapa waktu terakhir diam-diam disukainya itu juga sedang asyik mengarahkan kuasnya ke kanvas. Reni mengintip gambaran Rendi. Di kanvasnya terdapat gambaran dua buah gelas dengan isi yang berbeda. Teh dan kopi. Reni tau bahwa Rendi sangat menyukai kedua minuman tersebut.
“Serius banget!” celetuknya membuat Rendi yang hendak menyentuhkan kuasnya ke kanvas mengurungkan niatnya.
“Kamu juga serius banget tadi.” Rendi tersenyum. “Punyamu udah selesai?”
Reni menggeleng cepat. “Masih dikit lagi.”
“Ya udah, selesaiin aja dulu. Kalo udah selesai, nanti bisa dikeringkan dan kita bikin dekor lagi.” ujar Rendi yang kembali fokus pada lukisannya.
Reni hanya mengangkat bahu kemudian kembali melukis. Tetapi, aktivitasnya kembali terhenti saat rambut ikalnya yang sudah melebihi bahu terjatuh ke depan wajahnya. Ia meletakkan paletnya dan mencari ikat rambut di dalam tasnya. Segera ia cepol rambutnya yang ia warnai dengan warna coklat tersebut.
Rendi yang memperhatikan Reni mengikat rambutnya tersenyum. Ia sangat senang melihat Reni dengan rambut dicepol.
“Hayo, liatin apaan lo!” pekik Fero membuat Rendi tersentak dan menatapnya tajam.
“Heh, apaan sih lo? Entar kalo lukisan gue sampek ancur, muka lo gue ancurin!” ancamnya.
“Hahaha. Lagian elo sih, serius banget ngeliat ke samping. Lo liat apaan sih? Liat lukisannya apa orangnya?” godanya membuat Rendi hanya terdiam.
Reni yang mendengar hal itu hanya tersipu.
“Ah, udah! Sana-sana! Selesaiin tuh gambar singa lo!” usir Rendi. Fero hanya tergelak melihat ekspresi temannya yang tertangkap basah sedang memandangi perempuan di sebelahnya.
📏📏
Reni mondar-mandir sambil menunggu teleponnya diangkat. Sudah tiga kali ia menelepon Papanya tetapi belum diangkat juga.
“Hallo?” seru suara berat di seberang.
“Hallo, Pa? Papa kemana aja sih, dari tadi Reni telepon kok nggak diangkat-angkat?” omelnya tanpa basa-basi.
“Maaf, Sayang. Papa tadi masih ketemu sama temen Papa. Jangan marah dong...
Reni menghela napas. “Gini, Pa. Aku minta ijin nanti nggak pulang ke rumah. Kayaknya aku ke apartemen aja deh. Soalnya nanti mau dekor aula buat pameran besok. Kayaknya sampek larut malam. Boleh ya, Pa?
Beberapa detik terjadi keheningan sampai akhirnya terdengar helaan napas.
“Ya sudah, nggak pa-pa. Tapi kamu harus hati-hati. Jaga kesehatan juga. Jangan terlalu maksain diri. Kalo pulangnya nggak ada teman nanti telepon kakakmu biar dijemput dan dianter ke apartemen kalo kamu memang mau tidur di sana.” Akhirnya Papanya memberikan ijin.
“Yess! Thank you, Papa. Love you. Ya udah, Reni lanjutin dekor aula dulu ya. Doain pameran Reni lancar dan Reni dapet nilai terbaik di kelas!” serunya mantap.
“Iya, Sayang. Papa pasti doain yang terbaik buat kamu. Kamu harus jadi the best kayak kakak kamu itu. Ya?”
“Siap boss! Ya udah, dah Papa!” Reni segera mengakhiri panggilannya. Ia berlari menghampiri Nadya.
“Nanti kamu mau nginep bareng aku nggak? Aku nanti pulang ke apartemen.” Jelasnya.
“Seriusan? Iya deh aku nginep di apartemen kamu aja. Kamu kan tau Ibu kostku itu galaknya minta ampun. Lewat jam sebelas malem nggak mungkin dibukain pintu!” gerutu Nadya sebal. Reni hanya tergelak.
“Ya udah, yuk lanjut dekor lagi!” ajaknya.
📏📏
Ruang Aula di lantai tiga gedung seni lukis masih nampak sibuk. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tidak ada satupun yang hendak beranjak. Semuanya sedang sibuk mendekorasi ruangan yang akan menentukan penilaian untuk tugas mereka.
“Nad, ambilin palu dong tolong!” pekik Reni yang sekarang sedang memegangi paku sambil menaiki meja.
Nadya segera berlari ke arah Reni. “Nih, Ren!” ujarnya seraya menyodorkan palu kepada Reni. Reni segera memasang paku ke dinding dan memukulnya berkali-kali hingga menyisakan sedikit panjangnya untuk digunakan sebagai gantungan.
Nadya memerhatikan penampilan sahabatnya itu. Celana jeans hitam yang terlihat lusuh, kemeja biru kotak-kotak yang tak dikancingkan dengan kaos berwarna hitam sebagai dalamannya dan sepatu kets yang sedikit dekil. Wajahnya yang tanpa make up sedikitpun terbingkai rambut ikal berwarna coklat yang selalu dicepol membuat Nadya masih tak percaya bahwa Reni adalah sahabatnya. Nadya bukan orang yang pemilih, tetapi ia tak pernah membayangkan akan bersahabat dengan perempuan yang bahkan acuh terhadap penampilannya.
“Nah, selesai! Ren, ini hiasannya mana? Paku-pakunya udah siap tuh!” seru Reni pada Rendi membuat Nadya tersadar dari lamunannya.
“Bentar lagi selesai nih! Akhirnya, bisa pulang terus istirahat. Ya kan?” tanya Nadya meminta persetujuan pada Reni.
“Iya. Haduh, punggungku rasanya encok nih! Pegel juga dari tadi angkat-angkat meja, sketsel, euasel sama papan buat pameran. Kalo nggak demi nilai, ogah deh capek-capek kayak begini!” gerutu Reni membuat Nadya tertawa.
“Ya kan kalo kamu nggak berjuang keras, nilaimu bisa turun dan kamu bisa dibuang ke Amerika sama Papamu. Emangnya kamu mau?” Nadya mencoba mengingatkan Reni pada ancaman Papanya.
Reni hanya mendengus kesal seraya memutar bola matanya. Kekesalan yang ia rasakan barusan seakan hilang saat ia mengingat ancaman Papanya.
“Temen-temen, yuk kumpul dulu!” seru Fero. Semuanya segera mendekat ke arah Fero.
“Persiapan kita sudah hampir selesai. Tinggal masang sedikit hiasan, jadilah ruang pameran untuk kelas L2. Gue mau berterima kasih sama kalian semua yang udah bekerja keras untuk persiapan pameran ini. semoga kita mendapatkan nilai yang terbaik!”
“AMIIN!!” seru semuanya bersamaan.
“Ya udah, sekarang yang mau pulang silakan pulang. Silakan istirahat. Yang masih mau lanjut silakan, karena juga kurang dikit lagi kok. Tapi yang paling harus pulang itu yang cewek-cewek nih! Ini udah pagi loh, buruan pulang! Nanti dicariin Ibu kos lagi.” seru Fero mengingatkan. “Ya udah, sekarang bubar!” tak berapa lama setelahnya semua memisahkan diri masing-masing.
“Ren, pulang yuk!” ajak Nadya dengan mata yang sudah mulai memerah.
Reni mengangguk kemudian menghampiri Fero. “Kita pulang duluan ya! Kalian juga jangan pulang pagi. Besok pas pameran ngantuk baru tau rasa!” peringatnya membuat beberapa teman laki-lakinya nyengir.
“Ati-ati ya! Thanks bantuannya.” Ujar Fero seraya tersenyum.
Reni dan Nadya mengangguk kemudian keluar dari ruang Aula menuju parkiran.
📏📏
Pameran tinggal dua hari lagi. Mahasiswa jurusan seni lukis benar-benar sibuk. Mereka tidak hanya sibuk mempersiapkan pameran, tetapi juga menyelesaikan tugas yang lain. Pameran adalah akhir sebelum libur semester. Mereka harus mendapatkan nilai minimal B jika tidak ingin mengulang di tahun depan. Reni sudah menyelesaikan lukisannya. Ternyata langit sudah gelap saat Reni menoleh ke arah jendela. Sembari menunggu lukisannya kering, Reni membantu persiapan lain di aula jurusan Aula di jurusan seni lukis tidak terlalu besar karena memang hanya digunakan untuk pameran antarkelas di jurusan seni lukis. Di fakultas kesenian ada tiga aula yang lebih besar untuk pameran antarjurusan Reni hanya mengekor di belakang Nadya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa teman sekelas mereka “Jadi mereka melarikan diri ke sini?” gumam Reni Nadya yang mendengarnya berbalik meno
Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi. Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar. Jangan lupa, besok pameran. Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku Aku tunggu besok pagi. Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan. Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku! Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!! Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya
Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”
Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran
Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d
Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera