Cup!
Glek...William terdiam, hanya bisa menelan ludah karena terkejut.Kecupan di bibir itu terlalu tiba-tiba, William tidak berekspektasi akan hal itu.“Aku mohon, suamiku...” bisik Emily, menggoda.****Emily datang ke rumah orang tuanya setelah berhasil membujuk dan menenangkan William. Sesampainya di sana, Emily langsung disambut oleh Ibunya, dan kakak laki-lakinya Emily yang bernama Sean.Sore kemarin mereka sudah kembali, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau menemui Emily lebih dulu.Namun, Emily tidak memiliki pilihan lain, dia harus bicara dengan keluarganya. “Datang juga akhirnya anak kesayangan Ibu,” ucap Julia, Ibunya Emily. Emily membiarkan Ibunya memeluk, tapi dia sama sekali tidak ingin membalas pelukan itu karena perasaan kesal yang besar dirasakan terhadap orang tersebut. “Eh, Kenapa Putri kesayangan ibu ini tidak bicara?” tanya Julia, suaranRobert mengetuk pintu ruang kerja William dengan pelan, tapi sebelum mendengar jawaban, ia langsung membuka pintu dan masuk. William, yang sedang duduk membelakangi pintu, memutar kursi kulitnya dan menatap Robert dengan tatapan tenang. “Kau sudah datang,” ucap William singkat, dengan nada yang khas dingin namun tegas. Robert mengangguk hormat, lalu menyerahkan dokumen di tangannya. “Tuan, ini laporan terbaru terkait proposal kerja sama dengan Tuan Xavier.” William mengambil dokumen itu dengan satu tangan dan membukanya. Sementara matanya menatap dengan seksama setiap barisan kalimat yang tertera pada dokumen tersebut. “Ngomong-ngomong, apa kabar Anda hari ini, Tuan?” tanya Robert, penuh perhatian. William tersenyum tipis. “Sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah bertanya, Robert. Apa kau tidak menanyakan kabar mataku?” Robert mendesah sebal, “Tidak perlu, Saya sedang malas.” William tersenyum
Emily tersentak kaget, “Ah, benar!” ia pun terkekeh. “Ternyata, ada bagusnya juga kau buta ya, William?” Mendengar itu, William pun hanya tersenyum tipis. Namun, saat Emily tak memperhatikan ia pun sempat melirik ke arah lain, tempat di mana Elizabeth sedang berbincang. Sejenak tatapannya aneh, William kembali fokus dengan Emily. “Ya sudah. Ayo kita masuk ke kamar, William!” Emily menggandeng William dengan hati-hati, membantunya masuk ke kamar. Ia menuntunnya untuk duduk di tepi tempat tidur, memastikan pria itu nyaman sebelum berkata, “Aku akan mandi sebentar. Jangan ke mana-mana, ya.” William mengangguk pelan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Jika begitu, aku jadi ingin membuktikan kalau aku pria dewasa.” Emily tertawa kecil sebelum berbalik menuju kamar mandi. Begitu pintu tertutup dan suara air mulai terdengar, senyum di wajah William memudar. Dia menghembus
“Seumur hidup, aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami ini,” gumam Emily. Emily menunduk, wajahnya semakin merah padam, sementara tangannya gemetar saat memegang spons mandi. Ia dengan hati-hati menggosok dada William di bawah guyuran air shower. Kehangatan kulit William bercampur dengan percikan air, membuat Emily semakin gugup. William berdiri diam, membiarkan air menyapu tubuhnya, tetapi matanya yang tajam yang seharusnya ‘kosong’ tidak lepas dari wajah Emily. Diam-diam, ia mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah istrinya. Wajah merah itu, gigitan kecil di bibir bawahnya, dan tatapan canggungnya, semua itu membuat Emily terlihat begitu imut di mata William. Tanpa peringatan, William meraih tangan Emily, menariknya hingga tubuh wanita itu terhuyung masuk ke dalam pelukannya. “Astaga, William!” teriak Emily kaget. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi pelukan William terlalu erat. "
“Benar-benar seperti binatang buas,” bisik Emily. Ia pun menggeser tubuhnya perlahan di atas ranjang, menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya yang terasa lelah.Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di pinggang. Setiap gerakan kecil terasa seperti protes dari otot-ototnya yang kelelahan.“Aduhhh,” lenguh Emily. Di sebelahnya, William berbaring santai dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Emily meliriknya dengan tatapan penuh rasa sebal. “Katanya tadi tubuhmu lemas,” gumam Emily dengan nada pelan namun sarat sindiran. “Bahkan membuka kancing baju saja kau bilang tidak bertenaga. Tapi lihat saja apa yang baru saja kau lakukan…” William tetap tersenyum kecil, seolah-olah tidak mendengar sindiran itu. “Maaf,” ucapnya ringan, suaranya tenang seperti biasa. “Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba tubuhku pun
William berjalan perlahan ke ruang tengah dengan tongkat di tangannya. Langkahnya tenang, namun pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi di pesta perayaan tahunan nanti. Di sana, Robert sudah menunggunya, berdiri dengan tangan bersilang di depan dada, ekspresi wajahnya serius. “Tuan William,” bisik Robert saat William mendekat. “Anda harus tetap memberikan sinyal waspada, terutama terhadap mereka yang kelihatan baik tapi sebenarnya munafik. Jangan lengah.” William tersenyum tipis, mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir kekhawatiran Robert. “Jangan khawatir terlalu banyak, Robert. Aku tahu bagaimana caranya menghadapi mereka,” jawabnya dengan tenang. Namun, percakapan mereka terputus ketika kepala pelayan tiba-tiba datang bersama Elizabeth. William dan Robert saling berpandangan, bingung dengan kedatangan mereka. “Maaf mengganggu, Tuan,” kata kepala pelayan. “Atas perintah Nyonya Besar
“Wah, jalang sialan ini sudah datang,” gumam Emily kesal. Menarik lengan William, Emily berbisik kepada pria itu, “Tinggalkan aku sendiri dulu, ya. Aku harus meladeni siluman kalajengking ini.”William merasa berat, namun dia tetap menganggukkan kepalanya. “Emily! Akhirnya aku bertemu denganmu,” sapa Jessica, suaranya terdengar ramah namun penuh kepura-puraan. Emily menoleh, matanya yang tajam menangkap raut wajah Jessica. Hanya tersenyum tipis, Emily harus menahan perasaan jengkelnya. “Kenapa sulit sekali menghubungimu akhir-akhir ini? Aku sampai rindu, tahu,” lanjut Jessica, nada manisnya semakin terdengar dipaksakan. Emily menghela napas, kemudian membalas dengan senyuman tipis. “Yah, kurasa itu adalah masa terbaikku, Jessica. Jauh dari... orang-orang yang tampak seperti kelinci lucu, tapi ternyata tikus got.” Jessica tersenyum kaku mendengar sindiran itu. Amarahnya mulai memuncak, namun dia beru
“Tidak. Emily tidak mungkin mengetahuinya. Aku yakin, ini pasti perbuatan William. Pria itu sudah mempengaruhi Emily,” jawab Hendrick. Emily tidak mungkin secepat itu berubah pikiran, mustahil. Pada dasarnya, Emily adalah wanita yang naif, dan bodoh. Sudah bertahun-tahun mereka mengenal, sejak mereka kecil. Hendrick merasa lebih mengenal Emily dibanding siapapun. Jessica terdiam. Akan tetapi, otaknya menolak mempercayai ucapan Hendrick. Di saat itu, kedua orang tua Emily datang, bersama Sean. Melihat itu, Hendrick langsung mendekati mereka, menyapa dengan sopan, ramah, dan hangat seperti biasanya. “Paman, Bibi, Sean, kalian sudah datang?” ucap Hendrick, mengulurkan tangannya. Julia dan Johan menyambut uluran tangan Hendrik dengan perasaan bahagia, begitu juga dengan Sean. “Kau sudah lama datangnya, Hendrick?” tanya Johan. “Ah, belum lama ini, Paman,” jawab Hendrick
“Kau sama saja. Sudah aku bilang, Hendrick adalah orang licik! Sekarang, terserah padamu maunya apa.” Emily melangkah cepat meninggalkan Sean yang masih terpaku di lorong sepi itu. Rasa kecewa memenuhi hatinya, tetapi dia menolak untuk memperlihatkan kelemahannya. Dia sudah cukup bersabar. Jika Sean dan orang tua mereka memilih untuk terus buta dan membela Hendrick, maka itu adalah keputusan mereka. Emily tidak akan lagi mencoba meyakinkan mereka. “Emily, tunggu!” teriak Sean, langkah kakinya mendekat. Namun, Emily berhenti sejenak, menoleh, dan menepis tangan Sean yang mencoba menahannya. ”Aku lelah, Kak,” katanya dingin. “Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi kalian tetap tidak mau mendengar. Jadi jangan minta aku untuk terus bertahan menghadapi kebohongan Hendrick. Jika kau ingin hancur bersamanya, silakan.” Sean terdiam, tidak bisa menemukan kata-kata yan
William kembali ke rumah malam itu. Dia mendapatkan informasi dari penjaga gerbang tentang kedatangan Nyonya besar beberapa saat lalu, tapi dia tidak terlalu ingin mempedulikannya. Begitu sampai di kamar, William tidak mendapati Emily di sana. Ia pun menjadi panik. Jangan-jangan Emily kabur. Biasanya Emily akan berada di sana setiap William pulang. “Emily! Emily!” panggil William. Pria itu benar-benar harus tetap berakting buta, padahal dia benar-benar sangat panik. Saat William keluar dari kamar, seorang pelayan rumah datang menghampiri dan berbicara dengan sopan, “Nyonya Emily berada di kamar ujung, Tuan. Siang tadi ada teman Nyonya Emily. Sejak saat itu, Nyonya Emily belum keluar dari kamar itu.” William menganggukkan kepalanya. Dengan gerakan tangan, William meminta pelayan itu pergi. Cukup lega mendengarnya. Setelah yakin tidak ada orang lagi, William berjalan menu
Sore itu, sebelum pulang ke rumah, William melangkah masuk ke sebuah restoran mewah. Di ruang VVIP, Tuan Xavier sudah menunggunya dengan ekspresi tenang, meskipun ada sedikit kelelahan yang terpancar di wajah pria itu. William duduk dan mereka saling bertukar sapa, membahas hal-hal ringan sebelum akhirnya William memutuskan untuk langsung bicara pada intinya. “Beberapa hari ini Emily sering menghubungi anda, Paman,” kata William dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? Jika boleh tahu, apa yang diobrolkan Emily hingga sesering itu dia menghubungi anda?” Tuan Xavier menghela napas perlahan, meletakkan cangkir tehnya ke atas meja dengan gerakan lembut. “Beberapa waktu terakhir, Emily mengalami terlalu banyak kejutan dalam hidupnya, William. Aku yakin kau pun menyadarinya. Tekanan yang dia rasakan tidak kecil. Dia pasti merasa stres dan frustrasi belakangan ini.” William mengangguk pelan.
Elizabeth menatap keluar jendela mobil dengan gelisah. Sudah lebih dari satu jam perjalanan, tetapi mereka masih belum sampai. Jalanan semakin sepi, hanya ada pepohonan di sisi kiri dan juga kanan. Tangannya mengepal erat. Dia sudah beberapa kali bertanya kepada sopir yang mengantarnya, tapi pria paruh baya itu hanya diam, seolah tidak mendengarkan. “Hei! Aku bertanya, kita mau ke mana?” bentaknya, mulai kehilangan kesabaran. Sopir itu tetap tidak menjawab. Frustrasi, Elizabeth menatap gagang pintu. Jika dia tidak segera mendapatkan jawaban, dia akan mengambil resiko, loncat dari mobil ini! “Aku bersungguh-sungguh! Jika kau tidak menjawab, aku akan keluar dari mobil sekarang juga!” ancamnya.sopir itu akhirnya menghela napas dan berbicara dengan nada tenang, “Aku hanya diperintahkan Untuk mengantarmu menemui ibumu. Jadi, tetaplah untuk tenang.”Elizabeth terdiam. Ibu? Pikirann
Emily mengepalkan tangannya erat. Dia hanya bisa menatap punggung Elizabeth yang berjalan menjauh, semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu gerbang rumah itu. Mata Emily memanas, tapi dia menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, tetapi melihat Elizabeth yang biasanya selalu menunjukkan wajah palsu pergi dengan kesan yang nampak marah dan kecewa, Emily pun menjadi gusar. Sementara itu, Elizabeth menundukkan kepalanya, menahan isak tangis yang semakin berat. Dia benar-benar tidak rela meninggalkan rumah itu. Tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa dekat dengan William. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Robert telah mengancamnya, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan bukti yang cukup untuk menghancurkan hidupnya. Dia masih belum tahu di
Pagi itu, suasana di kamar mandi rumah William terasa begitu hangat. Emily dan William tengah berendam bersama di bathtub yang penuh busa. Tawa kecil Emily menggema ketika William dengan lembut menggosok punggungnya. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?” tanya Emily sambil memutar kepala untuk melihat William. William tersenyum tipis, membalas, “Tentu saja. Jarang-jarang aku bisa mandi bersama istriku. Rasanya... aku jadi ingin setiap hari.” Emily tertawa pelan, menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak mungkin serius, kan?”“Serius. Dulu, saat kecil kita juga sering mandi di kolam renang bersama, sayangnya saat itu aku masih sangat polos dan hanya tersenyum bahagia melihat balita menggunakan pakaian renang.”Emily pun terkekeh. Setelah selesai mandi, mereka saling membantu. Emily memakaikan dasi untuk William, sementara William membantu Emily memilih dress santai untuk dikenakan di rumah.
William melangkah masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, seperti biasanya saat dia sedang pulang ke rumah. Namun, kali ini, dia melihat sesuatu yang membuat alisnya sedikit mengernyit. Emily yang tengah memegang ponselnya tiba-tiba menyembunyikan di balik punggung saat melihat dirinya masuk. Emily tersenyum, berusaha terlihat senang Mungkin. Dia segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah William. “Sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa. William menutup pintu dan mengangguk pelan. Dia ingin bertanya tentang ponsel yang disembunyikan Emily, tapi melihat wajah istrinya yang lebih cerah dibanding beberapa hari terakhir, ia memutuskan untuk menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Emily langsung memeluk William erat. William terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu. Sudah berapa waktu ini Emily lebih banyak diam, dan dia yang mengambil inisiatif untuk memeluknya lebih dulu
Pagi itu, di sebuah kafe, tempat Azura bekerja. Azura menatap Robert dengan tatapan tajam, tangannya menyilang di depan dada, sementara proposal di hadapannya tetap tak tersentuh. “Dengar, Tuan Rodet atau Robert, dan... siapa lah itu,” katanya dengan nada datar. “Emily bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup tua, bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Dan aku? Aku bukan pengasuh atau bodyguard. Aku ini pelayan cafe biasa, dan aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang ini.” Robert tetap tenang, meski dia bisa merasakan penolakan keras dari Azura. “Aku tentu saja mengerti posisi anda, Nona Azura. Tapi ini bukan hanya soal pekerjaan saja. Ini soal Nyonya muda Emily. Lagi pula, bekerja di kafe seperti ini tidak mungkin bisa menjamin masa depan anda.”Mendengar itu, Azura pun makin menatap Robert dengan tatapan kesal. Ia memiliki cerita tidak mengenakan dengan para orang kaya, itu cukup membuatnya muak. Walaupun Emily adalah
Johan dan Julia mencoba untuk menemui Emily, namun kesulitan karena baik penjaga gerbang maupun pelayan rumah tidak ada yang memberikan akses. Nyonya besar juga dilarang untuk datang oleh William. Seolah tahu apa yang akan terjadi, William ingin mengantisipasi semua masalah dari luar. Emily sedang kacau belakangan ini, akan mudah baginya dipengaruhi, dan berpikir buruk. Sementara itu, di dalam kamar, Emily menghela napasnya. Sungguh, rasanya bosan sekali terus berada di dalam kamar seperti ini. Akhirnya, Emily memutuskan untuk berjalan-jalan keliling rumah dan taman saja guna mengusir rasa bosan itu. “Aku ingin pergi ke pusat belanja. Makan es krim, beli baju, ahhh... pokoknya apapun yang bisa aku lakukan di sana, deh!” gumamnya. Namun, langkah kaki Emily terhenti saat mendengar suara Elizabeth tengah bicara di telepon. Emily mengerutkan keningnya. “Elizabeth... kenapa dia ada d
Malam itu, di sebuah apartemen. Suara barang pecah belah menggema di dalam kamar Hendrick. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh emosi. Ia baru saja menerima kabar bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, kehancuran bisnisnya, rusaknya reputasinya, dan kekalahannya adalah ulah William dan Emily. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkannya. Hendrick menatap pantulan dirinya di cermin yang kini retak akibat lemparannya. Matanya merah penuh kemarahan. “William... Emily,” gumamnya, “kalian pikir, kalian benar-benar sudah menang?” Ia menyeringai dingin. Tidak. Ini belum berakhir. Dia akan menghancurkan mereka, satu persatu. Jika Emily meninggalkan William, pria itu pasti akan hancur. Atau lebih baik lagi, jika ia bisa membuat mereka saling membenci, itu akan menjadi hukuman terbaik. “Tidak sulit,” Hendrik tertawa. Ia tahu Emily bukan