Selama ini, Emily selalu memandang rendah William dan merasa bahwa kebersamaan mereka adalah beban perjodohan dua keluarga.
Namun kini, pria itu justru menunjukkan cinta yang lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan? Air mata Emily jatuh semakin deras. Dalam hati, ia bertekad, ‘Aku harus memperbaiki segalanya.’ Grep! Emily meraih tangan William. Dengan ekspresi wajah penuh keyakinan, ia langsung tegas berkata, “Berikan aku waktu lagi, William, aku belum ingin bercerai...” “Aku tahu aku salah. Aku….” Ucapan Emily terputus. Dia sudah kehilangan kata-kata. Perilakunya selama ini rasanya terlalu kurang ajar sebagai seorang istri dan dia telat menyadarinya. Di sisi lain, William menghela napas. “Emily, aku akan menegaskan bahwa aku tetap tidak bisa kehilangan proyek besar itu. Aku tidak bisa menghancurkan para pegawai kantor yang sudah ikut berusaha keras.” Cepat Emily pun menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak mau proyek itu lagi. Hanya, biarkan aku berada di sisimu lebih lama lagi, ya...” mohonnya pilu. Dapat Emily lihat, alis William terangkat sebelah–seolah kebingungan dan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sepertinya, William yakin istrinya itu ingin merebut proyek besar yang sedang menjadi prioritas perusahaannya dengan cara yang lebih halus, licik. “Kalau kau benar-benar ingin tetap di sisiku,” kata William akhirnya. Suaranya tenang tapi dingin, “Kau harus mengikuti semua aturan yang aku berikan nantinya. Tidak ada pengecualian.” Meski tidak bisa melihat, Emily merasakan tubuhnya merinding kala suaminya itu menunjukkan ekspresi tajam. Hanya saja, tekad Emily sudah bulat. Tanpa ragu sedikit pun, wanita itu menganggukkan kepala. “Aku setuju. Apa pun peraturan yang akan kau buat, aku akan mengikutinya.” William sontak menggerakkan tangannya mencari wajah Emily, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Emily. “Kau demam?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, dahi Emily terasa normal. Tidak ada panas yang menandakan demam tinggi atau kondisi tidak sadar. Tapi tetap saja, William tampak sulit percaya. “Kau benar-benar bicara serius?” Emily sendiri menghela napas. Ia merasa wajar jika suaminya itu bertindak demikian. Tadi pagi, dia masih bersikeras merebut proyek itu untuk diserahkan pada Hendrik. Emily bahkan mengancam untuk bercerai. Tak hanya itu, Emily pernah menyabotase proyeknya, mencoba merusak kepercayaan mitranya, dan bahkan memanfaatkan posisinya sebagai istri untuk keuntungan pribadi. Lalu sekarang mendadak berubah? Siapa yang dapat percaya? “Ya, William. Aku serius.” Meski ia tahu William tak dapat melihatnya, Emily menatap pria itu lurus, tanpa ragu. Menghela napasnya, William memegang tongkat penuntun miliknya dengan erat. “Baik,” katanya akhirnya. “Kalau memang begitu, kau akan membuktikan ucapanmu. Tapi ingat, Emily, kali ini aku tidak akan segan-segan. Sekali saja kau melanggar aturanku, aku tidak akan memberi kesempatan lagi.” Emily mengangguk lagi padahal jelas William tuda bisa melihatnya, kali ini lebih mantap. “Aku mengerti.” Senyuman puas tersemat di bibir Emily, merasa yakin kalau ketulusan William memang tidak akan ada yang menandingi. ’Bodoh sekali aku selama ini,’ pikir Emily, kesal pada dirinya sendiri. William mengangguk. “Oh iya, Emily. Nanti orang tuamu akan datang. Aku harap—” Sayangnya, ucapan pria itu berhenti kala pintu rawat inap Emily terbuka tiba-tiba. Hendrick datang dengan wajah prihatin dan sedih melihat Emily. “Ya ampun, Emily...” ucapnya tanpa tahu wajah palsu itu sudah diketahui Emily dan membuatnya muak dan mual. Hanya saja, Hendrick justru mendekat dan tanpa tahu malu, langsung menyingkirkan tubuh William hingga pegangan tangan Emily terlepas. Pria bajingan itu langsung saja menyentuh wajah Emily dan memeluknya. Emily jelas ingin menolak. Tapi, tubuhnya yang terluka membuat ruang geraknya terbatas. Belum lagi, Hendrick kembali berbicara semaunya. “Emily, kenapa bisa begini? Aku benar-benar menyesal untuk apa yang terjadi denganmu, kenapa tidak aku saja yang terluka? Sungguh, aku siap menggantikan mu.” Cih! ‘Keparat satu ini,’ batin Emily kesal Di sisi lain, William terdiam sambil mengepalkan tangannya. “Aku keluar dulu,” ucapnya. Sambil meraba, William mencoba keluar dengan hati-hati. “Eh, Will—” Emily mencoba meraih tangan William, namun Hendrick menahan tangan Emily, hingga William keluar dari ruangan itu. Emily membuang napas kesal. Seketika itu mendorong Hendrick lalu berkata, “Kenapa kau ke sini sih, Hendrick?” pertanyaan itu bentuk protes Emily. Hendrick jelas melihat perubahan yang signifikan dari sikap Emily. Pria itu coba mengacuhkan, yakin benar Emily tidak mungkin membencinya. “Sayang,” panggil Hendrick. “Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja, kan? Ya Tuhan... hampir saja jantungku copot.” Emily membuang napas, coba menenangkan dirinya. Namun, siapa yang akan mengira kalau saat ini jantung Emily berdegup sangat keras. Kebencian... Itulah yang tersisa sekarang terhadap Hendrick. Padahal, dia mencintai sampai ke tulang sumsum sebelumnya. Penghinaan, pengkhianatan, intrik licik, dan rasa sakit yang Emily dapatkan akan dia balas secara tuntas. ‘Ah, sial! Kenapa aku bodoh sekali selama ini?’ batin Emily, lagi-lagi merutuki kebodohannya. “Sayang...” panggil Hendrick lagi dengan nada lembut, hampir seperti bisikan mesra. Emily tersadar, merinding ngeri mendengarnya. “Keluar. Aku ingin istirahat, jangan ganggu aku!” titah Emily, matanya tajam dan tegas. Hendrick terdiam sesaat. Mata kemarahan itu tidak biasa, Hendrick bertanya di dalam hati, ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Emily aneh?’ “Sayang, apa kau marah karena aku datang terlambat?” tanya Hendrick. Tangannya coba mengusap wajah Emily dengan lembut, namun gagal karena Emily menepisnya. “Bukan. Aku marah karena kau datang ke sini, paham?” balas Emily. Hendrick memaksakan senyumnya, “Wah... gadis cantikku ini sedang merajuk, ya?” Emily tercengang melihat kepercayaan diri yang tak masuk akal itu. ‘Merajuk, katanya? Kepalanya ini minta di-bor, ya?!’ batin Emily. Hanya saja, Hendrick mendadak mencoba untuk memeluk Emily yang sontakmelihat noda merah di leher Hendrick. Jelas itu perbuatan Jessica. Wanita rendahan, pria bajingan. Yah, mereka benar-benar sangat serasi! Untungnya, dia sudah sadar. “Enyahlah, Hendrik,” titah Emily, mendorong Hendrick menjauh darinya. Namun, pria itu justru bingung karena tidak paham apa yang sebenarnya terjadi dengan Emily. Pria itu jelas tak mungkin membiarkan hubungannya dengan Emily memburuk. Hendrick perlu Emily untuk mendapatkan proyek besar milik William. Namun, sorot mata Emily yang tajam seolah menyalak marah, dan tegas, Hendrick tidak bisa merayunya saat ini. “Kenapa masih diam?” tanya Emily, dingin. Hendrick lagi-lagi memaksakan senyumnya. “Sayang, aku lihat kepalamu diperban. Aku tidak akan menyalahkan mu untuk sikapmu kali ini. Kau pasti tidak melakukannya dengan sengaja. Aku akan kembali besok, jaga dirimu baik-baik, ya...” Mendengar itu, Emily pun berdecih kesal. Tapi, Emily tidak ingin terlalu menunjukkan rasa muak yang ia miliki terhadap pria itu saat ini! Dia akan balas dendam padanya!Di luar ruangan, asisten William tampak menatapnya, bingung. “Tuan, Anda keluar begitu saja?” tanya Robert, bingung. William menghela napasnya lalu menjawab, “Akan aneh kalau aku tetap di sana, Robert.” Mendengar itu, Robert sejenak menatap pintu ruangan yang tertutup. “Anda benar-benar memiliki kesabaran seluas angkasa untuk istri Anda dan selingkuhannya itu,” sindirnya, “Padahal, Anda pasti melihat wajah bajingan Hendrick tadi, kan? Ah, Saya kesal sekali!” William hanya tersenyum. “Duh, bagaimana, ya? Kau lupa aku ini orang buta, Robert?” Robert pun mendengus. “Tuan, ini bukan waktunya bercanda. Jelas-jelas, Anda--”Ucapan keduanya berhenti kala Hendrick tampak kesal kala keluar dari ruangan itu. Pria itu masih tak mengerti, mengapa Emily berubah sedemikian rupa? Apakah kepalanya terbentur tadi? Namun saat Hendrick bersitatap dengan Robert, segera dikendalikan ekspresinya itu.Dengan sombong, ia bahkan melangkah dengan wajah pongah ke hadapan sang kakak tiri. “William, jel
Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik.Plak!Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick!William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini.Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya.“Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick.Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily.Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang.Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.”Hendrick mengep
Robert menggeleng. “Sepertinya, tidak, Tuan. Dia hanya membaca, mengangguk, lalu menandatangani dokumen itu.”William menghela napas panjang. Ada sesuatu yang aneh. Emily, yang selama ini dikenal keras kepala dan sering melawan, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang patuh dan tidak mempertanyakan apa pun.“Aku ingin kau memperhatikan Emily lebih dekat, Robert,” kata William akhirnya. “Aku juga akan memantaunya.”Robert mengerutkan keningnya. “Tuan, apa Anda yakin? Bagaimana kalau Nona Emily curiga dengan—”William memotong pembicaraan, “Tenang saja. Aku paham bagaimana aku harus bersikap.”“Baik, Tuan.” Robert membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruangan.Begitu Robert keluar dari ruangan itu, tak sengaja ia pun mendengar Emily sedang bicara di telepon.“Ada apa lagi, Hendrick?” tanya Emily, suaranya terdengar kesal. “Kenapa aku harus menemui mu? Ah, baiklah... Kau di mana sekarang?”“Dia benar-benar masih lah rubah betina yang licik,” gumam Robert pelan. “Jangan kira aku akan m
Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka. Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga
Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Emily, kau di sini?” tanya William. Gelagapan, Emily tidak tahu harus mengatakan apa. Ah, tapi dia tidak bisa bohong! William sudah mendengar suaranya tadi. “I–iya, aku baru saja datang, William,” jawab Emily, gugup. “Benarkah?” William tersenyum, membuat Emily merasa malu. “J–jangan tersenyum seperti itu, William! Aku tidak melihat anumu, kok. Sumpah, deh!” “Pft!” William pun menahan tawa, “baiklah, aku percaya padamu.”“Ih!!” Emily menghentakkan kakinya, merasa kesal karena William pasti tidak percaya, dan tengah menggodanya. ****Pagi itu, William dan Emily duduk bersama di meja makan. Emily dengan cekatan menyendokkan makanan ke piring William, lalu ke piringnya sendiri. “Silakan, William,” katanya lembut sambil meletakkan piring di hadapan pria itu. William mengendus aroma makanan di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menebak apa itu. “Emily, makanan apa ini?” Emily menjawab cepat, “Aku memasak ikan segar. Menu sederhana, tapi aku
“Apa kau berniat membunuh Tuan William, Nyonya Emely?!” Pertanyaan itu membuat Emily membeku. Namun, belum sempat Emely bertanya tentang apa maksudnya, Robert sudah berlari menuju ke ruang kerja William. “Kenapa? Apa yang salah dengan ikan ini?” gumam Emily, kebingungan sendiri. Tidak, ini bukan waktunya bingung! Emily segera bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat tersebut. Ia pun ikut berlari menuju ke ruang kerja William. “Tuan William, apa yang anda lakukan?!” tanya Robert. Pria itu terdengar membentak dengan penuh emosi, membuat Emely yang baru diambang pintu membeku. ‘Kenapa Robert kesal begitu,’ pikirnya. Emily segera masuk ke dalam ruangan itu. Dugg! Jantung Emily seperti akan copot. Ia masih berdiri di ambang pintu ruang kerja William, tubuhnya semakin gemetar hebat. Di depan matanya, Will
Emily masih bersimpuh di depan pintu ruang kerja William, air matanya mengalir tanpa henti. Di dalam ruangan, dokter yang juga sahabat William sedang menangani, ditemani oleh beberapa pelayan yang mondar-mandir membawa peralatan dan obat-obatan. Robert berdiri di samping pintu, wajahnya penuh amarah dan ketegasan. “Tetap di sini, Nyonya Emily yang terhormat,” katanya mencemooh.” Jangan coba-coba masuk. Biarkan orang paham apa yang harus mereka lakukan yang menangani ini,” peringatnya dengan nada dingin. Emily hanya bisa mengangguk kecil, tidak mampu melawan kata-kata Robert. Tangannya meremas rok yang ia kenakan, mencoba menahan isak tangis yang keluar semakin keras. Namun, ia tahu bahwa penyesalannya sekarang tidak akan mengubah apa pun. Beberapa waktu kemudian, handle pintu berputar. Emily segera bangkit ketika dokter keluar dari ruangan itu. Dokter itu
Andreas melangkah keluar dari ruang observasi dengan ekspresi serius. Ia menarik napas panjang sebelum menghampiri Erika, Merin, dan Ronald yang menunggu di bangku rumah sakit sejak tadi. Mereka jelas terlihat sangat gelisah. Sudah 1 jam lebih, bahakan hampir 2 jam mereka menunggu di sana. Merin langsung berdiri. “Bagaimana hasilnya, Dokter?” Erika dan juga Ronald ikut bangkit untuk mendengarkan penjelasan dari Andreas. Andreas menatap mereka satu per satu. “Saya sudah mendapatkan hasil awal pemeriksaannya,” ucapnya pelan, nada suaranya dingin dan penuh tekanan. “Sama seperti yang anda inginkan tadi, pemeriksaan darahnya.” Ronald meneguk ludah. Erika mencengkram ujung jaketnya. “Dan… hasilnya cocok, bukan?” Andreas menggeleng perlahan. “Tidak. Golongan darah Nona Elle dan Nona Erika berbeda. Tidak kompatibel sama sekali. Bahkan, Nona Elle memiliki golongan darah yang sangat langka, dan tubuhnya tergolong sensitif ter
Di ruang pemeriksaan rumah sakit swasta itu, suasana terasa begitu tegang. Elle masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien, wajahnya agak pucat dan tubuhnya dingin. Seorang dokter muda, mengenakan jas putih dan mengenakan name tag bertuliskan “Dr. Andreas”, berdiri di dekat monitor sambil menatap hasil pemeriksaan awal dengan alis berkerut. “Pasien ini... dalam kondisi tidak sadar dan tidak ada surat persetujuan. Saya tidak bisa melakukan pemeriksaan lanjut, apalagi untuk kecocokan donor organ, tanpa persetujuan atau izin tertulis dari yang bersangkutan,” ucap Dr. Andreas, suaranya tegas tapi tenang. Bagaimanapun, dia tidak boleh terkena masalah karena hal ini. Erika melangkah cepat ke depan, wajahnya dingin. “Kau tahu siapa pamanku, kan? Beliau adalah manajer rumah sakit ini. Kalau kau tidak ingin karirmu berakhir malam ini juga, sebaiknya lakukan saja. Kami hanya meminta pemeriksaa
Elle membuka mata perlahan. Cahaya lampu yang ada dari ruang kerjanya menyambut pandangan yang masih sedikit buram. Tubuhnya terasa pegal, terutama bagian punggung dan leher, efek dari tidur dua jam lebih di sofa yang agak sempit. Namun tak ada keluhan keluar dari bibirnya, hanya helaan napas kecil dan gerakan ringan untuk meregangkan tubuh. Pandangan Elle tertuju pada meja kecil di samping sofa. Di sana telah tersedia segelas air mineral dan sebotol minuman pereda mabuk, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan, “Saya tidak ingin mengganggu istirahat Anda, tapi tubuh Anda perlu perhatian juga. Ada bau alkohol yang terendus pagi tadi, semoga segera membaik. Rose” Elle tersenyum tipis. Rose, asisten sekretarisnya, memang selalu memahami waktunya, tidak hanya sebagai bawahan yang andal, tapi juga sebagai seseorang yang tahu kapan harus diam dan kapan harus segeralah bertindak. “Dia benar-benar bisa membaca situasi bahkan saat aku tid
Pertanyaan dari Lavine membuat Elle mendesah sebal. “Kau sedang mengejek atau apa?” “Pft!” Lavine menahan tawanya. “Ah, iya maaf kalau kau merasa seperti itu. Aku cuma bertanya saja, kok.” Malas meladeni, Elle memilih untuk diam. “Ya sudah. Kau kan tidak menjawab, jadi aku bawa saja kau pulang ke apartemen ku,” ujar Lavine, santai. Elle menatap dengan kesal. “Siapa yang mau?! Pergi ke gedung MJW, ada sesuatu yang harus aku lakukan di sana.” Lavine terkekeh geli. “Oke oke, maaf... kau ini emosian sekali. Kalau aku kesal, aku bawa saja kau pergi ke kantor catatan sipil.” Sesampainya di depan gedung MJW, mobil Lavine perlahan berhenti. Elle segera membuka pintu namun tidak lupa menoleh sejenak. “Terima kasih sudah mengantarku,” ucapnya singkat namun sopan. Namun bukannya membalas dengan serius, Lavine justru memonyongka
Perlahan Elle membuka matanya saat tirai jendela sedikit bergerak karena hembusan angin sedikit kencang dari pendingin ruangan. Ia mengerang pelan, memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut hebat. Pandangannya masih buram, dan ruangan di sekitarnya terasa asing untuknya, sebuah kamar hotel yang cukup mewah, namun sama sekali tidak familiar untuknya. “Akhhh... di mana aku sekarang?” Ia pun bangkit perlahan, duduk sambil menahan sakit. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot! “Ya ampun!” Elle panik, apalagi ketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya lagi yang semalam. Nyatanya, rasa panik itu tidak berhenti sampai di situ saja. Seketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya bahkan pada bagian bawahnya. Dengan gemetar, ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. “I–ini... apa-apaan?” Ia menoleh perlahan ke arah tempat tidur… dan matanya pun membelalak. Namun yang ia lihat bukan hal yang mengerikan seperti bayangannya, dia Lavine,
Elle menoleh dan tersenyum, tangannya masih saling menggenggam erat dengan tangan Weren. Entah kenapa dia merasa lega karena masih ada orang yang tulus sehingga ia tidak berpikir bahwa orang dari kalangan ekonomi basah tidak semuanya miskin attitude. “Terima kasih, Bibi…” suaranya pelan namun tegas. “Bibi sudah benar-benar peduli, dan karena itu, aku akan berusaha menyudahi semua ini. Aku tidak ingin terus berada dalam lingkaran yang menyakitkan ini.” Weren mengangguk penuh dukungan. “Aku melihatnya... Kau gadis yang baik dan kuat, Elle. Aku tahu itu dari awal. Tapi menjadi kuat bukan berarti terus bertahan di tempat yang membuatmu tersiksa hanya karena perasaan bersalah.” Elle terdiam. Kata-kata itu menampar lembut kesadarannya yang selama ini dia abaikan. Weren melanjutkan, “Ronald memang anak yang baik, tapi sejak kecil dia sudah terbiasa menurut pad
Pada akhirnya, yang bisa Elle lakukan adalah menuruti apa maunya Ronald. Hatinya kesal, tapi apa boleh buat. “Ah, maaf, Sayang. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Tapi, apa salahnya kau membantu Erika? Bagaimanapun, dia sudah banyak membantuku.” Begitulah yang diucapkan Ronald tadi. Elle sudah mencoba untuk memberitahu, “Erika sama sekali tidak berkontribusi untuk semua ini!” Namun, Merin mematahkannya dengan berkata, “Terus? Kau mau bilang kalau kau yang sudah membuat kesuksesan ini? Hemp! Anakku bisa naik jabatan juga karena kerja keras dan kepintarannya. Kafe dan restoran milik kami juga sukses karena rasa makanan dan kerja keras kami yang dibantu Erika secara diam-diam!” Erika nampak canggung, namun senyum lebar di wajahnya itu seolah menyukai pengakuan itu. Hanya bisa tersenyum, Elle sudah tidak bisa menolong kebodohan Merin dan Ronald. Memang seorang manager utama Ayahnya Erika bisa bertindak sejauh itu? Hah... tentu saja tidak. Bisa menyewa gedung hotel m
Elle melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, menyusuri trotoar yang lengang. Malam mulai turun, dan langit tampak kelabu seperti hatinya. Ia tahu ia bisa saja menolak, tapi hutang budi kepada Ronald dan perasaan yang masih tertambat membuatnya tidak bisa menolak permintaan Merin, sekalipun itu menyakitkan untuknya. Ia tiba di toko buah langganan dan mulai memilah buah kiwi yang tampak segar. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya melayang. Belum lagi dia merasa lelah dan mengantuk sekali. “Kenapa aku masih bertahan seperti ini, sih?” batinnya. “Lagi-lagi kau sendiri, cantik?” Suara lelaki itu memecah lamunannya. Elle menoleh, dan menghela napas begitu mengenali suara yang bicara, tidak asing juga. Lavine. Pria tinggi berwajah tampan itu tersenyum miring, mengenakan jas santai dengan rambut sedikit berantakan, khas pria Casanova yang tahu diri
Tiga bulan telah berlalu. Waktu yang terasa cepat bagi Elle, namun tanpa disadari perlahan menumpuk luka-luka kecil yang ia simpan rapi di dalam hatinya. Ia menyaksikan Ronald tersenyum lebih sering, dengan mata yang berbinar saat bercerita tentang kesuksesan kafenya yang kini merambah ke bisnis restoran. Setiap malam, setelah pulang kerja, Ronald menghitung omset dengan mata berbinar, penuh rasa puas. “Sepertinya, sebentar lagi kita bisa buka cabang di pusat kota,” kata Ronald suatu malam, matanya menatap grafik yang naik tajam di layar laptopnya. “Ibu juga makin semangat. Dia bahkan sudah bilang ingin beli mobil baru.” Elle hanya tersenyum. “Itu bagus. Kau memang sudah bekerja keras, kau dan Ibumu pantas mendapatkannya.” Ronald tertawa kecil. “Kau juga sudah banyak membantuku. Terimakasih banyak, ya.” Tapi di balik pujian itu, Ronald tak pernah tahu sebera