Pameran tinggal dua hari lagi. Mahasiswa jurusan seni lukis benar-benar sibuk. Mereka tidak hanya sibuk mempersiapkan pameran, tetapi juga menyelesaikan tugas yang lain. Pameran adalah akhir sebelum libur semester. Mereka harus mendapatkan nilai minimal B jika tidak ingin mengulang di tahun depan.
Reni sudah menyelesaikan lukisannya. Ternyata langit sudah gelap saat Reni menoleh ke arah jendela. Sembari menunggu lukisannya kering, Reni membantu persiapan lain di aula jurusan
Aula di jurusan seni lukis tidak terlalu besar karena memang hanya digunakan untuk pameran antarkelas di jurusan seni lukis. Di fakultas kesenian ada tiga aula yang lebih besar untuk pameran antarjurusan
Reni hanya mengekor di belakang Nadya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa teman sekelas mereka
“Jadi mereka melarikan diri ke sini?” gumam Reni
Nadya yang mendengarnya berbalik menoleh ke arah Reni. “Iya. Kan kalo di sini mereka bisa bikin sampah dari hasil dekor. Itu sebagian dari cara penghilang penat. Hehehe,” Nadya terkekeh
Reni hanya menggelengkan kepalanya. Ia menatap teman-temannya yang sedang asyik menggunting kertas, memotong kayu, menata easel dan beberapa meja. Reni segera mendekati teman-temannya yang sedang memotong kayu
“Perlu bantuan?” tanpa basa-basi Reni menawarkan diri. Rendi, salah satu orang yang ada di situ menoleh ke arah Reni
“Emangnya bisa? Mendingan lo bantuin guntingin hiasan tuh!” Rendi menunjuk sekumpulan mahasiswi yang sedang mengguntingi kertas sambil tertawa-tawa
“Gue nggak bisa nggunting dengan baik. Nanti malah gue gunting semuanya dan akhirnya nggak jadi hiasan deh!” Reni nyengir. Rendi hanya menggeleng pelan
“Ya udah, pegangin kayunya. Biar gue yang gergaji kayunya.” ujar Rendi seraya meletakkan kayunya di depan keduanya
Reni mengangguk. Ia segera memegangi kayunya. Rendi meletakkan gergaji di atas kayu tersebut dan segera memotong kayunya. Reni semakin mengeratkan pegangannya karena kayunya mulai bergerak-gerak. Hingga kayu yang sedikit besar tersebut menjadi dua bagian yang satu bagiannya lebih besar
“Hah!” Reni menghela napas. Ia melepaskan kayu tersebut. “Terus mau diapain?
“Dijejer di situ aja. Nungguin papan kayunya dulu!” Rendi membantu Reni mengangkat kayu tersebut ke pojok aula
“Ren, tolong pasangin neon ini dong!” seru Fero, teman sekelas mereka. Sontak Reni dan Rendi menoleh bersamaan
“Eh, sorry. Maksud gue Rendi. Kan nggak mungkin gue nyuruh elo masang neon ini di atas sono, Ren!” Fero nyengir seraya menggosok tengkuknya. Reni dan Rendi tergelak
Sebelum Rendi mendekat ke arah Fero, Reni melangkah terlebih dahulu dan merebut neon dari tangan Fero. Melihat itu, Fero dan Rendi menatapnya heran
“Elo mau ngapain, Ren?” tanya Fero penasaran
“Bolehkan gue yang masang? Entar elo sama Rendi yang megangin tangganya. Kan badan gue ringan. Jadi kalian nggak perlu khawatir!” Reni berujar mantap
Rendi dan Fero saling berpandangan. Mereka sedikit ragu dengan permintaan Reni. Mereka takut Reni terjatuh dari tangga
“Ayo!” seru Reni membuat keduanya tersadar dari lamunannya. Fero segera mengangkat tangga dan Rendi memeganginya
“Ati-ati, Ren!” peringat Rendi. Reni mengangguk mantap kemudian ia segera menaiki tangga tersebut
Ketika hampir mencapai langit-langit, Reni merasakan tangganya sedikit bergerak
“Eh, pegangin yang bener! Jangan digerak-gerakin woy!” serunya membuat beberapa mata menatapnya. Fero dan Rendi hanya tertawa
Reni segera memasang neon di tempatnya. Setelahnya ia segera turun ketika sampai di tangga kedua dari bawah, ia langsung meloncat
“Hei! Ati-ati dong!” Rendi langsung mencekal tangannya
“Gue nggak apa-apa kali!” sungut Reni membuat Rendi tersenyum. Senyuman itu menular ke Reni hingga akhirnya keduanya saling lempar senyum
"Aduh, aduh! Masih sempet-sempetnya flirting kalian berdua nih, hmm!" seruan Nadya membuat keduanya salah tingkah
"Kita cari makan aja yuk, Nad! Gue tiba-tiba laper nih!" tanpa ba-bi-bu, Reni segera menyeret Nadya keluar dari aula. Ia merasakan letupan kecil di jantungnya jika mengingat senyuman Rendi tadi
**
Sekembalinya membeli makan, Reni membelikan cemilan untuk teman-temannya yang harus lembur malam ini. Ia menolak untuk lembur besok, karena ia tidak mau teman-temannya kelelahan di hari H pameran. Biar saja hari ini mereka lembur, bahkan sampai pagi sekalipun. Besok, mereka bisa beristirahat agar lusa ketika pameran tubuh mereka benar-benar fit
"Guys, ini gue bawain cemilan ya. Sama minuman sekalian. Break dulu guys!" seru Reni yang langsung didekati teman-temannya. Mereka menyerobot aneka cemilan yang dibawa Reni dan Nadya
Reni mengecek semua kelengkapan pameran. Sementara beberapa temannya istirahat, ia melanjutkan yang belum selesai
"Cocok banget jadi pemimpin," bisik Rendi yang tiba-tiba berada di sebelah Reni
Reni menoleh. Cukup terkejut ketika wajahnya dan Rendi hanya berjarak lima sentimeter
"Eh? Kok bisa?" tanya Reni menghilangkan kegugupannya
"Ya, keliatan banget. Elo bisa me-manage anak-anak. Tau sendiri kan pameran tahun lalu banyak dapet kritikan karena ketupelnya nggak profesional.
"Emang gue profesional?
Rendi tampak mengamati Reni. "Ya, lumayanlah! Setidaknya sampai hari ini.
Reni tertawa. Ia melanjutkan pekerjaannya. "Eh, elo bawa laptop nggak?
"Bawa kok! Mau buat apa? Gue buatin biar elo bisa tetep lanjutin kerjaan lo!
"Ini, daftar hadir tamu sama berita acaranya belum. Formatnya ada di grup ya. Nanti print agak banyak, ya. Buat arsip juga soalnya.
"Siap!" Rendi segera mengambil laptopnya. Ia bergegas membuat apa yang dibutuhkan Reni
Ketika Reni sendirian, Nadya menghampirinya
"Kayaknya gue tau deh alasan elo nolak dijodohin," Nadya memelankan suaranya, takut ada yang mendengarkan
"Apaan?" tanya Reni tanpa menoleh
"Karena elo have a crush kan, ke Rendi?" Nadya mengucapkan pertanyaan ini dengan girang
Reni melotot ke arahnya, tetapi Nadya malah cekikikan
"Udah deh, nggak usah sok garang gitu! Udah keliatan kok dari muka kalian, gesture kalian. Kalau sebenernya kalian berdua tuh punya rasa yang sama.
Reni membuang wajah. "Pingin jadi psikolog nggak keturutan ya gini, nih! Sok-sokan bisa baca orang cuma dari muka sama gesture. Nggak usah sotoy deh, Nad!
"Yee, gue bukan sotoy! Emang kelihatan kok," Nadya menselonjorkan kakinya. "Oke, mungkin menurut lo nggak mungkin bisa baca perasaan seseorang cuma dari muka atau gesture tubuh. Tapi kalau emang nggak ada perasaan apa-apa, nggak mungkin kalian jadi salah tingkah gitu. Terserah deh, kalau elo nggak percaya. Tapi gue mempercayai hal itu!
Reni menggelengkan kepala seraya menutupi rona merah di wajahnya. Ketika Rendi menoleh dan melemparkan senyum ke arahnya, Reni mulai meyakini omongan Nadya barusan
***
Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi. Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar. Jangan lupa, besok pameran. Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku Aku tunggu besok pagi. Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan. Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku! Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!! Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya
Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”
Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran
Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d
Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera
Setelah mengikuti serangkaian acara dalam pameran fotografi, Arjuna mengajak Reni keluar dari gedung. “Kamu mau langsung pulang?” tanya Arjuna saat sudah berada di luar gedung. “Eng..” Reni menggaruk kepalanya. “Nggak tau. Mau pulang, ntar nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo nggak pulang juga mau kemana?” Reni mengangkat bahu. Arjuna melihat jam di tangannya. Masih pukul empat sore. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Ia kembali melihat Reni yang memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Arjuna heran. “Aku... laper.” Bisik Reni sambil meringis. Arjuna tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya udah yuk, kita cari makan!” Arjuna langsung menggenggam tangan Reni dan menariknya. “Eh, aku bawa mobil sendiri!” seru Reni membuat langkah Arjuna terhenti. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. “Dititipin ke Aldo aja. Nanti kita ambil di sini. Gimana?” tanyanya memberikan saran. “Emangnya nggak pa-pa? Takutnya ng