Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti.
“Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya.
“Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh.
“Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!”
Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.”
“Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”
“Udah kali nggak usah uring-uringan kayak gitu. Ya itu resiko kalo pacaran sama business man. Pasti sering dicuekin. Jadi ya, terima aja konsekuensinya.” Ujar Feb cuek.
Nadhine semakin kesal dan berjalan meninggalkan temannya.
***
Arjuna memerhatikan lukisan-lukisan yang ada di depannya. Sambil berjalan, ia juga berkonsentrasi pada gadis di depannya yang menjelaskan tentang lukisan yang mereka lewati.
“Emangnya tiap tahun selalu ada pameran kayak gini?” tanya Juna sambil memerhatikan lukisan dua wajah perempuan yang dibingkai warna-warna pastel.
“Ya bukan tiap tahun lagi, tapi tiap semester. Tiap jenis lukisan harus dipamerkan. Karena menurut dosennya sih kalo dinilai sama dosen doang nanti kita ngamuknya sama mereka kalo nilainya nggak sesuai. Jadi mendingan dipamerkan supaya mendapatkan penilaian yang objektif dari orang luar.” Jelas Reni sambil terus berjalan.
“Oh, gitu.” Arjuna manggut-manggut. “Berarti saya bisa kasih penilaian dong?”
“Ya bisa. Nanti di meja daftar tamu itu para pengunjung diminta untuk memberikan kritik dan saran. Dari kritik dan saran itu kita dapet nilai.”
“Kalo pengunjungnya ngasih kritik dan sarannya asal-asalan gimana?”
“Emm, kalo itu aku masih belum tau. Karena sejauh ini yang aku dapet kritikan mereka bener-bener objektif sekaligus membunuh. Aku belum pernah nemuin mereka nulis ‘bagus’ gitu doang. Pasti tulisannya panjang-panjang disertai penjabaran yang mendukung kritikan mereka.” Reni berhenti dan membalikkan badannya membuat Arjuna ikut berhenti. “Atau jangan-jangan kamu mau nulis komentar asal ya?” Reni menyipitkan kedua matanya.
Arjuna mengernyit. Detik berikutnya ia tertawa. Reni yang melihatnya menampakkan wajah bingung. “Aduh! Kamu tuh gampang banget berprasangka buruk ya sama orang?” tanyanya seraya menghela napas. “Ya nggak mungkinlah aku nulis kayak gitu. Lagian, aku kan cuma nanya karena menurut aku ada aja orang yang nggak mau memberikan penilaiannya. Gitu aja dikira aku yang mau ngelakuin.”
“Yakin?” tanya Reni sambil mendekat.
Arjuna menunduk menatap Reni yang memang tidak lebih tinggi darinya. Tingginya hanya mencapai dagu Arjuna. Seketika wangi apel menguar ke dalam hidungnya. Arjuna memejamkan matanya sejenak. “Yakin!” serunya mantap seraya membuka mata.
Reni mencibir kemudian melanjutkan jalannya. Arjuna tersenyum. Nih cewek lucu juga!
***
Hampir dua jam Arjuna mengelilingi aula pameran lukisan itu. Ia berterima kasih pada Reni yang sudah menemaninya berkeliling.
“Thanks ya, udah nemenin liat-liat lukisan!” serunya saat keluar dari aula.
“Iya sama-sama. Aku juga berterima kasih karena kamu mau mampir ke pameran ini. Karena bagi kami, satu pengunjung itu sangat berarti.” Ujarnya dengan mata berbinar membuat Arjuna lagi-lagi tersenyum lebar.
“Iya!” Arjuna mengacak rambut Reni. “Kapan-kapan kalo ada pameran lagi, aku pasti dateng.” Arjuna menghela napas. “Ya udah, aku permisi dulu!”
“Iya.” Reni mengangguk. Arjuna segera beranjak meninggalkan gedung jurusan seni lukis. Reni menatapnya sampai benar-benar hilang dari pandangan.
“Hayoo, gebetan baru ya?” goda Nadya sambil tersenyum jail pada Reni.
“Apaan sih? Orang kenalnya juga baru tadi.” Sergah Reni.
“Emangnya dia jurusan apa? Atau fakultas apa? Kayaknya kok nggak pernah liat?” tanya Nadya.
“Di daftar tamu sih dia nulis umum. Berarti dia udah nggak kuliah lagi.”
“Kok dia bisa sampek sini ya? Apa dia ada urusan?”
“Katanya sih tadi dia dari pameran tata busana. Terus mampir ke sini. Mungkin di sana ada temennya atau mungkin... pacar?” Reni mengernyitkan kening seraya mengangkat bahu.
“Yang pasti sih pacar.” Nadya menyeringai. “Kayaknya lo cocok lho sama dia!”
“Ish, Nad! Apaan sih? Orang baru kenal dibilang cocok!” Reni mendengus sebal kemudian masuk ke aula meninggalkan Nadya yang terkikik.
***
Arjuna berdecak kesal melihat ponselnya. Nadhine menghubunginya beberapa kali tetapi ia sama sekali tidak tahu.
“Pasti sekarang ngambek nih!” akhirnya Arjuna balik menghubungi Nadhine.
“Hallo!” seru Arjuna saat panggilan sudah tersambung.
“Kamu kemana sih kok tiba-tiba ngilang? Padahal aku pengen kamu liat pas meragain busana tadi. Eh, kamu udah pergi duluan!” omel Nadhine membuat Arjuna menjauhkan ponselnya.
“I-Iya maaf. Aku tadi ngerasa nggak nyaman aja di sana. Jadinya aku langsung balik aja dan siap-siap ke kantor. Maaf ya!” kilahnya.
“Ya udah deh. Udah dulu ya, aku mau lanjutin acara ini!”
“Iy—“
Klik. Sambungan terputus. Arjuna mengernyitkan keningnya.
“Belum selesai ngomong udah ditutup aja!” ia mendengus kesal kemudian melanjutkan perjalanannya.
Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran
Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d
Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera
Setelah mengikuti serangkaian acara dalam pameran fotografi, Arjuna mengajak Reni keluar dari gedung. “Kamu mau langsung pulang?” tanya Arjuna saat sudah berada di luar gedung. “Eng..” Reni menggaruk kepalanya. “Nggak tau. Mau pulang, ntar nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo nggak pulang juga mau kemana?” Reni mengangkat bahu. Arjuna melihat jam di tangannya. Masih pukul empat sore. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Ia kembali melihat Reni yang memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Arjuna heran. “Aku... laper.” Bisik Reni sambil meringis. Arjuna tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya udah yuk, kita cari makan!” Arjuna langsung menggenggam tangan Reni dan menariknya. “Eh, aku bawa mobil sendiri!” seru Reni membuat langkah Arjuna terhenti. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. “Dititipin ke Aldo aja. Nanti kita ambil di sini. Gimana?” tanyanya memberikan saran. “Emangnya nggak pa-pa? Takutnya ng
Hari sudah gelap saat Arjuna dan Reni pulang. Arjuna mengantar Reni ke gedung kesenian kemudian langsung pulang. Ketika sampai di rumah, Mamanya sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah. Ketika mendengar suara pintu dibuka, ia mendongak.“Kamu baru pulang? Dari mana aja?” tanya Mamanya seraya menutup majalah yang sedang ia baca.“Tadi liat pameran foto di gedung kesenian.” Arjuna menghempaskan tubuhnya di samping Mamanya. “Terus ketemu sama Reni.”Mata Andini membesar. “Kamu ketemu sama Reni? Terus-terus?”Arjuna menghela napas. “Ya aku ajak dia makan. Udah itu doang!”“Ya ampun, kamu ini belum-belum kok udah ngambil langkah pertama! Mama jadi seneng!”Arjuna memandang Mamanya dengan wajah penasaran. “Langkah pertama? Langkah pertama apa maksud Mama?”Andini mendengus. “Ya itu, kamu udah ngajakin Reni dinner.” Andini tersenyum leba
Weekend kali ini dinikmati Reni dengan membersihkan lensa-lensa kameranya. Itu selalu ia lakukan dua minggu sekali untuk menghindari munculnya jamur pada lensa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan ada notifikasi. Notifikasi khusus i*******m. ArjunaWirayudha_ followed you. Reni mengedipkan matanya berkali-kali. Apakah ia tidak salah baca? "Nemu akunku darimana nih?" Reni mengunjungi profil i*******m Arjuna. Di sana banyak foto-foto Arjuna yang memang i*******mable. "Oh, narsis juga ternyata," gumam Reni sembari terus menggulir layarnya. "Mana yang nge-like cewek-cewek semua lagi!" Semua foto Arjuna ia lihat satu per satu. Mulai dari foto formal, sampai foto-foto liburan Arjuna ia lihat semua. Ketika sedang asyik melihat-lihat foto Arjuna, Reni tidak sengaja mengetuk dua kali yang membuat salah satu foto Arjuna ia sukai. "Lah! Haduuuuh! Kok bisa
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce