“Perusahaanku bisa hancur kalau proyek itu terlepas dariku.”
Brak! Emily Laurdent membanting setirnya kesal kala mengingat ucapan William, suami buta yang dinikahinya karena perjodohan bisnis sejak dua tahun lalu. Selain mengekang dan posesif, dia juga tak pernah mau mengerti Emily. Kesabarannya selalu diuji. Belum lagi, Emily masih tidak mengerti mengapa keluarganya tiba-tiba mengganti pengantin prianya menjadi William. Padahal, jelas-jelas mereka semua tahu Emily mencintai Hendrick, adik tiri William, dan sudah berpacaran sejak SMA. Wanita 23 tahun itu lantas meraih ponsel dan segera mencari nama pria yang sebenarnya Hendrick. Namun, panggilannya berakhir tanpa jawaban. Berulang kali Emily menelpon, tetap saja, tidak ada jawaban. Frustrasi, wanita itu lantas memutuskan untuk langsung menuju rumah Hendrick. Hanya saja, langkahnya terhenti oleh suara tawa yang datang dari taman samping rumah. Dengan hati-hati, Emily melangkah ke arah sumber suara, rasa ingin tahu mengalahkan rasa sopan. Dia berhenti di balik dinding taman dan menguping. Napasnya tercekat ketika dia menyadari siapa wanita itu. Itu Jessica, sahabatnya sendiri. Namun yang lebih mengejutkan adalah isi pembicaraan mereka. “Aku sudah tidak tahan lagi berpura-pura mencintai Emily. Kalau dia mau menyerahkan proyek besar itu, aku akan langsung membuangnya ke tempat sampah dan menikahimu, Jessica.” Emily menutup mulutnya. Tubuhnya membeku seketika. Bagaimana bisa pria yang dicintainya itu berselingkuh dengan sahabatnya dan merendahkannya sedemikian rupa? Padahal, selama ini wanita 23 tahun itu selalu membelanya. Bahkan tadi dia masih berusaha keras mengambil proyek yang dimaksud meski William terus memperingatkan dirinya. Sayangya, ini semua nyata. Tawa Jessica menyadarkan Emily akan itu semua. “Benar-benar kasihan dia. Tapi kalau proyek itu kita dapatkan, hidup kita akan sempurna.” “Ayolah, kenapa kau kasihan padanya? Selain wajahnya yang cantik, dia tidak memiliki apapun yang menyenangkan. Bahkan, otaknya itu tidak lebih baik dari pada seekor keledai,” ucap Hendrick itu lagi, “Kalau proyek besar itu ada di tanganku, maka aku bisa menyingkirkan William, kakak tiriku yang tak berguna itu, dengan mudah. Yah, bila perlu membuang William dan Emily langsung ke penangkaran singa.” Emily memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi kemudian, suara ciuman mereka yang terdengar jelas memaksanya membuka mata lebar-lebar. Emily tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Dia mundur perlahan, memastikan tidak ada suara yang membuat mereka menyadari keberadaannya. Dengan langkah goyah, dia kembali ke mobilnya. Emily pun segera duduk di belakang kemudi, tetapi tangannya terlalu gemetar untuk memegang setir dengan baik. Dia menggigit bibirnya keras-keras, mencoba menahan tangis. “Bagaimana bisa...?” bisiknya, air mata mengalir di pipinya. Orang yang selama ini dia percayai, telah menghancurkannya dalam sekejap. Tanpa berpikir panjang, dia menyalakan mesin mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi. Namun, pikirannya masih terlalu kacau. Saat Emily mencoba mengendalikan mobilnya, dia tidak menyadari bahwa jalanan mulai berbelok. Belum lagi, rem mobilnya mendadak blong! Kendali setir semakin sulit. Dan akhirnya, dalam sekejap, mobil itu menabrak pembatas jalan dengan keras. Brak!! Bunyi dentuman menggema di udara. Emily terhuyung ke depan. Kepalanya membentur kemudi. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya terasa berat dan akhirnya semuanya menjadi gelap. “William, maafkan aku...” gumam Emily sebelum matanya benar-benar tertutup. **** “Akkh…” erang Emily kala membuka matanya perlahan. Rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Menyesuaikan pandangannya yang kabur, Emily menatap langit-langit putih di atasnya dan cairan infus yang menggantung di samping tempat tidur. “Aku di rumah sakit?” pikirnya sambil mencoba memahami situasinya. Namun, sebelum sempat mencerna semuanya, dia tersentak saat merasakan sentuhan lembut di tangannya. “Emily?” suara itu pelan, penuh perhatian. Emily mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. William... Pria itu duduk di sisi tempat tidur. Wajahnya terlihat murung, seperti menahan rasa sakit di hatinya. Mata William yang buta menatap kosong ke depan. Namun, entah bagaimana, seolah dia tahu Emily telah sadar. “Emily, apa itu tadi suaramu?” tanya William dengan suara lembut. “Kau kesakitan? Kau sudah bangun?” Emily menggigit bibir bawahnya, menatap pria itu dalam diam. Hatinya terasa sesak. William selalu peduli dan memperhatikan dirinya meski ia sendiri menghadapi banyak kesulitan. Kebutaan William tidak pernah membuatnya menyerah. Namun, Emily justru sebaliknya. Selama dua tahun pernikahan mereka, Emily hanya memberikan tambahan rasa sakit pada pria itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Emily. Ingatannya berputar, menampilkan bayangan-bayangan masa lalu. Selama ini, ia memberontak, bersikap dingin, bahkan terang-terangan menunjukkan cintanya pada Hendrick. Semua itu dilakukan tanpa peduli pada hati William. “Kenapa dia masih sudi untuk berada di sini?” pikir Emily penuh sesal. Isakan kecil meluncur dari bibirnya. Di sisi lain, William yang mendengar suara itu langsung panik. “Emily? Kenapa kau menangis? Apa yang sakit? Robert! Robert!” seru William sambil berusaha berdiri. Tak lama, pintu kamar terbuka memperlihatkan asisten William itu dengan wajah khawatir. “Saya datang, Pak William?” “Emily sepertinya menangis,” kata William, suaranya penuh kepanikan. “Tolong panggilkan dokter, cepat.” Robert mengangguk dan segera memanggil dokter. “Baik, Pak.” Beberapa menit kemudian, dokter masuk dan memeriksa Emily dengan seksama. Setelah pemeriksaan selesai, dokter berkata, “Nona Emily baik-baik saja. Luka di kepalanya tidak terlalu parah meskipun sempat mengeluarkan darah. Dia hanya perlu istirahat total selama beberapa hari ini.” Mendengar kabar itu, William menghela napas lega. “Syukurlah,” gumamnya. Setelah dokter pergi, suasana menjadi hening. Emily hanya menatap William, sementara pria itu diam, seolah memikirkan sesuatu. “Emily.” Suara William memecah keheningan. “Aku sudah memutuskan. Jika bercerai adalah yang terbaik untukmu, aku akan melakukannya. Jangan khawatir. Robert akan bantu mengurus perceraian kita.” Deg! Emily terkejut. Kata-kata itu menghantam hati Emily seperti petir di siang bolong.Selama ini, Emily selalu memandang rendah William dan merasa bahwa kebersamaan mereka adalah beban perjodohan dua keluarga. Namun kini, pria itu justru menunjukkan cinta yang lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan? Air mata Emily jatuh semakin deras. Dalam hati, ia bertekad, ‘Aku harus memperbaiki segalanya.’ Grep! Emily meraih tangan William. Dengan ekspresi wajah penuh keyakinan, ia langsung tegas berkata, “Berikan aku waktu lagi, William, aku belum ingin bercerai...” “Aku tahu aku salah. Aku….” Ucapan Emily terputus. Dia sudah kehilangan kata-kata. Perilakunya selama ini rasanya terlalu kurang ajar sebagai seorang istri dan dia telat menyadarinya. Di sisi lain, William menghela napas. “Emily, aku akan menegaskan bahwa aku tetap tidak bisa kehilangan proyek besar itu. Aku tidak bisa menghancurkan para pegawai kantor yang sudah ikut berusaha keras.” Cepat Emily pun menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak mau proyek itu lagi. Hanya, biarkan aku berada di sisimu
Di luar ruangan, asisten William tampak menatapnya, bingung. “Tuan, Anda keluar begitu saja?” tanya Robert, bingung. William menghela napasnya lalu menjawab, “Akan aneh kalau aku tetap di sana, Robert.” Mendengar itu, Robert sejenak menatap pintu ruangan yang tertutup. “Anda benar-benar memiliki kesabaran seluas angkasa untuk istri Anda dan selingkuhannya itu,” sindirnya, “Padahal, Anda pasti melihat wajah bajingan Hendrick tadi, kan? Ah, Saya kesal sekali!” William hanya tersenyum. “Duh, bagaimana, ya? Kau lupa aku ini orang buta, Robert?” Robert pun mendengus. “Tuan, ini bukan waktunya bercanda. Jelas-jelas, Anda--”Ucapan keduanya berhenti kala Hendrick tampak kesal kala keluar dari ruangan itu. Pria itu masih tak mengerti, mengapa Emily berubah sedemikian rupa? Apakah kepalanya terbentur tadi? Namun saat Hendrick bersitatap dengan Robert, segera dikendalikan ekspresinya itu.Dengan sombong, ia bahkan melangkah dengan wajah pongah ke hadapan sang kakak tiri. “William, jel
Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik.Plak!Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick!William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini.Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya.“Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick.Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily.Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang.Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.”Hendrick mengep
Robert menggeleng. “Sepertinya, tidak, Tuan. Dia hanya membaca, mengangguk, lalu menandatangani dokumen itu.”William menghela napas panjang. Ada sesuatu yang aneh. Emily, yang selama ini dikenal keras kepala dan sering melawan, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang patuh dan tidak mempertanyakan apa pun.“Aku ingin kau memperhatikan Emily lebih dekat, Robert,” kata William akhirnya. “Aku juga akan memantaunya.”Robert mengerutkan keningnya. “Tuan, apa Anda yakin? Bagaimana kalau Nona Emily curiga dengan—”William memotong pembicaraan, “Tenang saja. Aku paham bagaimana aku harus bersikap.”“Baik, Tuan.” Robert membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruangan.Begitu Robert keluar dari ruangan itu, tak sengaja ia pun mendengar Emily sedang bicara di telepon.“Ada apa lagi, Hendrick?” tanya Emily, suaranya terdengar kesal. “Kenapa aku harus menemui mu? Ah, baiklah... Kau di mana sekarang?”“Dia benar-benar masih lah rubah betina yang licik,” gumam Robert pelan. “Jangan kira aku akan m
Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka. Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga
Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Emily, kau di sini?” tanya William. Gelagapan, Emily tidak tahu harus mengatakan apa. Ah, tapi dia tidak bisa bohong! William sudah mendengar suaranya tadi. “I–iya, aku baru saja datang, William,” jawab Emily, gugup. “Benarkah?” William tersenyum, membuat Emily merasa malu. “J–jangan tersenyum seperti itu, William! Aku tidak melihat anumu, kok. Sumpah, deh!” “Pft!” William pun menahan tawa, “baiklah, aku percaya padamu.”“Ih!!” Emily menghentakkan kakinya, merasa kesal karena William pasti tidak percaya, dan tengah menggodanya. ****Pagi itu, William dan Emily duduk bersama di meja makan. Emily dengan cekatan menyendokkan makanan ke piring William, lalu ke piringnya sendiri. “Silakan, William,” katanya lembut sambil meletakkan piring di hadapan pria itu. William mengendus aroma makanan di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menebak apa itu. “Emily, makanan apa ini?” Emily menjawab cepat, “Aku memasak ikan segar. Menu sederhana, tapi aku
“Apa kau berniat membunuh Tuan William, Nyonya Emely?!” Pertanyaan itu membuat Emily membeku. Namun, belum sempat Emely bertanya tentang apa maksudnya, Robert sudah berlari menuju ke ruang kerja William. “Kenapa? Apa yang salah dengan ikan ini?” gumam Emily, kebingungan sendiri. Tidak, ini bukan waktunya bingung! Emily segera bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat tersebut. Ia pun ikut berlari menuju ke ruang kerja William. “Tuan William, apa yang anda lakukan?!” tanya Robert. Pria itu terdengar membentak dengan penuh emosi, membuat Emely yang baru diambang pintu membeku. ‘Kenapa Robert kesal begitu,’ pikirnya. Emily segera masuk ke dalam ruangan itu. Dugg! Jantung Emily seperti akan copot. Ia masih berdiri di ambang pintu ruang kerja William, tubuhnya semakin gemetar hebat. Di depan matanya, Will
Pagi itu, suasana di kamar mandi rumah William terasa begitu hangat. Emily dan William tengah berendam bersama di bathtub yang penuh busa. Tawa kecil Emily menggema ketika William dengan lembut menggosok punggungnya. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?” tanya Emily sambil memutar kepala untuk melihat William. William tersenyum tipis, membalas, “Tentu saja. Jarang-jarang aku bisa mandi bersama istriku. Rasanya... aku jadi ingin setiap hari.” Emily tertawa pelan, menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak mungkin serius, kan?”“Serius. Dulu, saat kecil kita juga sering mandi di kolam renang bersama, sayangnya saat itu aku masih sangat polos dan hanya tersenyum bahagia melihat balita menggunakan pakaian renang.”Emily pun terkekeh. Setelah selesai mandi, mereka saling membantu. Emily memakaikan dasi untuk William, sementara William membantu Emily memilih dress santai untuk dikenakan di rumah.
William melangkah masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, seperti biasanya saat dia sedang pulang ke rumah. Namun, kali ini, dia melihat sesuatu yang membuat alisnya sedikit mengernyit. Emily yang tengah memegang ponselnya tiba-tiba menyembunyikan di balik punggung saat melihat dirinya masuk. Emily tersenyum, berusaha terlihat senang Mungkin. Dia segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah William. “Sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa. William menutup pintu dan mengangguk pelan. Dia ingin bertanya tentang ponsel yang disembunyikan Emily, tapi melihat wajah istrinya yang lebih cerah dibanding beberapa hari terakhir, ia memutuskan untuk menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Emily langsung memeluk William erat. William terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu. Sudah berapa waktu ini Emily lebih banyak diam, dan dia yang mengambil inisiatif untuk memeluknya lebih dulu
Pagi itu, di sebuah kafe, tempat Azura bekerja. Azura menatap Robert dengan tatapan tajam, tangannya menyilang di depan dada, sementara proposal di hadapannya tetap tak tersentuh. “Dengar, Tuan Rodet atau Robert, dan... siapa lah itu,” katanya dengan nada datar. “Emily bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup tua, bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Dan aku? Aku bukan pengasuh atau bodyguard. Aku ini pelayan cafe biasa, dan aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang ini.” Robert tetap tenang, meski dia bisa merasakan penolakan keras dari Azura. “Aku tentu saja mengerti posisi anda, Nona Azura. Tapi ini bukan hanya soal pekerjaan saja. Ini soal Nyonya muda Emily. Lagi pula, bekerja di kafe seperti ini tidak mungkin bisa menjamin masa depan anda.”Mendengar itu, Azura pun makin menatap Robert dengan tatapan kesal. Ia memiliki cerita tidak mengenakan dengan para orang kaya, itu cukup membuatnya muak. Walaupun Emily adalah
Johan dan Julia mencoba untuk menemui Emily, namun kesulitan karena baik penjaga gerbang maupun pelayan rumah tidak ada yang memberikan akses. Nyonya besar juga dilarang untuk datang oleh William. Seolah tahu apa yang akan terjadi, William ingin mengantisipasi semua masalah dari luar. Emily sedang kacau belakangan ini, akan mudah baginya dipengaruhi, dan berpikir buruk. Sementara itu, di dalam kamar, Emily menghela napasnya. Sungguh, rasanya bosan sekali terus berada di dalam kamar seperti ini. Akhirnya, Emily memutuskan untuk berjalan-jalan keliling rumah dan taman saja guna mengusir rasa bosan itu. “Aku ingin pergi ke pusat belanja. Makan es krim, beli baju, ahhh... pokoknya apapun yang bisa aku lakukan di sana, deh!” gumamnya. Namun, langkah kaki Emily terhenti saat mendengar suara Elizabeth tengah bicara di telepon. Emily mengerutkan keningnya. “Elizabeth... kenapa dia ada d
Malam itu, di sebuah apartemen. Suara barang pecah belah menggema di dalam kamar Hendrick. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh emosi. Ia baru saja menerima kabar bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, kehancuran bisnisnya, rusaknya reputasinya, dan kekalahannya adalah ulah William dan Emily. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkannya. Hendrick menatap pantulan dirinya di cermin yang kini retak akibat lemparannya. Matanya merah penuh kemarahan. “William... Emily,” gumamnya, “kalian pikir, kalian benar-benar sudah menang?” Ia menyeringai dingin. Tidak. Ini belum berakhir. Dia akan menghancurkan mereka, satu persatu. Jika Emily meninggalkan William, pria itu pasti akan hancur. Atau lebih baik lagi, jika ia bisa membuat mereka saling membenci, itu akan menjadi hukuman terbaik. “Tidak sulit,” Hendrik tertawa. Ia tahu Emily bukan
Suasana ruangan yang tegang seketika terhenti ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. William telah pulang. Tatapan matanya yang tajam namun khas orang buta langsung menyapu ke arah dua wanita yang duduk berhadapan. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan dia bisa merasakannya. Nyonya besar lebih dulu membuka suara. “Kau sudah pulang,” katanya dengan nada datar. William mengangguk. Tanpa banyak bicara ia berjalan mendekat dan Emily langsung bangkit untuk membantu William duduk di sebelahnya. Bagaimanapun, Emily juga harus bekerja dengan baik untuk menunjukkan bahwa William masih buta. “Apa yang sedang kalian obrolkan di sini?” tanya William. Nyonya besar menghela napas panjang, wajahnya masih tetap dingin seperti biasanya. Sebelum wanita tua itu sempat menjawab, Emily lebih dulu membuka suara. “Kami sedang membahas sesuatu yang cukup serius.” Tatapan William nam
selama satu pekan penuh, Emily hampir tidak berbicara. William harus memanggilnya beberapa kali untuk sekedar mendapatkan respon, dan itupun hanya berupa anggukan atau gumaman singkat. Emily juga menolak bertemu dengan orang tuanya dengan berbagai alasan. Ia tidak ingin melihat siapapun, tidak ingin mendengar suara siapapun untuk saat itu. Ponselnya dibiarkan tergeletak begitu saja, tanpa ia sentuh sedikitpun. Hari-harinya hanya dihabiskan di dalam kamar, duduk diam, merenung, dan melamun. Namun, hari ini terasa berbeda. Hari ini, Emily mulai bangkit. Kesedihan masih ada, luka di hatinya masih terbuka, tapi ada sesuatu yang lebih besar yang membuatnya perlahan berdiri. Dendam. Janji yang ia buat untuk membalas perbuatan orang yang telah mencelakainya dan merenggut anaknya. Dengan langkah pelan, meskipun kakinya masih sedikit sakit, Emily keluar dari kamar.
Emily terbangun dari tidurnya kala mentari menyelinap masuk melalui celah tirai. Ia menggeliat, menikmati suasana itu sejenak. “Selamat pagi,” bisik William, menyadari Emily sudah bangun. Seketika itu Emily membuka matanya. Ia pun tersenyum melihat Wiliam yang lagi-lagi sudah bangun lebih cepat darinya. Ada pemandangan yang indah, luar biasa. William selesai mandi, menggunakan handuk di pinggangnya. Otot pria itu terlihat jelas, Emily pun makin mengangumi Wiliam di dalam hatinya. “Kau masih di sini?” tanya Emily. Mendengar itu, William mengerutkan keningnya. “Memangnya aku harus di mana?”“Beberapa waktu lalu, setiap bangun tidur kau sudah tidak ada,” balasnya. Mendengar itu, William pun hanya bisa tersenyum kelu. Ada sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan kepada Emily. Emily perlahan bangkit
Malam itu, William pun mulai menceritakan kisah Ibunya yang sebatas ia tahu. Emily mendengarkan dalam diam, matanya penuh dengan rasa penasaran. “Ibuku berasal dari keluarga Belzour,” William memulai. “Dulu, keluarga mereka adalah salah satu pembisnis besar di bidang properti. Ibuku bertemu dengan Ayahku serta orang tuamu, dan juga ibunya Hendrick di kampus yang sama.” Emily mengerutkan kening. “Jadi Ibunya Hendrick juga?” William mengangguk. “Ayahku sengaja mendekati Ibuku karena tahu bahwa keluarganya kaya. Setelah lulus kuliah, mereka menikah, dan semuanya terlihat berjalan lancar pada awalnya.” Emily bisa mendengar nada pahit dalam suara William. “Ibuku kemudian mendirikan bisnis elektronik dengan dukungan keluarganya secara penuh. Tapi ia juga membantu Ayahku membangun perusahaannya sendiri, memasok dana dan mendukung segala kebutuhannya.” Emily semakin menyadari bahwa William bukan hanya pria biasa.