Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam.
“Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya.
“Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil.
“Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya.
“Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya.
“Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum.
Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-benar belum siap ketika hari ini datang. Ia merapikan pakaiannya dan rambutnya. Ia segera turun dan berjalan di belakang kedua orang tuanya.
Papanya segera memencet bel yang ada di depannya. Rumah dengan nuansa warna pastel yang begitu menenangkan itu berdiri dengan megah. Tak lama kemudian, pintu terbuka.
“Oh, hai Wirawan!” sapa seorang lelaki yang memakai pakaian formal. Ia segera menjabat tangan Wirawan. “Ayo masuk dulu!” ajaknya.
Menyadari putranya yang sedang gugup, Andini menggandengnya. “Udah, tenang aja! Masa’ Arjuna yang udah menaklukkan puluhan perempuan sekarang gugup gitu sih? Ayo dong, Sayang. Mana Juna yang biasanya cuek?” bisik Mamanya.
Bisikan Mamanya membuat Arjuna kembali menghela napas panjang. Aku harus tenang. Batinnya menenangkan dirinya sendiri.
“Silakan duduk dulu.” seru seseorang yang menurut Arjuna bernama Lesmana itu.
Tak lama kemudian, seorang perempuan dengan gaun berwarna hijau pupus datang.
“Hai, Andini. Apa kabar?” mereka berdua segera melakukan ritual ala perempuan, cipika cipiki.
“Baik. Santi sendiri gimana kabarnya? Udah lama banget ya kita nggak ketemu.” Seru Mama Arjuna dengan riang.
“Baik juga. Iya nih, kita udah lama nggak ketemu. Tapi setelah ini dijamin kita pasti jadi sering ketemu. Ya, kan?” bisik Santi membuat Andini tertawa.
“Oh iya, mana putri kesayanganmu, Le?” tanya Wirawan membuat Arjuna menelan ludah. ‘Le’ adalah panggilan akrab Wirawan pada Lesmana.
“Tunggu dulu lah. Sebentar lagi juga turun.”
Arjuna segera menyiapkan dirinya untuk menyambut perempuan yang akan dikenalkan padanya. Ia berkali-kali mengatur napasnya yang mulai memburu.
***
Suara riuh di ruang tamu sampai terdengar dari kamar Reni. Reni yang gugup bukan main hanya mondar-mandir. Ryo yang melihatnya gemas hingga akhirnya menarik Reni untuk duduk tenang bersamanya.
“Tenang aja, kenapa sih? Kan cuma dipertemukan doang, belum diapa-apain.” seru Ryo sebal.
“Iya sih. Tapi nggak tau kenapa gue gugup banget, Kak! Mana gaun ini nyusahin pula!” Reni menatap tubuhnya yang dibalut gaun berwarna merah maroon tanpa lengan yang ia kenakan.
Ryo tertawa. “Bukannya nyusahin, tapi emang elo nggak terbiasa aja pake gaun. Padahal elo cantik lho kalo pake gaun.” Puji Ryo sembari menatap adiknya kagum.
“Ih, Kak Ryo nih bikin gue makin gugup aja!” Reni menyembunyikan wajahnya yang sudah dipoles make up.
“Hehehe. Ya udah yuk turun! Kasian tamunya udah nungguin!” Ryo bangkit.
Reni masih terdiam.
“Ah elah, ayok!” Ryo menarik Reni.
Ryo menggandeng lengan Reni. Ia tidak yakin melepaskan adiknya ini berjalan sendiri. Bisa-bisa ketika sampai di bawah adiknya pingsan!
Reni mengatur napasnya dan juga detak jantungnya yang mulai tak karuan. Haduh, kok jadi segugup ini sih? Rutuknya dalam hati.
Keduanya melangkah dengan pasti. Saat sampai di anak tangga paling bawah, Papanya berseru. “Nah, itu dia. Putri kesayanganku!”
***
“Nah, itu dia. Putri kesayanganku!” seruan Lesmana membuat jantung Arjuna sempat berhenti berdetak. Dengan keberanian ekstra, ia mengangkat wajahnya untuk melihat seperti apa perempuan yang akan disandingkan dengannya.
Ia melihat temannya, Ryo, yang sedang menggandeng perempuan yang masih menunduk. Nampaknya ia juga sama gugupnya dengan Arjuna.
“Juna, kamu duduk di situ dong!” bisik Mamanya seraya menunjuk kursi yang masih kosong. Arjuna hanya mengikutinya.
“Dek, duduk di sini!” bisik Ryo mengarahkan adiknya untuk duduk di samping Arjuna.
Keduanya masih menunduk dalam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Arjuna melirik sekilas ke arah perempuan di sebelahnya. Perempuan itu meremas-remas kedua tangannya.
“Lho, kok malah nunduk gitu kayak lagi disidang aja?” seru Wirawan memecah keheningan.
“Ayo dong kenalan!” tambah Santi.
Dengan satu helaan napas, keduanya mendongak kemudian menoleh ke samping.
“KAMU!?”
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d
Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera
Setelah mengikuti serangkaian acara dalam pameran fotografi, Arjuna mengajak Reni keluar dari gedung. “Kamu mau langsung pulang?” tanya Arjuna saat sudah berada di luar gedung. “Eng..” Reni menggaruk kepalanya. “Nggak tau. Mau pulang, ntar nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo nggak pulang juga mau kemana?” Reni mengangkat bahu. Arjuna melihat jam di tangannya. Masih pukul empat sore. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Ia kembali melihat Reni yang memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Arjuna heran. “Aku... laper.” Bisik Reni sambil meringis. Arjuna tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya udah yuk, kita cari makan!” Arjuna langsung menggenggam tangan Reni dan menariknya. “Eh, aku bawa mobil sendiri!” seru Reni membuat langkah Arjuna terhenti. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. “Dititipin ke Aldo aja. Nanti kita ambil di sini. Gimana?” tanyanya memberikan saran. “Emangnya nggak pa-pa? Takutnya ng
Hari sudah gelap saat Arjuna dan Reni pulang. Arjuna mengantar Reni ke gedung kesenian kemudian langsung pulang. Ketika sampai di rumah, Mamanya sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah. Ketika mendengar suara pintu dibuka, ia mendongak.“Kamu baru pulang? Dari mana aja?” tanya Mamanya seraya menutup majalah yang sedang ia baca.“Tadi liat pameran foto di gedung kesenian.” Arjuna menghempaskan tubuhnya di samping Mamanya. “Terus ketemu sama Reni.”Mata Andini membesar. “Kamu ketemu sama Reni? Terus-terus?”Arjuna menghela napas. “Ya aku ajak dia makan. Udah itu doang!”“Ya ampun, kamu ini belum-belum kok udah ngambil langkah pertama! Mama jadi seneng!”Arjuna memandang Mamanya dengan wajah penasaran. “Langkah pertama? Langkah pertama apa maksud Mama?”Andini mendengus. “Ya itu, kamu udah ngajakin Reni dinner.” Andini tersenyum leba
Weekend kali ini dinikmati Reni dengan membersihkan lensa-lensa kameranya. Itu selalu ia lakukan dua minggu sekali untuk menghindari munculnya jamur pada lensa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan ada notifikasi. Notifikasi khusus i*******m. ArjunaWirayudha_ followed you. Reni mengedipkan matanya berkali-kali. Apakah ia tidak salah baca? "Nemu akunku darimana nih?" Reni mengunjungi profil i*******m Arjuna. Di sana banyak foto-foto Arjuna yang memang i*******mable. "Oh, narsis juga ternyata," gumam Reni sembari terus menggulir layarnya. "Mana yang nge-like cewek-cewek semua lagi!" Semua foto Arjuna ia lihat satu per satu. Mulai dari foto formal, sampai foto-foto liburan Arjuna ia lihat semua. Ketika sedang asyik melihat-lihat foto Arjuna, Reni tidak sengaja mengetuk dua kali yang membuat salah satu foto Arjuna ia sukai. "Lah! Haduuuuh! Kok bisa
Santi yang sedang fokus membuat kue menoleh ketika mendengar langkah kaki mendekat ke arah dapur. "Loh, kok udahan berduaannya? Kurang lama dong, Sayang!" Santi tak henti-hentinya menggoda sang putri. "Ih, Mamaaaa! Udah deh jangan godain terus!" Reni mencubit lengan Mamanya. "Mama tumben bikin kue?" "Nah itu ada Nak Arjuna, masak dibiarin gitu aja nggak dikasih cemilan? Kan kasian, Sayang. Ingat, kita harus memuliakan tamu loh!" "Tapi dia ngeselin!" "Uh, udah bisa ngambek-ngambekan ya sekarang? Mama baru tau loh kalau anak kesayangan Mama ini progres hubungannya udah jauh banget!" "MAMAAAAA!!" Santi tertawa. Ia senang membuat Reni jadi kesal begini. Reni memang mudah sekali merengek kepadanya. Maka dari itu Santi semakin sering menggoda Reni. "Ada apa sih nih, pagi-pagi kok udah rame banget!" Rio mendekat seraya menguap
Minggu pagi Arjuna sudah bertengger di depan papan gambarnya. Ketika mengingat kejadian semalam, ia senyum-senyum sendiri. Bagaimana ia dan Reni begitu menikmati momen berciuman ketika hujan sedang deras-derasnya. Hampir saja Arjuna berpikiran untuk melakukan lebih. Akan tetapi, ia menjernihkan otaknya. Ia harus ingat bahwa perjodohan ini masih berlangsung lama. Ia tidak mau Reni menyebutnya lelaki brengsek karena sudah berani melakukan hal yang lebih padahal mereka belum bertunangan. Ia sudah bersiap untuk mulai menggambar ketika pintu ruang kerjanya ada yang membuka. “Morning, Juna!” sapa suara yang akhir-akhir ini tidak ingin Arjuna dengar. Nadhine. “Morning, Dhine. Kamu tumben pagi-pagi ke sini?” tanya Arjuna seraya meletakkan peralatan menggambarnya. Ia berbalik menghadap Nadhine yang kini sedang duduk di kursi kerjanya. Ia melihat Nadhine berdandan terlalu berlebihan hari ini. “Ya aku mau ketemu kamu lah! Kan ke