Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Keheningan semakin menyelimuti dengan rapat saat jam sudah menunjukkan tengah malam. Lelaki yang masih berkutat dengan laptopnya tidak sekalipun menoleh ke arah jam di sampingnya yang terus berdentang mengingatkannya untuk beristirahat. Pekerjaan yang amat ia cintai sepertinya begitu erat memeluknya hingga ia melupakan keadaan sekitar. Keheningan segera terpecah saat suara baritonnya bersorak.“Yess! Akhirnya selesai juga!” pekiknya girang kemudian segera menutup pekerjaannya.Ketika ia akan mematikan laptopnya, tampilan desktop membuatnya enggan untuk segera mematikannya. Di laptop tersebut tergambar seorang perempuan yang menampakkan wajah kesalnya karena merasa dipaksa untuk berfoto.“Dasar gadis dekil! Selalu manyun kalo diajak foto!” gumamnya seraya menyeringai.Pria itu baru menyadari, bahwa ia teramat sangat merindukan gadis yang terlihat manyun sambil memegang bola basket dan dirangkul olehnya itu. Sudah seminggu ia tak ber
"PERJODOHAN??!!" pekik Reni saat Papanya selesai berbicara. Santi, sang Mama mengelus punggung Reni agar putri kesayangannya ini tidak meledak-ledak. "Iya, Sayang! Jadi Papa dan Mama itu sudah janji dengan teman kami sewaktu kuliah dulu. Kalau kami punya anak perempuan dan mereka punya anak laki-laki, begitu pula sebaliknya, kami akan menjodohkan anak kami ketika dewasa kelak!" WTF!Reni tak henti-hentinya mengumpat. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa orang tuanya masih berpikiran kolot seperti itu. Padahal, sedari dulu Reni sangat bangga dengan kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya adalah orang tua yang sangat diidamkan oleh teman-temannya. Mereka tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada sang anak. "Pa, ini udah era milenial loh, Pa! Kenapa jadi kayak jamannya Siti Nurbaya sih, harus pake dijodohin segala?" Reni masih terus berusaha memberontak. "Reni..."
Arsitek itu sedang memandangi gambarannya. Ia merasa ada bagian yang masih kurang dari gambar tersebut. Akan tetapi, setelah lebih dari setengah jam ia putar-putar kertas itu, tetap saja ia tidak menemukan dimana letak kurangnya. "Serius amat arsitek satu ini!" sebuah suara mengagetkannya. Arjuna yang sedang suntuk melihat kekasihnya langsung tersenyum. Arjuna memeluk kekasihnya dan memberikan kecupan hangat. "Udah selesai kuliahnya?" tanya Arjuna seraya tetap memeluk tubuh langsing perempuan di hadapannya. "Udah dong. Mulai besok aku mau persiapan buat pameran. Nanti kamu dateng di pameran aku, kan?" Arjuna melepaskan pelukannya. Ia mengangkat dagu kekasihnya sebelum akhirnya mencium bibirnya. "Sayang, kamu kan tau aku pria sibuk. Kerjaan aku banyak banget. Aku nggak bisa dateng di pameran kamu. Maaf ya!" Nadhine, kekasih Arjuna langsung melepa