Emily duduk di ruang tamu besar rumah keluarga William, berhadapan dengan Kelly.
Tatapannya lembut, namun ada kilatan otoritas yang sulit dibantah. “Emily, sayang,” ujar Kelly dengan senyum tipis, memulai pembicaraan dengan nada manis. “Ada sesuatu yang ingin Ibu minta darimu.” Emily meneguk ludah, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. “Apa itu, Bu?” Kelly menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, tangannya yang berlapis cincin berlian menggenggam cangkir teh. “William menyimpan beberapa dokumen penting. Ibu hanya butuh meminjamnya sebentar, untuk... keperluan keluarga.” Mata Emily langsung membulat.Ia merasa jantungnya berdebar kencang. Dokumen yang dimaksud Kelly pasti berisi informasi yang sangat penting, mungkin tentang perusahaan atau properti William. Emily menggigit bibirnya, mencoba mencari alasan. “Tapi, Bu... aku rasa William tidak akan suka jika dokumen itu dipinjam tanpa sepengetahuannya.”Robert dan William tiba di rumah dengan wajah tegang. Tanpa membuang waktu, mereka langsung menuju ruang keluarga tempat Emily berada. Emily, yang sejak tadi merasa gelisah, langsung berdiri saat melihat Robert dan William masuk dengan aura yang begitu menekan. “Kenapa anda masuk ke ruang kerja Tuan William dan mengambil dokumen penting itu, Nyonya Emily?” suara Robert menggema, penuh kemarahan. Emily menatap Robert, lalu beralih kepada William yang berdiri di belakangnya. Tatapan William tidak seperti biasanya, bukan marah yang terlihat, melainkan kekecewaan yang mendalam. Itu lebih menyakitkan bagi Emily dibandingkan apa pun. “Sekretaris Robert... aku hanya meminjam dokumen itu. Aku akan mengembalikannya besok,” Emily mencoba menjelaskan dengan nada pelan, berharap bisa meredakan suasana. Namun, Robert hanya tertawa kecil, lalu mendengus. “Meminjam? Anda pikir dengan mengatakan itu, masalah selesai
Kafe itu dipenuhi oleh aroma kopi yang hangat dan percakapan ringan pengunjung. Di salah satu sudut, Emily duduk dengan tenang, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Di hadapannya, Kelly, wanita dengan senyuman angkuh, tengah menyesap cappuccino-nya. “Ini yang Ibu mertua minta,” kata Emily sambil meletakkan amplop cokelat di meja. Suaranya terdengar tenang, nyaris tak beremosi. Kelly segera meraih amplop itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia membuka segelnya dan memeriksa isinya. Begitu memastikan dokumen-dokumen itu benar, wajahnya bersinar penuh kepuasan. “Bagus, Emily. Kau melakukan hal yang benar,” ucap Kelly dengan nada penuh kemenangan. Emily hanya tersenyum tipis. “Seperti yang sudah aku janjikan, aku hanya ingin membantu. Lagipula, bukankah Ibu berjanji akan mengembalikan dokumen itu setelah selesai?” Kelly mengangguk cepat, masih asyik memandangi dokumen itu. “Tentu. Kau tidak perlu khawatir. Ini hanya se
Hendrick duduk dengan percaya diri di ruangan pengacara keluarganya. Di sebelahnya, Kelly menyilangkan kaki sambil tersenyum penuh kemenangan. Di atas meja, amplop cokelat yang berisi dokumen yang mereka yakini akan menghancurkan William telah dibuka. “Dokumen ini adalah kunci,” ucap Hendrick dengan nada penuh kepastian. “Kami ingin Anda mulai memindahkan kepemilikan saham yang tertera di sini. Dengan ini, perusahaan William akan menjadi milik kami secara bertahap, tanpa ada keributan.” Pengacara tersebut memegang dokumen itu dengan wajah datar, memeriksa setiap lembar dengan seksama. Namun, setelah beberapa saat, ekspresinya berubah menjadi kaku. Dia menatap Hendrick dan Kelly dengan tajam, lalu menghempaskan dokumen itu ke meja. “Ini dokumen palsu,” katanya dingin, menatap Hendrick dengan tatapan yang penuh amarah. Hendrick dan Kelly melotot kaget. “Apa?!” seru Kelly, suaranya nyaris pecah. “Itu
Mendengar ucapan Robert, William pun menghela napasnya. “Entah apa alasannya, aku tidak terlalu peduli. Sekarang, aku hanya ingin melihat setulus apa Emily pada pria buta ini.” Robert pun mengangguk paham. “Kedepannya, pastikan Emily selalu aman, lakukan secara diam-diam.” William menegaskan. “Baik, Tuan,” jawab Robert. **** Emily duduk di pinggir tempat tidur, tangannya erat meremas ujung selimut dengan gelisah. Wajahnya sedikit pucat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk untuk hubungannya dengan William. Dia yakin William masih marah, dan malam ini pasti tidak akan datang lagi ke kamar. “Aku ingin menemui William. Tapi, dia di mana, ya?” gumamnya. Klek! Pintu kamar tiba-tiba terbuka perlahan, membuat Emily langsung menoleh. Di sana, berdiri William dengan tongkatnya, langkahnya teratur namun tetap memancarkan aura yang tak tergoyahkan.
William terdiam, menahan kesal. Emily menoleh pada pintu, untungnya para pelayan benar-benar sopan, tidak ada yang asal buka pintu. “William, Ayah dan Ibumu datang. Ayo temui mereka,” ucap Emily. Wanita itu menunggu William bangkit dari atas tubuhnya, namun itu tak kunjung terjadi. “Ini salah mereka yang datang di waktu tidak tepat. Lanjutkan saja apa yang ingin kita lakukan,” ucap William, masa bodoh. Mendengar itu, melotot Emily jadinya. “Kau gila ya, William?!” Benar-benar seperti yang diucapkan, William tidak peduli. Pria itu melanjutkan apa yang dia inginkan lakukan. “William... kau benar-benar serius dengan ini?” tanya Emily, menahan diri dengan menggigit bibir bawahnya saat pria itu menyentuh bagian dadanya. Sejenak menatap ke arah pintu, pelayan rumah pasti masih berdiri di sana.
“Emily, apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan?” tanya Sebastian. Dengan cepat, tanpa ragu, Emily pun menganggukkan kepalanya. “Sadar, sadar sekali, Ayah mertua.” Sebastian nampak menahan diri. Kelly mengepalkan tangannya. Sejujurnya, dia cukup menyukai Emily karena gadis itu sangat patuh, dan terlihat siap mencintai Hendrick seumur hidupnya. Tidak meragukan hal itu sebelumnya, Emily bahkan melakukan apapun yang diinginkan Kelly, maupun Hendrick. Tapi, sepertinya sekarang benar-benar tidak bisa mengharapkan apapun dari Emily. William, dengan ekspresi yang dingin berkata, “Sebelum datang ke sini, aku yakin anda berdua sudah bisa menebak, kira-kira apa jawaban yang aku akan berikan saat anda berdua mengatakan itu. Jadi, pergilah jika tidak ada kepentingan lagi.” Kelly merasa terhina, terusir. “Kau benar-benar sangat tidak manusiawi, William.” Emily menatap Se
“William, apa tidak apa-apa kalau kita meninggalkan orang tuamu begitu saja?” tanya Emily. Mereka sudah kembali masuk ke dalam kamar, entah apa yang sedang dilakukan oleh Sebastian dan juga Kelly di sana. Mungkin juga sudah pulang. Mendengar itu, William pun hanya menghela napasnya. Dia membawa Emily menuju ke tempat tidur. “Tidurlah, Kau pasti kelelahan, kan?” ujar William. Sadar bahwa William tidak ingin membahas soal Sebastian dan juga Kelly, Emily pun memilih untuk diam dan tidak membahas hal itu lagi. Cukup sudah dia mengetahui keadaan, atau hubungan William dan juga kedua orang itu tidak baik. Begitu mereka sudah dalam posisi berbaring, Emily langsung menghadap ke arah William. “Kau belum mau tidur?” tanya William. “Ada yang ingin kau bicarakan padaku?” Emily mendengus. “Kau benar-benar memiliki indera ke enam, ya? Terlalu sensitif. Kau bahkan tahu apa yang ak
Emily sampai di rumah kedua orang tuanya. Dengan panik, Emily bergegas menuju ke kamar orang tuanya untuk melihat bagaimana keadaan ayahnya. “Ayah,” panggil Emily sambil membuka pintu kamar. Benar saja, Ayahnya Emily tengah berbaring lemah di tempat tidur. “Ayah,” Emily berjalan mendekati Johan, duduk di pinggiran tempat tidur sambil menggenggam tangan pria itu. “Bagaimana keadaan Ayah sekarang?” Johan tersenyum. Lembut tangannya mengusap kepala Emily. Matanya yang dalam menatap Emily itu membuatnya terlihat seolah sedang mencoba menahan sesuatu. “Ayah baik-baik saja, Emily. Kau datang sendiri?” tanya Johan. Emily menganggukkan kepalanya, “Dengan sopir, William tidak bisa ikut karena harus ke kantor.” Johan menghela napasnya. “Ternyata, hubunganmu dengan William benar-benar baik, ya?” Mendengar itu, cepat Emily tersenyum dan menjawab, “Benar, Ayah. Kami memutuskan untuk memperbaiki hubu
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek