“Perusahaanku bisa hancur kalau proyek itu terlepas dariku.”
Brak! Emily Laurdent membanting setirnya kesal kala mengingat ucapan William, suami buta yang dinikahinya karena perjodohan bisnis sejak dua tahun lalu. Selain mengekang dan posesif, dia juga tak pernah mau mengerti Emily. Kesabarannya selalu diuji. Belum lagi, Emily masih tidak mengerti mengapa keluarganya tiba-tiba mengganti pengantin prianya menjadi William. Padahal, jelas-jelas mereka semua tahu Emily mencintai Hendrick, adik tiri William, dan sudah berpacaran sejak SMA. Wanita 23 tahun itu lantas meraih ponsel dan segera mencari nama pria yang sebenarnya Hendrick. Namun, panggilannya berakhir tanpa jawaban. Berulang kali Emily menelpon, tetap saja, tidak ada jawaban. Frustrasi, wanita itu lantas memutuskan untuk langsung menuju rumah Hendrick. Hanya saja, langkahnya terhenti oleh suara tawa yang datang dari taman samping rumah. Dengan hati-hati, Emily melangkah ke arah sumber suara, rasa ingin tahu mengalahkan rasa sopan. Dia berhenti di balik dinding taman dan menguping. Napasnya tercekat ketika dia menyadari siapa wanita itu. Itu Jessica, sahabatnya sendiri. Namun yang lebih mengejutkan adalah isi pembicaraan mereka. “Aku sudah tidak tahan lagi berpura-pura mencintai Emily. Kalau dia mau menyerahkan proyek besar itu, aku akan langsung membuangnya ke tempat sampah dan menikahimu, Jessica.” Emily menutup mulutnya. Tubuhnya membeku seketika. Bagaimana bisa pria yang dicintainya itu berselingkuh dengan sahabatnya dan merendahkannya sedemikian rupa? Padahal, selama ini wanita 23 tahun itu selalu membelanya. Bahkan tadi dia masih berusaha keras mengambil proyek yang dimaksud meski William terus memperingatkan dirinya. Sayangya, ini semua nyata. Tawa Jessica menyadarkan Emily akan itu semua. “Benar-benar kasihan dia. Tapi kalau proyek itu kita dapatkan, hidup kita akan sempurna.” “Ayolah, kenapa kau kasihan padanya? Selain wajahnya yang cantik, dia tidak memiliki apapun yang menyenangkan. Bahkan, otaknya itu tidak lebih baik dari pada seekor keledai,” ucap Hendrick itu lagi, “Kalau proyek besar itu ada di tanganku, maka aku bisa menyingkirkan William, kakak tiriku yang tak berguna itu, dengan mudah. Yah, bila perlu membuang William dan Emily langsung ke penangkaran singa.” Emily memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi kemudian, suara ciuman mereka yang terdengar jelas memaksanya membuka mata lebar-lebar. Emily tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Dia mundur perlahan, memastikan tidak ada suara yang membuat mereka menyadari keberadaannya. Dengan langkah goyah, dia kembali ke mobilnya. Emily pun segera duduk di belakang kemudi, tetapi tangannya terlalu gemetar untuk memegang setir dengan baik. Dia menggigit bibirnya keras-keras, mencoba menahan tangis. “Bagaimana bisa...?” bisiknya, air mata mengalir di pipinya. Orang yang selama ini dia percayai, telah menghancurkannya dalam sekejap. Tanpa berpikir panjang, dia menyalakan mesin mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi. Namun, pikirannya masih terlalu kacau. Saat Emily mencoba mengendalikan mobilnya, dia tidak menyadari bahwa jalanan mulai berbelok. Belum lagi, rem mobilnya mendadak blong! Kendali setir semakin sulit. Dan akhirnya, dalam sekejap, mobil itu menabrak pembatas jalan dengan keras. Brak!! Bunyi dentuman menggema di udara. Emily terhuyung ke depan. Kepalanya membentur kemudi. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya terasa berat dan akhirnya semuanya menjadi gelap. “William, maafkan aku...” gumam Emily sebelum matanya benar-benar tertutup. **** “Akkh…” erang Emily kala membuka matanya perlahan. Rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Menyesuaikan pandangannya yang kabur, Emily menatap langit-langit putih di atasnya dan cairan infus yang menggantung di samping tempat tidur. “Aku di rumah sakit?” pikirnya sambil mencoba memahami situasinya. Namun, sebelum sempat mencerna semuanya, dia tersentak saat merasakan sentuhan lembut di tangannya. “Emily?” suara itu pelan, penuh perhatian. Emily mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. William... Pria itu duduk di sisi tempat tidur. Wajahnya terlihat murung, seperti menahan rasa sakit di hatinya. Mata William yang buta menatap kosong ke depan. Namun, entah bagaimana, seolah dia tahu Emily telah sadar. “Emily, apa itu tadi suaramu?” tanya William dengan suara lembut. “Kau kesakitan? Kau sudah bangun?” Emily menggigit bibir bawahnya, menatap pria itu dalam diam. Hatinya terasa sesak. William selalu peduli dan memperhatikan dirinya meski ia sendiri menghadapi banyak kesulitan. Kebutaan William tidak pernah membuatnya menyerah. Namun, Emily justru sebaliknya. Selama dua tahun pernikahan mereka, Emily hanya memberikan tambahan rasa sakit pada pria itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Emily. Ingatannya berputar, menampilkan bayangan-bayangan masa lalu. Selama ini, ia memberontak, bersikap dingin, bahkan terang-terangan menunjukkan cintanya pada Hendrick. Semua itu dilakukan tanpa peduli pada hati William. “Kenapa dia masih sudi untuk berada di sini?” pikir Emily penuh sesal. Isakan kecil meluncur dari bibirnya. Di sisi lain, William yang mendengar suara itu langsung panik. “Emily? Kenapa kau menangis? Apa yang sakit? Robert! Robert!” seru William sambil berusaha berdiri. Tak lama, pintu kamar terbuka memperlihatkan asisten William itu dengan wajah khawatir. “Saya datang, Pak William?” “Emily sepertinya menangis,” kata William, suaranya penuh kepanikan. “Tolong panggilkan dokter, cepat.” Robert mengangguk dan segera memanggil dokter. “Baik, Pak.” Beberapa menit kemudian, dokter masuk dan memeriksa Emily dengan seksama. Setelah pemeriksaan selesai, dokter berkata, “Nona Emily baik-baik saja. Luka di kepalanya tidak terlalu parah meskipun sempat mengeluarkan darah. Dia hanya perlu istirahat total selama beberapa hari ini.” Mendengar kabar itu, William menghela napas lega. “Syukurlah,” gumamnya. Setelah dokter pergi, suasana menjadi hening. Emily hanya menatap William, sementara pria itu diam, seolah memikirkan sesuatu. “Emily.” Suara William memecah keheningan. “Aku sudah memutuskan. Jika bercerai adalah yang terbaik untukmu, aku akan melakukannya. Jangan khawatir. Robert akan bantu mengurus perceraian kita.” Deg! Emily terkejut. Kata-kata itu menghantam hati Emily seperti petir di siang bolong.Selama ini, Emily selalu memandang rendah William dan merasa bahwa kebersamaan mereka adalah beban perjodohan dua keluarga. Namun kini, pria itu justru menunjukkan cinta yang lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan? Air mata Emily jatuh semakin deras. Dalam hati, ia bertekad, ‘Aku harus memperbaiki segalanya.’ Grep! Emily meraih tangan William. Dengan ekspresi wajah penuh keyakinan, ia langsung tegas berkata, “Berikan aku waktu lagi, William, aku belum ingin bercerai...” “Aku tahu aku salah. Aku….” Ucapan Emily terputus. Dia sudah kehilangan kata-kata. Perilakunya selama ini rasanya terlalu kurang ajar sebagai seorang istri dan dia telat menyadarinya. Di sisi lain, William menghela napas. “Emily, aku akan menegaskan bahwa aku tetap tidak bisa kehilangan proyek besar itu. Aku tidak bisa menghancurkan para pegawai kantor yang sudah ikut berusaha keras.” Cepat Emily pun menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak mau proyek itu lagi. Hanya, biarkan aku berada di sisimu
Di luar ruangan, asisten William tampak menatapnya, bingung. “Tuan, Anda keluar begitu saja?” tanya Robert, bingung. William menghela napasnya lalu menjawab, “Akan aneh kalau aku tetap di sana, Robert.” Mendengar itu, Robert sejenak menatap pintu ruangan yang tertutup. “Anda benar-benar memiliki kesabaran seluas angkasa untuk istri Anda dan selingkuhannya itu,” sindirnya, “Padahal, Anda pasti melihat wajah bajingan Hendrick tadi, kan? Ah, Saya kesal sekali!” William hanya tersenyum. “Duh, bagaimana, ya? Kau lupa aku ini orang buta, Robert?” Robert pun mendengus. “Tuan, ini bukan waktunya bercanda. Jelas-jelas, Anda--”Ucapan keduanya berhenti kala Hendrick tampak kesal kala keluar dari ruangan itu. Pria itu masih tak mengerti, mengapa Emily berubah sedemikian rupa? Apakah kepalanya terbentur tadi? Namun saat Hendrick bersitatap dengan Robert, segera dikendalikan ekspresinya itu.Dengan sombong, ia bahkan melangkah dengan wajah pongah ke hadapan sang kakak tiri. “William, jel
Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik.Plak!Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick!William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini.Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya.“Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick.Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily.Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang.Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.”Hendrick mengep
Robert menggeleng. “Sepertinya, tidak, Tuan. Dia hanya membaca, mengangguk, lalu menandatangani dokumen itu.”William menghela napas panjang. Ada sesuatu yang aneh. Emily, yang selama ini dikenal keras kepala dan sering melawan, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang patuh dan tidak mempertanyakan apa pun.“Aku ingin kau memperhatikan Emily lebih dekat, Robert,” kata William akhirnya. “Aku juga akan memantaunya.”Robert mengerutkan keningnya. “Tuan, apa Anda yakin? Bagaimana kalau Nona Emily curiga dengan—”William memotong pembicaraan, “Tenang saja. Aku paham bagaimana aku harus bersikap.”“Baik, Tuan.” Robert membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruangan.Begitu Robert keluar dari ruangan itu, tak sengaja ia pun mendengar Emily sedang bicara di telepon.“Ada apa lagi, Hendrick?” tanya Emily, suaranya terdengar kesal. “Kenapa aku harus menemui mu? Ah, baiklah... Kau di mana sekarang?”“Dia benar-benar masih lah rubah betina yang licik,” gumam Robert pelan. “Jangan kira aku akan m
Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka. Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga
Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Emily, kau di sini?” tanya William. Gelagapan, Emily tidak tahu harus mengatakan apa. Ah, tapi dia tidak bisa bohong! William sudah mendengar suaranya tadi. “I–iya, aku baru saja datang, William,” jawab Emily, gugup. “Benarkah?” William tersenyum, membuat Emily merasa malu. “J–jangan tersenyum seperti itu, William! Aku tidak melihat anumu, kok. Sumpah, deh!” “Pft!” William pun menahan tawa, “baiklah, aku percaya padamu.”“Ih!!” Emily menghentakkan kakinya, merasa kesal karena William pasti tidak percaya, dan tengah menggodanya. ****Pagi itu, William dan Emily duduk bersama di meja makan. Emily dengan cekatan menyendokkan makanan ke piring William, lalu ke piringnya sendiri. “Silakan, William,” katanya lembut sambil meletakkan piring di hadapan pria itu. William mengendus aroma makanan di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menebak apa itu. “Emily, makanan apa ini?” Emily menjawab cepat, “Aku memasak ikan segar. Menu sederhana, tapi aku
“Apa kau berniat membunuh Tuan William, Nyonya Emely?!” Pertanyaan itu membuat Emily membeku. Namun, belum sempat Emely bertanya tentang apa maksudnya, Robert sudah berlari menuju ke ruang kerja William. “Kenapa? Apa yang salah dengan ikan ini?” gumam Emily, kebingungan sendiri. Tidak, ini bukan waktunya bingung! Emily segera bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat tersebut. Ia pun ikut berlari menuju ke ruang kerja William. “Tuan William, apa yang anda lakukan?!” tanya Robert. Pria itu terdengar membentak dengan penuh emosi, membuat Emely yang baru diambang pintu membeku. ‘Kenapa Robert kesal begitu,’ pikirnya. Emily segera masuk ke dalam ruangan itu. Dugg! Jantung Emily seperti akan copot. Ia masih berdiri di ambang pintu ruang kerja William, tubuhnya semakin gemetar hebat. Di depan matanya, Will
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek
Emily menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. William duduk di hadapannya dengan ekspresi dingin sambil memangku Elle. Bocah itu tidak mau jauh dari ayahnya. “Maaf. Aku hanya takut kau akan membawa Elle pergi dariku,” ucap Emily lagi. Dia sudah coba menjelaskan tadi, tapi tatapan tajam William membuatnya gugup. Emily mengangkat wajahnya, menatap William dan Elle. Hah...? Emily benar-benar keheranan, bagaimana bisa ayah dan anak itu berekspresi sama sambil menatapnya? Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, Kenapa mereka menjadi sangat kompak seperti itu? Akhhh! Emily merasa ngilu dadanya, dia cemburu. “Ayah kenapa tidak boleh membawaku? Aku juga mau ikut Ayah kok, Bu,” ujar Elle dengan ekspresi wajahnya yang polos. William tersenyum tipis, penuh kemenangan. Emily mencebikkan bibirnya, jelas dia merasa makin cemburu. “Baiklah, bisakah kau sebutkan
Emily perlahan berjalan mendekat. Ia pun berbaring di sisi lain tempat tidur. Lelah sekali, tubuhnya juga sakit semua. Tidak butuh waktu lama, Emily juga langsung terlelap. William membuka matanya. Dia menatap Elle dan Emily. Ia mulai membayangkan kehidupan seperti apa yang Emily dan Elle jalani selama ini. Bagaimana bisa Emily membesarkan Elle sendiri namun putrinya itu bisa mengenali Ayahnya bahkan saat tidak pernah bertemu sama sekali sebelumnya? “Setelah dipikirkan lagi, sepertinya, kau juga menjalani hari yang sulit, kan? Kenapa kau harus melakukan semua ini? Tapi... berkat kau pergi, aku pun makin sadar bahwa aku tidak pernah ingin membencimu walaupun aku bertekad. Emily, terimakasih sudah hidup dengan baik-baik saja selama ini. Terimakasih karena kau melahirkan anakku dengan baik dan membuatnya mengenaliku,” ucap William di dalam hatinya. Perlahan, ia pun meraih tangan Emily dan menggenggamnya.
Emily dan William sampai di mansion Tuan Xavier. Kedatangan mereka disambut oleh keluarga dengan ekspresi bingung. Julia dan Johan saling menatap dengan segala pemikiran mereka. Sean membuang napas kasarnya saat melihat Emily dan William di depan pintu. “Sudah kubilang, Emily itu tidak berprinsip. Jauh-jauh dia pergi sampai empat tahun lebih, akhirnya kembali ke William juga, kan?”“Diam! Siapa yang tidak berprinsip?!” kesal Emily. “Aku cuma... dipaksa William saja! Aku juga bukan perempuan yang mudah seperti yang Kakak pikirkan.”Sean tersenyum, menaikkan satu sisi bibirnya. “Ah, lalat sekarat saja tidak mungkin percaya ucapan mu, Emily.”Julia menyikut Sean, melotot, meminta kepada Sean untuk menutup mulutnya. Emily merengut kesal. Yah... apapun yang dia katakan mana mungkin mereka percaya?William menghela napasnya. “Kaki ku sudah pegal berdiri. Kapan kalian akan memberikan jalan untukku?”Mereka