Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka.
Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga kehangatan yang datang dari sisi tempat tidur. Wajah William perlahan memerah tanpa ia sadari. Emily, yang sekilas melihat perubahan itu, mengernyit heran. “William, kau baik-baik saja?” tanyanya sambil bangkit, mendekatkan punggung tangannya ke dahi William untuk memeriksa suhu tubuhnya. William tersentak kecil, berusaha menenangkan dirinya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, meski jelas suaranya terdengar tidak biasa. “Kalau begitu, kenapa wajahmu memerah?” tanya Emily lagi, kali ini lebih penasaran. William menghela napas pelan, mencoba memberikan alasan yang tidak mencurigakan. “Benarkah? Mungkin... pendingin ruangan kurang terasa dingin. Bisa kau tambahkan suhunya sedikit?” Emily mengerutkan alis. “Tapi sudah cukup dingin untukku. Kalau terlalu dingin nanti aku kedinginan.” William hanya tersenyum tipis, tidak mengatakan apa pun. Meski merasa berat hati, akhirnya bangkit dan menyesuaikan suhu pendingin ruangan sesuai permintaan William. Pemilik rumah adalah raja, ia pun harus tahu diri. Saat kembali ke tempat tidur, Emily melirik William dengan bingung. Pria itu memang buta, tetapi mengapa ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekurangan fisik itu? Nampak seperti orang yang normal. Ah, tidak mungkin. Emily menggelengkan kepalanya, mencoba menyingkirkan pikiran aneh yang mulai muncul. “Selamat malam, William,” gumam Emily, berbaring dengan hati yang masih berdebar karena perasaan campur aduk yang tidak ia pahami. William tersenyum samar, meskipun matanya tetap terpejam. “Selamat malam, Emily. Tidurlah dengan tenang.” Malam semakin larut, suhu ruangan terasa menusuk meski selimut tebal telah membungkus tubuh Emily. Pakaian tidur yang terbuka membuatnya menggigil, dan ia sadar bahwa hawa dingin itu terlalu sulit diabaikan. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati sisi ranjang William dan tanpa sadar masuk ke dalam pelukannya. Hangat, nyaman, dan tidak ingin lepas. William, yang sejak tadi belum bisa tidur, terkejut merasakan tubuh mungil Emily mendekat. Wangi tubuhnya menguar lembut, menggetarkan sesuatu di dalam hati William. Dalam pencahayaan redup, senyum kecil terukir di wajah pria buta itu. “Dia benar-benar tidak waspada sama sekali, ya?” bisiknya. Ia tahu Emily mungkin hanya mencari kehangatan, tapi tetap saja, kedekatan ini membuat jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin, jika Emily tidak tidur lelap, ia pasti bisa mendengarnya. Tangan William bergerak perlahan, seakan takut menyadarkan Emily. Ia merapatkan pelukan, mencoba memberikan kenyamanan bagi wanita yang ada di pelukannya itu. Namun, dalam diam, perasaannya semakin tak terbendung. Bagaimana William bisa tidur dengan situasi seperti ini? Emily merasa tubuhnya hangat dan nyaman, semakin mengeratkan pelukannya. Kakinya naik memeluk kaki William. Ia memejamkan matanya lebih dalam, tanpa menyadari bahwa detak jantung pria yang memeluknya berdebar tak karuan. William tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, meski ia tetap berusaha menahan gejolak di hatinya. “Tidurlah yang nyenyak, Emily,” bisiknya pelan, memastikan suaranya tidak membangunkan Emily. Lelah terus merasakan gugup, William mencoba menutup matanya. Namun, sesuatu terjadi. Srett! “Ugh!” keluh William. Kaki Emily bergerak, menindih bagian intinya. William memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Perlahan menurunkan kaki Emily, berharap wanita itu tidak bangun. “Tenangkan dirimu, William...” ucapnya, pelan sekali. Setelah pergulatan sengit dengan pikirannya sendiri dan Emily yang di bawah alam sadar, akhirnya William pun mulai tertidur. **** Emily membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang tidak biasa di sekelilingnya. Saat kesadarannya sepenuhnya kembali, ia terkejut mendapati dirinya berada di ujung sisi tempat tidur William. Namun, yang lebih mengejutkan adalah posisi tubuhnya, kaki dan tangannya melingkar erat memeluk pria itu, seolah-olah ia tidak tahu malu. “A–apa ini?” Wajah Emily memerah, malu. Segera Emily melepaskan pelukannya, tapi gerakannya malah membuat William terbangun. “Emily?” suara lembut William terdengar, bercampur kantuk. Emily tersentak, lalu buru-buru menjauh sedikit. “Aku… maafkan aku!” katanya terbata-bata, wajahnya tak mampu menutupi rasa malunya. William mengerutkan alis, meski ia tidak bisa melihat, ia merasakan Emily bergerak dengan canggung. “Ada apa, Emily? Kau terdengar panik.” Emily menggelengkan kepala meski tahu William tidak akan bisa melihat. “Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya… aku tidak sengaja deh pokoknya.” William tersenyum kecil, “Tidak sengaja apa, Emily?” Emily semakin gelagapan. “Aku… aku… hanya bermimpi buruk dan mungkin… tanpa sadar aku memelukmu. Aku tidak bermaksud—” “Sepertinya, memelukku adalah kesalahan bagimu, Emily,” kata William lirih. Kata-kata William membuat Emily terkejut. Tidak bisa begini, William tidak boleh terus salah paham padanya. “Aku tidak menganggap begitu, kok. Aku cuma takut kau tidak nyaman saja. Sumpah deh, William!” William menghela napas ringan, senyumnya masih tergambar di wajahnya. “Sejak kapan kau begitu peduli dengan kenyamanan ku, Emily?” tanya William.Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Emily, kau di sini?” tanya William. Gelagapan, Emily tidak tahu harus mengatakan apa. Ah, tapi dia tidak bisa bohong! William sudah mendengar suaranya tadi. “I–iya, aku baru saja datang, William,” jawab Emily, gugup. “Benarkah?” William tersenyum, membuat Emily merasa malu. “J–jangan tersenyum seperti itu, William! Aku tidak melihat anumu, kok. Sumpah, deh!” “Pft!” William pun menahan tawa, “baiklah, aku percaya padamu.”“Ih!!” Emily menghentakkan kakinya, merasa kesal karena William pasti tidak percaya, dan tengah menggodanya. ****Pagi itu, William dan Emily duduk bersama di meja makan. Emily dengan cekatan menyendokkan makanan ke piring William, lalu ke piringnya sendiri. “Silakan, William,” katanya lembut sambil meletakkan piring di hadapan pria itu. William mengendus aroma makanan di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menebak apa itu. “Emily, makanan apa ini?” Emily menjawab cepat, “Aku memasak ikan segar. Menu sederhana, tapi aku
“Apa kau berniat membunuh Tuan William, Nyonya Emely?!” Pertanyaan itu membuat Emily membeku. Namun, belum sempat Emely bertanya tentang apa maksudnya, Robert sudah berlari menuju ke ruang kerja William. “Kenapa? Apa yang salah dengan ikan ini?” gumam Emily, kebingungan sendiri. Tidak, ini bukan waktunya bingung! Emily segera bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat tersebut. Ia pun ikut berlari menuju ke ruang kerja William. “Tuan William, apa yang anda lakukan?!” tanya Robert. Pria itu terdengar membentak dengan penuh emosi, membuat Emely yang baru diambang pintu membeku. ‘Kenapa Robert kesal begitu,’ pikirnya. Emily segera masuk ke dalam ruangan itu. Dugg! Jantung Emily seperti akan copot. Ia masih berdiri di ambang pintu ruang kerja William, tubuhnya semakin gemetar hebat. Di depan matanya, Will
Emily masih bersimpuh di depan pintu ruang kerja William, air matanya mengalir tanpa henti. Di dalam ruangan, dokter yang juga sahabat William sedang menangani, ditemani oleh beberapa pelayan yang mondar-mandir membawa peralatan dan obat-obatan. Robert berdiri di samping pintu, wajahnya penuh amarah dan ketegasan. “Tetap di sini, Nyonya Emily yang terhormat,” katanya mencemooh.” Jangan coba-coba masuk. Biarkan orang paham apa yang harus mereka lakukan yang menangani ini,” peringatnya dengan nada dingin. Emily hanya bisa mengangguk kecil, tidak mampu melawan kata-kata Robert. Tangannya meremas rok yang ia kenakan, mencoba menahan isak tangis yang keluar semakin keras. Namun, ia tahu bahwa penyesalannya sekarang tidak akan mengubah apa pun. Beberapa waktu kemudian, handle pintu berputar. Emily segera bangkit ketika dokter keluar dari ruangan itu. Dokter itu
Emily duduk di samping William yang masih terbaring lemah. Wajahnya memerah karena pembicaraan yang baru saja mereka lakukan. “Melahirkan keturunan untuk William... artinya, aku dan William harus melakukan itu?” batinnya. William masih menunggu tanggapan dari Emily, jelas tidak bisa membaca situasi kalau Emily tidak bersuara. “Jadi, kau setuju?” tanya William lagi, suaranya tenang namun penuh dengan makna. Emily menelan ludahnya, wajahnya semakin panas. Ia tidak menyangka William akan membicarakan hal ini begitu langsung, apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Namun, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari kesepakatan mereka, bagian dari masa depan mereka bersama. “Aku harus menebus kesalahan besar yang aku lakukan sebelumnya,” batin Emily. “Kau pasti ragu, ya?” ujar William. “Tidak, kok. Aku...” Emily menggigit bi
“Ah, tidak ada, cuma—” Emily melotot kaget dengan dahinya yang mengernyit. “William, kau tahu dari mana kalau aku sedang membaca pesan?” William terdiam sejenak, tersenyum lalu berkata, “Aku mendengar getar ponsel mu. Orang buta memiliki pendengaran yang lebih baik, jangan meremehkannya.” Mendengar itu, Emily pun terdiam. Meski memang kebanyakan seperti itu, anehnya hatinya seperti menolak untuk percaya. Menggelengkan kepalanya, Emily tidak ingin berpikir buruk tentang William dari segi apapun. “Iya, baguslah...” ujar Emily. Kembali ponsel Emily bergetar, pesan dari Hendrick kembali masuk. “Emily Sayangku, kau tidak lupa membawa ku untuk bertemu dengan Paman Xavier tanggal 29 nanti, kan? Aku akan menjemputmu, sudah beli juga pakaian baru untukmu.” “Set perhiasan yang kau mau sudah aku belikan. Anggap ini sebagai permintaan maaf dariku yang tidak memahami mu be
“Kau...” Emily menatap wanita paruh baya itu dengan ekspresi yang sulit digambarkan, terkejut, marah, dan sedikit bingung. Dia adalah sang kepala pelayan! Wanita itu berdiri dengan percaya diri, mengenakan seragam rapi yang mencerminkan kedisiplinannya sebagai kepala pelayan. “Kenapa kau di sini?” tanya Emily, suaranya bergetar, mencerminkan perasaan tidak nyaman yang memenuhi hatinya. Kepala pelayan itu tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Tentu saja, Nyonya Emily. Saya bekerja di sini atas perintah langsung dari Nyonya Besar,” jawabnya dengan nada tegas. Emily terdiam sejenak. Nyonya Besar, nenek William, adalah wanita yang memiliki pengaruh besar dalam keluarga ini. Emily tahu betul bahwa melawan keputusan wanita itu hampir mustahil. ‘Kenapa Neneknya William jadi mulai ikut campur?’ batin Emily. Kepala pelayan melanjutkan, “Lagipula, Nyo
Cup!Glek...William terdiam, hanya bisa menelan ludah karena terkejut. Kecupan di bibir itu terlalu tiba-tiba, William tidak berekspektasi akan hal itu. “Aku mohon, suamiku...” bisik Emily, menggoda. ****Emily datang ke rumah orang tuanya setelah berhasil membujuk dan menenangkan William. Sesampainya di sana, Emily langsung disambut oleh Ibunya, dan kakak laki-lakinya Emily yang bernama Sean. Sore kemarin mereka sudah kembali, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau menemui Emily lebih dulu. Namun, Emily tidak memiliki pilihan lain, dia harus bicara dengan keluarganya. “Datang juga akhirnya anak kesayangan Ibu,” ucap Julia, Ibunya Emily. Emily membiarkan Ibunya memeluk, tapi dia sama sekali tidak ingin membalas pelukan itu karena perasaan kesal yang besar dirasakan terhadap orang tersebut. “Eh, Kenapa Putri kesayangan ibu ini tidak bicara?” tanya Julia, suaran
Andreas melangkah keluar dari ruang observasi dengan ekspresi serius. Ia menarik napas panjang sebelum menghampiri Erika, Merin, dan Ronald yang menunggu di bangku rumah sakit sejak tadi. Mereka jelas terlihat sangat gelisah. Sudah 1 jam lebih, bahakan hampir 2 jam mereka menunggu di sana. Merin langsung berdiri. “Bagaimana hasilnya, Dokter?” Erika dan juga Ronald ikut bangkit untuk mendengarkan penjelasan dari Andreas. Andreas menatap mereka satu per satu. “Saya sudah mendapatkan hasil awal pemeriksaannya,” ucapnya pelan, nada suaranya dingin dan penuh tekanan. “Sama seperti yang anda inginkan tadi, pemeriksaan darahnya.” Ronald meneguk ludah. Erika mencengkram ujung jaketnya. “Dan… hasilnya cocok, bukan?” Andreas menggeleng perlahan. “Tidak. Golongan darah Nona Elle dan Nona Erika berbeda. Tidak kompatibel sama sekali. Bahkan, Nona Elle memiliki golongan darah yang sangat langka, dan tubuhnya tergolong sensitif ter
Di ruang pemeriksaan rumah sakit swasta itu, suasana terasa begitu tegang. Elle masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien, wajahnya agak pucat dan tubuhnya dingin. Seorang dokter muda, mengenakan jas putih dan mengenakan name tag bertuliskan “Dr. Andreas”, berdiri di dekat monitor sambil menatap hasil pemeriksaan awal dengan alis berkerut. “Pasien ini... dalam kondisi tidak sadar dan tidak ada surat persetujuan. Saya tidak bisa melakukan pemeriksaan lanjut, apalagi untuk kecocokan donor organ, tanpa persetujuan atau izin tertulis dari yang bersangkutan,” ucap Dr. Andreas, suaranya tegas tapi tenang. Bagaimanapun, dia tidak boleh terkena masalah karena hal ini. Erika melangkah cepat ke depan, wajahnya dingin. “Kau tahu siapa pamanku, kan? Beliau adalah manajer rumah sakit ini. Kalau kau tidak ingin karirmu berakhir malam ini juga, sebaiknya lakukan saja. Kami hanya meminta pemeriksaa
Elle membuka mata perlahan. Cahaya lampu yang ada dari ruang kerjanya menyambut pandangan yang masih sedikit buram. Tubuhnya terasa pegal, terutama bagian punggung dan leher, efek dari tidur dua jam lebih di sofa yang agak sempit. Namun tak ada keluhan keluar dari bibirnya, hanya helaan napas kecil dan gerakan ringan untuk meregangkan tubuh. Pandangan Elle tertuju pada meja kecil di samping sofa. Di sana telah tersedia segelas air mineral dan sebotol minuman pereda mabuk, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan, “Saya tidak ingin mengganggu istirahat Anda, tapi tubuh Anda perlu perhatian juga. Ada bau alkohol yang terendus pagi tadi, semoga segera membaik. Rose” Elle tersenyum tipis. Rose, asisten sekretarisnya, memang selalu memahami waktunya, tidak hanya sebagai bawahan yang andal, tapi juga sebagai seseorang yang tahu kapan harus diam dan kapan harus segeralah bertindak. “Dia benar-benar bisa membaca situasi bahkan saat aku tid
Pertanyaan dari Lavine membuat Elle mendesah sebal. “Kau sedang mengejek atau apa?” “Pft!” Lavine menahan tawanya. “Ah, iya maaf kalau kau merasa seperti itu. Aku cuma bertanya saja, kok.” Malas meladeni, Elle memilih untuk diam. “Ya sudah. Kau kan tidak menjawab, jadi aku bawa saja kau pulang ke apartemen ku,” ujar Lavine, santai. Elle menatap dengan kesal. “Siapa yang mau?! Pergi ke gedung MJW, ada sesuatu yang harus aku lakukan di sana.” Lavine terkekeh geli. “Oke oke, maaf... kau ini emosian sekali. Kalau aku kesal, aku bawa saja kau pergi ke kantor catatan sipil.” Sesampainya di depan gedung MJW, mobil Lavine perlahan berhenti. Elle segera membuka pintu namun tidak lupa menoleh sejenak. “Terima kasih sudah mengantarku,” ucapnya singkat namun sopan. Namun bukannya membalas dengan serius, Lavine justru memonyongka
Perlahan Elle membuka matanya saat tirai jendela sedikit bergerak karena hembusan angin sedikit kencang dari pendingin ruangan. Ia mengerang pelan, memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut hebat. Pandangannya masih buram, dan ruangan di sekitarnya terasa asing untuknya, sebuah kamar hotel yang cukup mewah, namun sama sekali tidak familiar untuknya. “Akhhh... di mana aku sekarang?” Ia pun bangkit perlahan, duduk sambil menahan sakit. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot! “Ya ampun!” Elle panik, apalagi ketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya lagi yang semalam. Nyatanya, rasa panik itu tidak berhenti sampai di situ saja. Seketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya bahkan pada bagian bawahnya. Dengan gemetar, ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. “I–ini... apa-apaan?” Ia menoleh perlahan ke arah tempat tidur… dan matanya pun membelalak. Namun yang ia lihat bukan hal yang mengerikan seperti bayangannya, dia Lavine,
Elle menoleh dan tersenyum, tangannya masih saling menggenggam erat dengan tangan Weren. Entah kenapa dia merasa lega karena masih ada orang yang tulus sehingga ia tidak berpikir bahwa orang dari kalangan ekonomi basah tidak semuanya miskin attitude. “Terima kasih, Bibi…” suaranya pelan namun tegas. “Bibi sudah benar-benar peduli, dan karena itu, aku akan berusaha menyudahi semua ini. Aku tidak ingin terus berada dalam lingkaran yang menyakitkan ini.” Weren mengangguk penuh dukungan. “Aku melihatnya... Kau gadis yang baik dan kuat, Elle. Aku tahu itu dari awal. Tapi menjadi kuat bukan berarti terus bertahan di tempat yang membuatmu tersiksa hanya karena perasaan bersalah.” Elle terdiam. Kata-kata itu menampar lembut kesadarannya yang selama ini dia abaikan. Weren melanjutkan, “Ronald memang anak yang baik, tapi sejak kecil dia sudah terbiasa menurut pad
Pada akhirnya, yang bisa Elle lakukan adalah menuruti apa maunya Ronald. Hatinya kesal, tapi apa boleh buat. “Ah, maaf, Sayang. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Tapi, apa salahnya kau membantu Erika? Bagaimanapun, dia sudah banyak membantuku.” Begitulah yang diucapkan Ronald tadi. Elle sudah mencoba untuk memberitahu, “Erika sama sekali tidak berkontribusi untuk semua ini!” Namun, Merin mematahkannya dengan berkata, “Terus? Kau mau bilang kalau kau yang sudah membuat kesuksesan ini? Hemp! Anakku bisa naik jabatan juga karena kerja keras dan kepintarannya. Kafe dan restoran milik kami juga sukses karena rasa makanan dan kerja keras kami yang dibantu Erika secara diam-diam!” Erika nampak canggung, namun senyum lebar di wajahnya itu seolah menyukai pengakuan itu. Hanya bisa tersenyum, Elle sudah tidak bisa menolong kebodohan Merin dan Ronald. Memang seorang manager utama Ayahnya Erika bisa bertindak sejauh itu? Hah... tentu saja tidak. Bisa menyewa gedung hotel m
Elle melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, menyusuri trotoar yang lengang. Malam mulai turun, dan langit tampak kelabu seperti hatinya. Ia tahu ia bisa saja menolak, tapi hutang budi kepada Ronald dan perasaan yang masih tertambat membuatnya tidak bisa menolak permintaan Merin, sekalipun itu menyakitkan untuknya. Ia tiba di toko buah langganan dan mulai memilah buah kiwi yang tampak segar. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya melayang. Belum lagi dia merasa lelah dan mengantuk sekali. “Kenapa aku masih bertahan seperti ini, sih?” batinnya. “Lagi-lagi kau sendiri, cantik?” Suara lelaki itu memecah lamunannya. Elle menoleh, dan menghela napas begitu mengenali suara yang bicara, tidak asing juga. Lavine. Pria tinggi berwajah tampan itu tersenyum miring, mengenakan jas santai dengan rambut sedikit berantakan, khas pria Casanova yang tahu diri
Tiga bulan telah berlalu. Waktu yang terasa cepat bagi Elle, namun tanpa disadari perlahan menumpuk luka-luka kecil yang ia simpan rapi di dalam hatinya. Ia menyaksikan Ronald tersenyum lebih sering, dengan mata yang berbinar saat bercerita tentang kesuksesan kafenya yang kini merambah ke bisnis restoran. Setiap malam, setelah pulang kerja, Ronald menghitung omset dengan mata berbinar, penuh rasa puas. “Sepertinya, sebentar lagi kita bisa buka cabang di pusat kota,” kata Ronald suatu malam, matanya menatap grafik yang naik tajam di layar laptopnya. “Ibu juga makin semangat. Dia bahkan sudah bilang ingin beli mobil baru.” Elle hanya tersenyum. “Itu bagus. Kau memang sudah bekerja keras, kau dan Ibumu pantas mendapatkannya.” Ronald tertawa kecil. “Kau juga sudah banyak membantuku. Terimakasih banyak, ya.” Tapi di balik pujian itu, Ronald tak pernah tahu sebera