William berjalan perlahan ke ruang tengah dengan tongkat di tangannya.
Langkahnya tenang, namun pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi di pesta perayaan tahunan nanti.Di sana, Robert sudah menunggunya, berdiri dengan tangan bersilang di depan dada, ekspresi wajahnya serius. “Tuan William,” bisik Robert saat William mendekat. “Anda harus tetap memberikan sinyal waspada, terutama terhadap mereka yang kelihatan baik tapi sebenarnya munafik. Jangan lengah.” William tersenyum tipis, mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir kekhawatiran Robert. “Jangan khawatir terlalu banyak, Robert. Aku tahu bagaimana caranya menghadapi mereka,” jawabnya dengan tenang. Namun, percakapan mereka terputus ketika kepala pelayan tiba-tiba datang bersama Elizabeth.William dan Robert saling berpandangan, bingung dengan kedatangan mereka. “Maaf mengganggu, Tuan,” kata kepala pelayan. “Atas perintah Nyonya Besar“Wah, jalang sialan ini sudah datang,” gumam Emily kesal. Menarik lengan William, Emily berbisik kepada pria itu, “Tinggalkan aku sendiri dulu, ya. Aku harus meladeni siluman kalajengking ini.”William merasa berat, namun dia tetap menganggukkan kepalanya. “Emily! Akhirnya aku bertemu denganmu,” sapa Jessica, suaranya terdengar ramah namun penuh kepura-puraan. Emily menoleh, matanya yang tajam menangkap raut wajah Jessica. Hanya tersenyum tipis, Emily harus menahan perasaan jengkelnya. “Kenapa sulit sekali menghubungimu akhir-akhir ini? Aku sampai rindu, tahu,” lanjut Jessica, nada manisnya semakin terdengar dipaksakan. Emily menghela napas, kemudian membalas dengan senyuman tipis. “Yah, kurasa itu adalah masa terbaikku, Jessica. Jauh dari... orang-orang yang tampak seperti kelinci lucu, tapi ternyata tikus got.” Jessica tersenyum kaku mendengar sindiran itu. Amarahnya mulai memuncak, namun dia beru
“Perusahaanku bisa hancur kalau proyek itu terlepas dariku.” Brak! Emily Laurdent membanting setirnya kesal kala mengingat ucapan William, suami buta yang dinikahinya karena perjodohan bisnis sejak dua tahun lalu. Selain mengekang dan posesif, dia juga tak pernah mau mengerti Emily. Kesabarannya selalu diuji. Belum lagi, Emily masih tidak mengerti mengapa keluarganya tiba-tiba mengganti pengantin prianya menjadi William. Padahal, jelas-jelas mereka semua tahu Emily mencintai Hendrick, adik tiri William, dan sudah berpacaran sejak SMA. Wanita 23 tahun itu lantas meraih ponsel dan segera mencari nama pria yang sebenarnya Hendrick. Namun, panggilannya berakhir tanpa jawaban. Berulang kali Emily menelpon, tetap saja, tidak ada jawaban. Frustrasi, wanita itu lantas memutuskan untuk langsung menuju rumah Hendrick. Hanya saja, langkahnya terhenti oleh suara tawa yang datang dari taman samping rumah. Dengan hati-hati, Emily melangkah ke arah sumber suara, rasa ingin tahu mengalahka
Selama ini, Emily selalu memandang rendah William dan merasa bahwa kebersamaan mereka adalah beban perjodohan dua keluarga. Namun kini, pria itu justru menunjukkan cinta yang lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan? Air mata Emily jatuh semakin deras. Dalam hati, ia bertekad, ‘Aku harus memperbaiki segalanya.’ Grep! Emily meraih tangan William. Dengan ekspresi wajah penuh keyakinan, ia langsung tegas berkata, “Berikan aku waktu lagi, William, aku belum ingin bercerai...” “Aku tahu aku salah. Aku….” Ucapan Emily terputus. Dia sudah kehilangan kata-kata. Perilakunya selama ini rasanya terlalu kurang ajar sebagai seorang istri dan dia telat menyadarinya. Di sisi lain, William menghela napas. “Emily, aku akan menegaskan bahwa aku tetap tidak bisa kehilangan proyek besar itu. Aku tidak bisa menghancurkan para pegawai kantor yang sudah ikut berusaha keras.” Cepat Emily pun menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak mau proyek itu lagi. Hanya, biarkan aku berada di sisimu
Di luar ruangan, asisten William tampak menatapnya, bingung. “Tuan, Anda keluar begitu saja?” tanya Robert, bingung. William menghela napasnya lalu menjawab, “Akan aneh kalau aku tetap di sana, Robert.” Mendengar itu, Robert sejenak menatap pintu ruangan yang tertutup. “Anda benar-benar memiliki kesabaran seluas angkasa untuk istri Anda dan selingkuhannya itu,” sindirnya, “Padahal, Anda pasti melihat wajah bajingan Hendrick tadi, kan? Ah, Saya kesal sekali!” William hanya tersenyum. “Duh, bagaimana, ya? Kau lupa aku ini orang buta, Robert?” Robert pun mendengus. “Tuan, ini bukan waktunya bercanda. Jelas-jelas, Anda--”Ucapan keduanya berhenti kala Hendrick tampak kesal kala keluar dari ruangan itu. Pria itu masih tak mengerti, mengapa Emily berubah sedemikian rupa? Apakah kepalanya terbentur tadi? Namun saat Hendrick bersitatap dengan Robert, segera dikendalikan ekspresinya itu.Dengan sombong, ia bahkan melangkah dengan wajah pongah ke hadapan sang kakak tiri. “William, jel
Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik.Plak!Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick!William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini.Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya.“Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick.Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily.Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang.Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.”Hendrick mengep
Robert menggeleng. “Sepertinya, tidak, Tuan. Dia hanya membaca, mengangguk, lalu menandatangani dokumen itu.”William menghela napas panjang. Ada sesuatu yang aneh. Emily, yang selama ini dikenal keras kepala dan sering melawan, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang patuh dan tidak mempertanyakan apa pun.“Aku ingin kau memperhatikan Emily lebih dekat, Robert,” kata William akhirnya. “Aku juga akan memantaunya.”Robert mengerutkan keningnya. “Tuan, apa Anda yakin? Bagaimana kalau Nona Emily curiga dengan—”William memotong pembicaraan, “Tenang saja. Aku paham bagaimana aku harus bersikap.”“Baik, Tuan.” Robert membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruangan.Begitu Robert keluar dari ruangan itu, tak sengaja ia pun mendengar Emily sedang bicara di telepon.“Ada apa lagi, Hendrick?” tanya Emily, suaranya terdengar kesal. “Kenapa aku harus menemui mu? Ah, baiklah... Kau di mana sekarang?”“Dia benar-benar masih lah rubah betina yang licik,” gumam Robert pelan. “Jangan kira aku akan m
Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka. Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga
Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Wah, jalang sialan ini sudah datang,” gumam Emily kesal. Menarik lengan William, Emily berbisik kepada pria itu, “Tinggalkan aku sendiri dulu, ya. Aku harus meladeni siluman kalajengking ini.”William merasa berat, namun dia tetap menganggukkan kepalanya. “Emily! Akhirnya aku bertemu denganmu,” sapa Jessica, suaranya terdengar ramah namun penuh kepura-puraan. Emily menoleh, matanya yang tajam menangkap raut wajah Jessica. Hanya tersenyum tipis, Emily harus menahan perasaan jengkelnya. “Kenapa sulit sekali menghubungimu akhir-akhir ini? Aku sampai rindu, tahu,” lanjut Jessica, nada manisnya semakin terdengar dipaksakan. Emily menghela napas, kemudian membalas dengan senyuman tipis. “Yah, kurasa itu adalah masa terbaikku, Jessica. Jauh dari... orang-orang yang tampak seperti kelinci lucu, tapi ternyata tikus got.” Jessica tersenyum kaku mendengar sindiran itu. Amarahnya mulai memuncak, namun dia beru
William berjalan perlahan ke ruang tengah dengan tongkat di tangannya. Langkahnya tenang, namun pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi di pesta perayaan tahunan nanti. Di sana, Robert sudah menunggunya, berdiri dengan tangan bersilang di depan dada, ekspresi wajahnya serius. “Tuan William,” bisik Robert saat William mendekat. “Anda harus tetap memberikan sinyal waspada, terutama terhadap mereka yang kelihatan baik tapi sebenarnya munafik. Jangan lengah.” William tersenyum tipis, mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir kekhawatiran Robert. “Jangan khawatir terlalu banyak, Robert. Aku tahu bagaimana caranya menghadapi mereka,” jawabnya dengan tenang. Namun, percakapan mereka terputus ketika kepala pelayan tiba-tiba datang bersama Elizabeth. William dan Robert saling berpandangan, bingung dengan kedatangan mereka. “Maaf mengganggu, Tuan,” kata kepala pelayan. “Atas perintah Nyonya Besar
“Benar-benar seperti binatang buas,” bisik Emily. Ia pun menggeser tubuhnya perlahan di atas ranjang, menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya yang terasa lelah.Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di pinggang. Setiap gerakan kecil terasa seperti protes dari otot-ototnya yang kelelahan.“Aduhhh,” lenguh Emily. Di sebelahnya, William berbaring santai dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Emily meliriknya dengan tatapan penuh rasa sebal. “Katanya tadi tubuhmu lemas,” gumam Emily dengan nada pelan namun sarat sindiran. “Bahkan membuka kancing baju saja kau bilang tidak bertenaga. Tapi lihat saja apa yang baru saja kau lakukan…” William tetap tersenyum kecil, seolah-olah tidak mendengar sindiran itu. “Maaf,” ucapnya ringan, suaranya tenang seperti biasa. “Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba tubuhku pun
“Seumur hidup, aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami ini,” gumam Emily. Emily menunduk, wajahnya semakin merah padam, sementara tangannya gemetar saat memegang spons mandi. Ia dengan hati-hati menggosok dada William di bawah guyuran air shower. Kehangatan kulit William bercampur dengan percikan air, membuat Emily semakin gugup. William berdiri diam, membiarkan air menyapu tubuhnya, tetapi matanya yang tajam yang seharusnya ‘kosong’ tidak lepas dari wajah Emily. Diam-diam, ia mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah istrinya. Wajah merah itu, gigitan kecil di bibir bawahnya, dan tatapan canggungnya, semua itu membuat Emily terlihat begitu imut di mata William. Tanpa peringatan, William meraih tangan Emily, menariknya hingga tubuh wanita itu terhuyung masuk ke dalam pelukannya. “Astaga, William!” teriak Emily kaget. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi pelukan William terlalu erat. "
Emily tersentak kaget, “Ah, benar!” ia pun terkekeh. “Ternyata, ada bagusnya juga kau buta ya, William?” Mendengar itu, William pun hanya tersenyum tipis. Namun, saat Emily tak memperhatikan ia pun sempat melirik ke arah lain, tempat di mana Elizabeth sedang berbincang. Sejenak tatapannya aneh, William kembali fokus dengan Emily. “Ya sudah. Ayo kita masuk ke kamar, William!” Emily menggandeng William dengan hati-hati, membantunya masuk ke kamar. Ia menuntunnya untuk duduk di tepi tempat tidur, memastikan pria itu nyaman sebelum berkata, “Aku akan mandi sebentar. Jangan ke mana-mana, ya.” William mengangguk pelan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Jika begitu, aku jadi ingin membuktikan kalau aku pria dewasa.” Emily tertawa kecil sebelum berbalik menuju kamar mandi. Begitu pintu tertutup dan suara air mulai terdengar, senyum di wajah William memudar. Dia menghembus
Robert mengetuk pintu ruang kerja William dengan pelan, tapi sebelum mendengar jawaban, ia langsung membuka pintu dan masuk. William, yang sedang duduk membelakangi pintu, memutar kursi kulitnya dan menatap Robert dengan tatapan tenang. “Kau sudah datang,” ucap William singkat, dengan nada yang khas dingin namun tegas. Robert mengangguk hormat, lalu menyerahkan dokumen di tangannya. “Tuan, ini laporan terbaru terkait proposal kerja sama dengan Tuan Xavier.” William mengambil dokumen itu dengan satu tangan dan membukanya. Sementara matanya menatap dengan seksama setiap barisan kalimat yang tertera pada dokumen tersebut. “Ngomong-ngomong, apa kabar Anda hari ini, Tuan?” tanya Robert, penuh perhatian. William tersenyum tipis. “Sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah bertanya, Robert. Apa kau tidak menanyakan kabar mataku?” Robert mendesah sebal, “Tidak perlu, Saya sedang malas.” William tersenyum
Cup!Glek...William terdiam, hanya bisa menelan ludah karena terkejut. Kecupan di bibir itu terlalu tiba-tiba, William tidak berekspektasi akan hal itu. “Aku mohon, suamiku...” bisik Emily, menggoda. ****Emily datang ke rumah orang tuanya setelah berhasil membujuk dan menenangkan William. Sesampainya di sana, Emily langsung disambut oleh Ibunya, dan kakak laki-lakinya Emily yang bernama Sean. Sore kemarin mereka sudah kembali, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau menemui Emily lebih dulu. Namun, Emily tidak memiliki pilihan lain, dia harus bicara dengan keluarganya. “Datang juga akhirnya anak kesayangan Ibu,” ucap Julia, Ibunya Emily. Emily membiarkan Ibunya memeluk, tapi dia sama sekali tidak ingin membalas pelukan itu karena perasaan kesal yang besar dirasakan terhadap orang tersebut. “Eh, Kenapa Putri kesayangan ibu ini tidak bicara?” tanya Julia, suaran
“Kau...” Emily menatap wanita paruh baya itu dengan ekspresi yang sulit digambarkan, terkejut, marah, dan sedikit bingung. Dia adalah sang kepala pelayan! Wanita itu berdiri dengan percaya diri, mengenakan seragam rapi yang mencerminkan kedisiplinannya sebagai kepala pelayan. “Kenapa kau di sini?” tanya Emily, suaranya bergetar, mencerminkan perasaan tidak nyaman yang memenuhi hatinya. Kepala pelayan itu tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Tentu saja, Nyonya Emily. Saya bekerja di sini atas perintah langsung dari Nyonya Besar,” jawabnya dengan nada tegas. Emily terdiam sejenak. Nyonya Besar, nenek William, adalah wanita yang memiliki pengaruh besar dalam keluarga ini. Emily tahu betul bahwa melawan keputusan wanita itu hampir mustahil. ‘Kenapa Neneknya William jadi mulai ikut campur?’ batin Emily. Kepala pelayan melanjutkan, “Lagipula, Nyo
“Ah, tidak ada, cuma—” Emily melotot kaget dengan dahinya yang mengernyit. “William, kau tahu dari mana kalau aku sedang membaca pesan?” William terdiam sejenak, tersenyum lalu berkata, “Aku mendengar getar ponsel mu. Orang buta memiliki pendengaran yang lebih baik, jangan meremehkannya.” Mendengar itu, Emily pun terdiam. Meski memang kebanyakan seperti itu, anehnya hatinya seperti menolak untuk percaya. Menggelengkan kepalanya, Emily tidak ingin berpikir buruk tentang William dari segi apapun. “Iya, baguslah...” ujar Emily. Kembali ponsel Emily bergetar, pesan dari Hendrick kembali masuk. “Emily Sayangku, kau tidak lupa membawa ku untuk bertemu dengan Paman Xavier tanggal 29 nanti, kan? Aku akan menjemputmu, sudah beli juga pakaian baru untukmu.” “Set perhiasan yang kau mau sudah aku belikan. Anggap ini sebagai permintaan maaf dariku yang tidak memahami mu be