“Seumur hidup, aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami ini,” gumam Emily.
Emily menunduk, wajahnya semakin merah padam, sementara tangannya gemetar saat memegang spons mandi. Ia dengan hati-hati menggosok dada William di bawah guyuran air shower. Kehangatan kulit William bercampur dengan percikan air, membuat Emily semakin gugup. William berdiri diam, membiarkan air menyapu tubuhnya, tetapi matanya yang tajam yang seharusnya ‘kosong’ tidak lepas dari wajah Emily. Diam-diam, ia mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah istrinya. Wajah merah itu, gigitan kecil di bibir bawahnya, dan tatapan canggungnya, semua itu membuat Emily terlihat begitu imut di mata William. Tanpa peringatan, William meraih tangan Emily, menariknya hingga tubuh wanita itu terhuyung masuk ke dalam pelukannya. “Astaga, William!” teriak Emily kaget. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi pelukan William terlalu erat. "“Benar-benar seperti binatang buas,” bisik Emily. Ia pun menggeser tubuhnya perlahan di atas ranjang, menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya yang terasa lelah.Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di pinggang. Setiap gerakan kecil terasa seperti protes dari otot-ototnya yang kelelahan.“Aduhhh,” lenguh Emily. Di sebelahnya, William berbaring santai dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Emily meliriknya dengan tatapan penuh rasa sebal. “Katanya tadi tubuhmu lemas,” gumam Emily dengan nada pelan namun sarat sindiran. “Bahkan membuka kancing baju saja kau bilang tidak bertenaga. Tapi lihat saja apa yang baru saja kau lakukan…” William tetap tersenyum kecil, seolah-olah tidak mendengar sindiran itu. “Maaf,” ucapnya ringan, suaranya tenang seperti biasa. “Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba tubuhku pun
William berjalan perlahan ke ruang tengah dengan tongkat di tangannya. Langkahnya tenang, namun pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi di pesta perayaan tahunan nanti. Di sana, Robert sudah menunggunya, berdiri dengan tangan bersilang di depan dada, ekspresi wajahnya serius. “Tuan William,” bisik Robert saat William mendekat. “Anda harus tetap memberikan sinyal waspada, terutama terhadap mereka yang kelihatan baik tapi sebenarnya munafik. Jangan lengah.” William tersenyum tipis, mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir kekhawatiran Robert. “Jangan khawatir terlalu banyak, Robert. Aku tahu bagaimana caranya menghadapi mereka,” jawabnya dengan tenang. Namun, percakapan mereka terputus ketika kepala pelayan tiba-tiba datang bersama Elizabeth. William dan Robert saling berpandangan, bingung dengan kedatangan mereka. “Maaf mengganggu, Tuan,” kata kepala pelayan. “Atas perintah Nyonya Besar
“Wah, jalang sialan ini sudah datang,” gumam Emily kesal. Menarik lengan William, Emily berbisik kepada pria itu, “Tinggalkan aku sendiri dulu, ya. Aku harus meladeni siluman kalajengking ini.”William merasa berat, namun dia tetap menganggukkan kepalanya. “Emily! Akhirnya aku bertemu denganmu,” sapa Jessica, suaranya terdengar ramah namun penuh kepura-puraan. Emily menoleh, matanya yang tajam menangkap raut wajah Jessica. Hanya tersenyum tipis, Emily harus menahan perasaan jengkelnya. “Kenapa sulit sekali menghubungimu akhir-akhir ini? Aku sampai rindu, tahu,” lanjut Jessica, nada manisnya semakin terdengar dipaksakan. Emily menghela napas, kemudian membalas dengan senyuman tipis. “Yah, kurasa itu adalah masa terbaikku, Jessica. Jauh dari... orang-orang yang tampak seperti kelinci lucu, tapi ternyata tikus got.” Jessica tersenyum kaku mendengar sindiran itu. Amarahnya mulai memuncak, namun dia beru
“Tidak. Emily tidak mungkin mengetahuinya. Aku yakin, ini pasti perbuatan William. Pria itu sudah mempengaruhi Emily,” jawab Hendrick. Emily tidak mungkin secepat itu berubah pikiran, mustahil. Pada dasarnya, Emily adalah wanita yang naif, dan bodoh. Sudah bertahun-tahun mereka mengenal, sejak mereka kecil. Hendrick merasa lebih mengenal Emily dibanding siapapun. Jessica terdiam. Akan tetapi, otaknya menolak mempercayai ucapan Hendrick. Di saat itu, kedua orang tua Emily datang, bersama Sean. Melihat itu, Hendrick langsung mendekati mereka, menyapa dengan sopan, ramah, dan hangat seperti biasanya. “Paman, Bibi, Sean, kalian sudah datang?” ucap Hendrick, mengulurkan tangannya. Julia dan Johan menyambut uluran tangan Hendrik dengan perasaan bahagia, begitu juga dengan Sean. “Kau sudah lama datangnya, Hendrick?” tanya Johan. “Ah, belum lama ini, Paman,” jawab Hendrick
“Kau sama saja. Sudah aku bilang, Hendrick adalah orang licik! Sekarang, terserah padamu maunya apa.” Emily melangkah cepat meninggalkan Sean yang masih terpaku di lorong sepi itu. Rasa kecewa memenuhi hatinya, tetapi dia menolak untuk memperlihatkan kelemahannya. Dia sudah cukup bersabar. Jika Sean dan orang tua mereka memilih untuk terus buta dan membela Hendrick, maka itu adalah keputusan mereka. Emily tidak akan lagi mencoba meyakinkan mereka. “Emily, tunggu!” teriak Sean, langkah kakinya mendekat. Namun, Emily berhenti sejenak, menoleh, dan menepis tangan Sean yang mencoba menahannya. ”Aku lelah, Kak,” katanya dingin. “Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi kalian tetap tidak mau mendengar. Jadi jangan minta aku untuk terus bertahan menghadapi kebohongan Hendrick. Jika kau ingin hancur bersamanya, silakan.” Sean terdiam, tidak bisa menemukan kata-kata yan
“... I–ini, lagu legendaris terbaik!” “Benar, nadanya yang sulit untuk ditiru bisa dinyanyikan dengan mudah!” “Wah, dia benar-benar hebat rupanya.” Jessica melotot, tak percaya. Nada-nada yang dihasilkan kali ini berbeda. Sebuah melodi indah mengalun, membungkam seluruh ruangan. Semua tamu pun berbisik penuh kekaguman. “Ada sentuhan nada modern, ini keren!” Emily memainkan lagu klasik tahun 1930-an, sebuah lagu yang bercerita tentang kebangkitan setelah keterpurukan. Setiap nada yang dimainkan mengandung emosi yang mendalam, menggetarkan hati para tamu. Ketika Emily mulai bernyanyi, suaranya begitu jernih dan menyentuh. Liriknya penuh makna, seolah menggambarkan perjuangannya sendiri. Para tamu yang sebelumnya mencela kini terpana, terdiam, bahkan ada beberapa yang meneteskan air mata karena keindahan musik dan lirik yang dibawakan Emily. Jessica kini tampak semakin kesal. Senyum sinis di wajahnya menghilang, tergantikan oleh rasa tidak nyaman. Saat
Alura dan kekasihnya saling menatap dengan ratapannya begitu mendalam. “Kau...” Alura menahan kesalahannya terhadap kekasihnya itu, kembali fokus kepada Emily. “Emily, sepertinya sekarang kau ini Jadi ketularan buta,” sarkas Alura. Mendengar itu, Emily pun melotot tajam. William terdiam, sudah terlalu terbiasa mendengarnya dihina seperti sekarang ini. Tuan Xavier hanya mengamati, tidak ingin ikut campur urusan anak muda. “Emily, Aku adalah sahabatmu, tentu saja aku ingin yang terbaik untukmu,” ucap Alura. “Tapi, apa yang kau katakan tadi sudah benar-benar sangat keterlaluan!” Emily pun mendesah Frustrasi. Sekarang, barulah dia sadar kalau dulu dia berada di lingkaran setan. Tidak ada yang bisa melihat kebenaran, semuanya selalu berpihak kepada Hendrick “Alura,” katanya santai, namun ekspresinya penuh ancaman. “Asal kau tahu, aku sama sekali tidak pernah merasa otakku se–waras i
Setelah mengobrol dengan santai di restauran, Emily dan William pun kembali ke rumah. William dan Tuan Xavier juga sempat juga membicarakan hal serius tentang bisnis, kedepannya mereka berdua akan bekerja sama untuk saling menguntungkan. Emily dan William bersiap masuk ke kamar. Namun, tiba-tiba saja Elizabeth menghentikan langkah mereka. “Tuan, sebelum anda masuk ke kamar, apakah boleh saya memeriksa keadaan anda?” tanyanya. Mendengar itu, Emily pun memutar bola matanya, jengah. Di ruang tengah rumah, Elizabeth duduk di sebelah William dengan peralatan medis kecil di tangannya. Dia memeriksa denyut jantung William dengan stetoskop, kemudian beralih memeriksa denyut nadinya. Wajah Elizabeth terlihat serius, seolah benar-benar fokus pada tugasnya. Namun Emily duduk sambil melipat tangan di dada, menyaksikan adegan itu dengan tatapan tidak suka. Suaminya disentuh oleh wanita lain, bahkan d
Di dalam kafe yang biasanya ramai oleh percakapan pelanggan dan denting peralatan makan, suasana hari ini begitu sunyi. Merin duduk di sudut dapur dengan wajah kusut, air matanya terus mengalir. Ronald berdiri tak jauh dari ibunya, mencoba menenangkan dengan suara pelan meskipun kegelisahan juga tampak jelas di wajahnya. “Ibu, sudahlah... jangan terlalu dipikirkan. Mungkin besok akan lebih baik dari hari ini,” ucap Ronald dengan suara pelan, berusaha menyuntikkan harapan meski dalam hatinya pun ragu. Merin menggeleng lemah. “Kita sudah mengeluarkan modal besar-besaran dan sekarang semuanya jadi sia-sia. Pesanan itu batal, bahan-bahan tidak bisa dikembalikan, dan restoran hari ini sepi seperti tidak berpenghuni,” keluhnya lirih, lalu kembali menangis tertahan. Ronald menarik napas dalam-dalam. Ia menatap layar ponselnya yang kosong dari notifikasi para pelanggan.
Di dapur restoran, Merin mondar-mandir dengan wajah yang tegang. Para pegawai hanya saling berpandangan, enggan bersuara karena mereka memahami bahwa Merin sedang dalam keadaan yang emosi. Sudah sejak satu jam yang lalu, Merin gelisah. Telepon genggamnya terus menempel di telinga, namun yang terdengar hanya nada sambung panjang, hingga akhirnya sambungan terputus dengan sendirinya tanpa penjelasan apapun. “Masih belum bisa dihubungi, Bu Merin?” tanya salah satu koki dengan hati-hati. “Sudah dua hari! Dua hari penuh! Dan mereka hanya memberikan uang muka sebesar 5 persennya saja!” jawab Merin dengan nada tinggi, lalu mendesah keras. “Pesanan sebesar ini membutuhkan modal yang. Menurutmu uangnya dari mana? Aku bahkan sudah memesan bahan-bahan mahal dan membayar penginapan untuk timnya!” Pegawai yang bertanya itu pun seketika menutup mulutnya, tidak enak mendengar jawaban dari Merin
Lavine menyandarkan tubuhnya di kursi balkon apartemennya yang menghadap langsung ke kota yang mulai redup diselimuti malam. Di tangan kanannya, sebatang rokok menyala perlahan, mengeluarkan asap tipis yang melayang di udara. Tatapan mata Lavine kosong, menembus langit malam yang berganti suasana sunyi, tapi pikirannya semakin penuh. Ia kembali teringat pada momen siang tadi, ketika ia melihat sendiri Elle dibawa pergi meninggalkan rumah sakit oleh William dan Emily. Ekspresi William begitu masih menahan marah, dan Emily terlihat khawatir sambil terus menggenggam tangan putrinya. Tapi di balik semua peristiwa itu, Lavine justru merasa sangat lega. Bukan karena ia senang Elle dibawa menjauh, tapi karena akhirnya Elle terbebas dari tempat yang perlahan-lahan menghancurkan dirinya. Elle telah menunjukkan hatinya yang amat lembut dan baik, tapi diremehkan seperti itu sangat tidak pantas rasan
William tidak bisa lagi bersabar. Sungguh, kepalanya seperti ingin meledak karena menahan marah di sepanjang perjalanan. Elle mengeratkan pelukannya kepada ayahnya itu, tidak ingin melepaskan. “Ayah, aku sudah tahu bahwa aku salah. Aku tahu aku bodoh karena tidak mengutamakan akal sehatku. Maaf... Aku benar-benar meminta maaf untuk kesalahan besar yang aku lakukan ini.” Emily hanya bisa terdiam. Air matanya jatuh. Dia tahu benar bagaimana William sangat mencintai Elle. Apapun yang menyangkut dengan putrinya itu, William pasti maka sangat mudah kehilangan kendali. Namun, Emily juga tahu bahwa William juga sudah berusaha dengan sangat keras untuk menahan diri. Pria itu jelas tersiksa dengan perasaan gelisah selama ini. “Ayah…” suara Elle gemetar, namun ia tetap menatap ayahnya. “Berikan aku satu kesempatan lagi. Aku akan menyelesaikan semua ini dengan hasi
Andreas melangkah keluar dari ruang observasi dengan ekspresi serius. Ia menarik napas panjang sebelum menghampiri Erika, Merin, dan Ronald yang menunggu di bangku rumah sakit sejak tadi. Mereka jelas terlihat sangat gelisah. Sudah 1 jam lebih, bahakan hampir 2 jam mereka menunggu di sana. Merin langsung berdiri. “Bagaimana hasilnya, Dokter?” Erika dan juga Ronald ikut bangkit untuk mendengarkan penjelasan dari Andreas. Andreas menatap mereka satu per satu. “Saya sudah mendapatkan hasil awal pemeriksaannya,” ucapnya pelan, nada suaranya dingin dan penuh tekanan. “Sama seperti yang anda inginkan tadi, pemeriksaan darahnya.” Ronald meneguk ludah. Erika mencengkram ujung jaketnya. “Dan… hasilnya cocok, bukan?” Andreas menggeleng perlahan. “Tidak. Golongan darah Nona Elle dan Nona Erika berbeda. Tidak kompatibel sama sekali. Bahkan, Nona Elle memiliki golongan darah yang sangat langka, dan tubuhnya tergolong sensitif ter
Di ruang pemeriksaan rumah sakit swasta itu, suasana terasa begitu tegang. Elle masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien, wajahnya agak pucat dan tubuhnya dingin. Seorang dokter muda, mengenakan jas putih dan mengenakan name tag bertuliskan “Dr. Andreas”, berdiri di dekat monitor sambil menatap hasil pemeriksaan awal dengan alis berkerut. “Pasien ini... dalam kondisi tidak sadar dan tidak ada surat persetujuan. Saya tidak bisa melakukan pemeriksaan lanjut, apalagi untuk kecocokan donor organ, tanpa persetujuan atau izin tertulis dari yang bersangkutan,” ucap Dr. Andreas, suaranya tegas tapi tenang. Bagaimanapun, dia tidak boleh terkena masalah karena hal ini. Erika melangkah cepat ke depan, wajahnya dingin. “Kau tahu siapa pamanku, kan? Beliau adalah manajer rumah sakit ini. Kalau kau tidak ingin karirmu berakhir malam ini juga, sebaiknya lakukan saja. Kami hanya meminta pemeriksaa
Elle membuka mata perlahan. Cahaya lampu yang ada dari ruang kerjanya menyambut pandangan yang masih sedikit buram. Tubuhnya terasa pegal, terutama bagian punggung dan leher, efek dari tidur dua jam lebih di sofa yang agak sempit. Namun tak ada keluhan keluar dari bibirnya, hanya helaan napas kecil dan gerakan ringan untuk meregangkan tubuh. Pandangan Elle tertuju pada meja kecil di samping sofa. Di sana telah tersedia segelas air mineral dan sebotol minuman pereda mabuk, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan, “Saya tidak ingin mengganggu istirahat Anda, tapi tubuh Anda perlu perhatian juga. Ada bau alkohol yang terendus pagi tadi, semoga segera membaik. Rose” Elle tersenyum tipis. Rose, asisten sekretarisnya, memang selalu memahami waktunya, tidak hanya sebagai bawahan yang andal, tapi juga sebagai seseorang yang tahu kapan harus diam dan kapan harus segeralah bertindak. “Dia benar-benar bisa membaca situasi bahkan saat aku tid
Pertanyaan dari Lavine membuat Elle mendesah sebal. “Kau sedang mengejek atau apa?” “Pft!” Lavine menahan tawanya. “Ah, iya maaf kalau kau merasa seperti itu. Aku cuma bertanya saja, kok.” Malas meladeni, Elle memilih untuk diam. “Ya sudah. Kau kan tidak menjawab, jadi aku bawa saja kau pulang ke apartemen ku,” ujar Lavine, santai. Elle menatap dengan kesal. “Siapa yang mau?! Pergi ke gedung MJW, ada sesuatu yang harus aku lakukan di sana.” Lavine terkekeh geli. “Oke oke, maaf... kau ini emosian sekali. Kalau aku kesal, aku bawa saja kau pergi ke kantor catatan sipil.” Sesampainya di depan gedung MJW, mobil Lavine perlahan berhenti. Elle segera membuka pintu namun tidak lupa menoleh sejenak. “Terima kasih sudah mengantarku,” ucapnya singkat namun sopan. Namun bukannya membalas dengan serius, Lavine justru memonyongka
Perlahan Elle membuka matanya saat tirai jendela sedikit bergerak karena hembusan angin sedikit kencang dari pendingin ruangan. Ia mengerang pelan, memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut hebat. Pandangannya masih buram, dan ruangan di sekitarnya terasa asing untuknya, sebuah kamar hotel yang cukup mewah, namun sama sekali tidak familiar untuknya. “Akhhh... di mana aku sekarang?” Ia pun bangkit perlahan, duduk sambil menahan sakit. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot! “Ya ampun!” Elle panik, apalagi ketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya lagi yang semalam. Nyatanya, rasa panik itu tidak berhenti sampai di situ saja. Seketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya bahkan pada bagian bawahnya. Dengan gemetar, ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. “I–ini... apa-apaan?” Ia menoleh perlahan ke arah tempat tidur… dan matanya pun membelalak. Namun yang ia lihat bukan hal yang mengerikan seperti bayangannya, dia Lavine,