“Emily, apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan?” tanya Sebastian.
Dengan cepat, tanpa ragu, Emily pun menganggukkan kepalanya. “Sadar, sadar sekali, Ayah mertua.” Sebastian nampak menahan diri. Kelly mengepalkan tangannya. Sejujurnya, dia cukup menyukai Emily karena gadis itu sangat patuh, dan terlihat siap mencintai Hendrick seumur hidupnya. Tidak meragukan hal itu sebelumnya, Emily bahkan melakukan apapun yang diinginkan Kelly, maupun Hendrick. Tapi, sepertinya sekarang benar-benar tidak bisa mengharapkan apapun dari Emily. William, dengan ekspresi yang dingin berkata, “Sebelum datang ke sini, aku yakin anda berdua sudah bisa menebak, kira-kira apa jawaban yang aku akan berikan saat anda berdua mengatakan itu. Jadi, pergilah jika tidak ada kepentingan lagi.” Kelly merasa terhina, terusir. “Kau benar-benar sangat tidak manusiawi, William.” Emily menatap Se“William, apa tidak apa-apa kalau kita meninggalkan orang tuamu begitu saja?” tanya Emily. Mereka sudah kembali masuk ke dalam kamar, entah apa yang sedang dilakukan oleh Sebastian dan juga Kelly di sana. Mungkin juga sudah pulang. Mendengar itu, William pun hanya menghela napasnya. Dia membawa Emily menuju ke tempat tidur. “Tidurlah, Kau pasti kelelahan, kan?” ujar William. Sadar bahwa William tidak ingin membahas soal Sebastian dan juga Kelly, Emily pun memilih untuk diam dan tidak membahas hal itu lagi. Cukup sudah dia mengetahui keadaan, atau hubungan William dan juga kedua orang itu tidak baik. Begitu mereka sudah dalam posisi berbaring, Emily langsung menghadap ke arah William. “Kau belum mau tidur?” tanya William. “Ada yang ingin kau bicarakan padaku?” Emily mendengus. “Kau benar-benar memiliki indera ke enam, ya? Terlalu sensitif. Kau bahkan tahu apa yang ak
Emily sampai di rumah kedua orang tuanya. Dengan panik, Emily bergegas menuju ke kamar orang tuanya untuk melihat bagaimana keadaan ayahnya. “Ayah,” panggil Emily sambil membuka pintu kamar. Benar saja, Ayahnya Emily tengah berbaring lemah di tempat tidur. “Ayah,” Emily berjalan mendekati Johan, duduk di pinggiran tempat tidur sambil menggenggam tangan pria itu. “Bagaimana keadaan Ayah sekarang?” Johan tersenyum. Lembut tangannya mengusap kepala Emily. Matanya yang dalam menatap Emily itu membuatnya terlihat seolah sedang mencoba menahan sesuatu. “Ayah baik-baik saja, Emily. Kau datang sendiri?” tanya Johan. Emily menganggukkan kepalanya, “Dengan sopir, William tidak bisa ikut karena harus ke kantor.” Johan menghela napasnya. “Ternyata, hubunganmu dengan William benar-benar baik, ya?” Mendengar itu, cepat Emily tersenyum dan menjawab, “Benar, Ayah. Kami memutuskan untuk memperbaiki hubu
“Breppppp....” William menyemburkan teh hangat yang tengah ia seruput. “Uhuk uhuk!” ia pun terbatuk-batuk. Dia benar-benar tidak menyangka kalau akan mendengar suara Emily yang tengah membandingkan miliknya dengan Hendrick. “Nyonya Emily benar-benar mendekati gila,” ujar Robert, tidak habis pikir. William menyeka sisa teh yang mengenai lengannya. Menahan malu, William menegaskan kepada Robert, “Jangan sembarangan, dia istriku.” Hanya memutarkan bola matanya, Robert tetap saja tidak peduli. “Ide anda untuk memasang alat penyadap di tas Nyonya Emily memang keren. Tapi, sayangnya saya jadi menyesal sudah ikut mendengarkan pembicaraan itu,” ujar Robert. William berdehem beberapa kali, mengusir rasa kikuk itu. “Aku dan Emily adalah pasangan suami istri, kegiatan seksua
“Jessica, dia pasti akan menghancurkan ku, juga akan menghancurkan William.” Azura bingung, dia tidak memahami apa yang terjadi. Selama ini, dia benar-benar tidak ingin tahu menahu tentang kehidupan Emily. “Kau tahu dari mana dia akan melakukan itu, Emily?” tanya Azura. Emily menatap Azura dengan serius. Ia pun mulai menceritakan apa yang terjadi, dan apa yang membuatnya berubah seperti sekarang ini. “Jadi begitu, ya?” ujar Azura, merasa tak terkejut karena dia sudah tahu sejak lama bagaimana Jessica yang sebenarnya. “Bukan hanya itu, Azura,” ungkap Emily, semakin serius pembicaraannya. “Ayahnya Jessica akan naik sebagai pejabat negara, dan ini akan sangat menyulitkan untukku.” “Jika Ayahnya Jessica mendapatkan jabatannya, maka Hendrick juga akan semakin sulit untuk dilawan. Saat ini, perusahaan Hendrick memang sedang gonjang ganjing. Tapi, Hendrick itu c
Pagi itu, langit begitu cerah. Jessica bangkit dari tempat tidur. Ia meraih ponselnya, mencari tahu apakah ada notifikasi dari Hendrick. Benar saja, ada banyak sekali! Jessica tersenyum. “Apa dia sangat merindukan ku?” gumamnya. Begitu membuka pesan itu, mata Jessica melotot tak percaya. “Apa ini?” tanya Jessica, tangannya gemetar. Satu persatu dia melihat pesan dari Hendrick yang isinya adalah semua unggahan dari akun anonim. “Bagaimana ini...” seluruh tubuh Jessica gemetar. “Aku tidak boleh mendiamkannya, ini harus dihentikan!” Tidak ingin buang waktu, Jessica turun dari tempat tidurnya. Gegas dia keluar dari kamarnya, mencari keberadaan Ayahnya. Begitu sampai di ruang tengah, di mana Ayah dan Ibunya berada, Jessica terpaksa menunggu Ayahnya sampai selesai bicara di
Brak!!!! Jessica membanting ponselnya. Dia benar-benar kesal dan bingung harus bagaimana sekarang. Jangankan menerima balasan pesan dari Hendrick, bahkan setiap kali ia menghubungi, pria itu selalu menolak panggilannya. “Hendrick, kau benar-benar sialan!” kesalnya. Sekarang, Jessica benar-benar merasa sendiri. Orang tuanya tidak peduli, pria yang katanya mencintai dirinya pun tidak memiliki minat membantunya. “Bagaimana ini? Aku tidak mau kalau sampai masuk penjara. Aku tidak mau orang-orang menghina dan mengejek. Aku harus cari cara, aku harus memulihkan namaku.” **** Emily mendengus kesal. Hasil konferensi pers itu jelas 70 persennya akan menyalahkan Jessica secara perorangan. “Tidak boleh begini,
“Emily, kau benar-benar perempuan sialan! Kenapa tidak kau mati saja saat kecelakaan itu, hah?!” ucap Jessica, histeris. Pembicaraan William dan Emily di telepon yang tak sengaja dia dengar tadi rasanya sudah cukup menjelaskan bahwa Emily telah mengetahui banyak hal tentang dirinya. Meski kesal, Jessica tidak bisa lagi menuntut apapun dari Emily. Jessica menjambak rambutnya sendiri, melampiaskan emosi. “Ah!!!” teriaknya sambil membuang barang-barang yang ada di meja riasnya. “Bagaimana ini? Kenapa Emily yang tadinya sangat bodoh sekarang menjadi Wanita berbisa?” Sadar tidak bisa bersantai lebih lama lagi, Jessica memutuskan untuk pergi mencari bantuan ke manapun yang bisa dia dapatkan. **** Emily berdiri di depan gedung megah dengan suasana yang begitu eksklusif dengan gugup. Penampilannya malam ini benar-ben
Menjelang malam, Emily akhirnya sampai di rumah. “Duh..... badanku pegal semua gara-gara pakai heels ketinggian seperti ini,” gumamnya sambil melangkahkan kaki, melewati pintu utama. “Siapa sih yang memproduksi heels setinggi egrang ini? Ah, sialnya aku juga jadi ikut pakai.” Emily terus menggerutu hingga sampailah di pintu kamarnya. Membuang napas, Emily tersenyum lebar, dan bersiap masuk ke dalam kamar untuk beristirahat dengan nyaman sambil menunggu William pulang. Klek! saat pintu itu terbuka, Emily pun terkejut karena melihat William ada di dalam kamar, berdiri dengan ekspresi wajahnya yang dingin. “Alamak....” Glek... Emily menelan ludahnya. William jelas sedang kesal, tapi tidak tahu karena apa. Apa karena Emily kedapatan keluar rumah? Ah, entahlah... “W–William, t
William kembali ke rumah malam itu. Dia mendapatkan informasi dari penjaga gerbang tentang kedatangan Nyonya besar beberapa saat lalu, tapi dia tidak terlalu ingin mempedulikannya. Begitu sampai di kamar, William tidak mendapati Emily di sana. Ia pun menjadi panik. Jangan-jangan Emily kabur. Biasanya Emily akan berada di sana setiap William pulang. “Emily! Emily!” panggil William. Pria itu benar-benar harus tetap berakting buta, padahal dia benar-benar sangat panik. Saat William keluar dari kamar, seorang pelayan rumah datang menghampiri dan berbicara dengan sopan, “Nyonya Emily berada di kamar ujung, Tuan. Siang tadi ada teman Nyonya Emily. Sejak saat itu, Nyonya Emily belum keluar dari kamar itu.” William menganggukkan kepalanya. Dengan gerakan tangan, William meminta pelayan itu pergi. Cukup lega mendengarnya. Setelah yakin tidak ada orang lagi, William berjalan menu
Sore itu, sebelum pulang ke rumah, William melangkah masuk ke sebuah restoran mewah. Di ruang VVIP, Tuan Xavier sudah menunggunya dengan ekspresi tenang, meskipun ada sedikit kelelahan yang terpancar di wajah pria itu. William duduk dan mereka saling bertukar sapa, membahas hal-hal ringan sebelum akhirnya William memutuskan untuk langsung bicara pada intinya. “Beberapa hari ini Emily sering menghubungi anda, Paman,” kata William dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? Jika boleh tahu, apa yang diobrolkan Emily hingga sesering itu dia menghubungi anda?” Tuan Xavier menghela napas perlahan, meletakkan cangkir tehnya ke atas meja dengan gerakan lembut. “Beberapa waktu terakhir, Emily mengalami terlalu banyak kejutan dalam hidupnya, William. Aku yakin kau pun menyadarinya. Tekanan yang dia rasakan tidak kecil. Dia pasti merasa stres dan frustrasi belakangan ini.” William mengangguk pelan.
Elizabeth menatap keluar jendela mobil dengan gelisah. Sudah lebih dari satu jam perjalanan, tetapi mereka masih belum sampai. Jalanan semakin sepi, hanya ada pepohonan di sisi kiri dan juga kanan. Tangannya mengepal erat. Dia sudah beberapa kali bertanya kepada sopir yang mengantarnya, tapi pria paruh baya itu hanya diam, seolah tidak mendengarkan. “Hei! Aku bertanya, kita mau ke mana?” bentaknya, mulai kehilangan kesabaran. Sopir itu tetap tidak menjawab. Frustrasi, Elizabeth menatap gagang pintu. Jika dia tidak segera mendapatkan jawaban, dia akan mengambil resiko, loncat dari mobil ini! “Aku bersungguh-sungguh! Jika kau tidak menjawab, aku akan keluar dari mobil sekarang juga!” ancamnya.sopir itu akhirnya menghela napas dan berbicara dengan nada tenang, “Aku hanya diperintahkan Untuk mengantarmu menemui ibumu. Jadi, tetaplah untuk tenang.”Elizabeth terdiam. Ibu? Pikirann
Emily mengepalkan tangannya erat. Dia hanya bisa menatap punggung Elizabeth yang berjalan menjauh, semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu gerbang rumah itu. Mata Emily memanas, tapi dia menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, tetapi melihat Elizabeth yang biasanya selalu menunjukkan wajah palsu pergi dengan kesan yang nampak marah dan kecewa, Emily pun menjadi gusar. Sementara itu, Elizabeth menundukkan kepalanya, menahan isak tangis yang semakin berat. Dia benar-benar tidak rela meninggalkan rumah itu. Tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa dekat dengan William. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Robert telah mengancamnya, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan bukti yang cukup untuk menghancurkan hidupnya. Dia masih belum tahu di
Pagi itu, suasana di kamar mandi rumah William terasa begitu hangat. Emily dan William tengah berendam bersama di bathtub yang penuh busa. Tawa kecil Emily menggema ketika William dengan lembut menggosok punggungnya. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?” tanya Emily sambil memutar kepala untuk melihat William. William tersenyum tipis, membalas, “Tentu saja. Jarang-jarang aku bisa mandi bersama istriku. Rasanya... aku jadi ingin setiap hari.” Emily tertawa pelan, menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak mungkin serius, kan?”“Serius. Dulu, saat kecil kita juga sering mandi di kolam renang bersama, sayangnya saat itu aku masih sangat polos dan hanya tersenyum bahagia melihat balita menggunakan pakaian renang.”Emily pun terkekeh. Setelah selesai mandi, mereka saling membantu. Emily memakaikan dasi untuk William, sementara William membantu Emily memilih dress santai untuk dikenakan di rumah.
William melangkah masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, seperti biasanya saat dia sedang pulang ke rumah. Namun, kali ini, dia melihat sesuatu yang membuat alisnya sedikit mengernyit. Emily yang tengah memegang ponselnya tiba-tiba menyembunyikan di balik punggung saat melihat dirinya masuk. Emily tersenyum, berusaha terlihat senang Mungkin. Dia segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah William. “Sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa. William menutup pintu dan mengangguk pelan. Dia ingin bertanya tentang ponsel yang disembunyikan Emily, tapi melihat wajah istrinya yang lebih cerah dibanding beberapa hari terakhir, ia memutuskan untuk menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Emily langsung memeluk William erat. William terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu. Sudah berapa waktu ini Emily lebih banyak diam, dan dia yang mengambil inisiatif untuk memeluknya lebih dulu
Pagi itu, di sebuah kafe, tempat Azura bekerja. Azura menatap Robert dengan tatapan tajam, tangannya menyilang di depan dada, sementara proposal di hadapannya tetap tak tersentuh. “Dengar, Tuan Rodet atau Robert, dan... siapa lah itu,” katanya dengan nada datar. “Emily bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup tua, bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Dan aku? Aku bukan pengasuh atau bodyguard. Aku ini pelayan cafe biasa, dan aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang ini.” Robert tetap tenang, meski dia bisa merasakan penolakan keras dari Azura. “Aku tentu saja mengerti posisi anda, Nona Azura. Tapi ini bukan hanya soal pekerjaan saja. Ini soal Nyonya muda Emily. Lagi pula, bekerja di kafe seperti ini tidak mungkin bisa menjamin masa depan anda.”Mendengar itu, Azura pun makin menatap Robert dengan tatapan kesal. Ia memiliki cerita tidak mengenakan dengan para orang kaya, itu cukup membuatnya muak. Walaupun Emily adalah
Johan dan Julia mencoba untuk menemui Emily, namun kesulitan karena baik penjaga gerbang maupun pelayan rumah tidak ada yang memberikan akses. Nyonya besar juga dilarang untuk datang oleh William. Seolah tahu apa yang akan terjadi, William ingin mengantisipasi semua masalah dari luar. Emily sedang kacau belakangan ini, akan mudah baginya dipengaruhi, dan berpikir buruk. Sementara itu, di dalam kamar, Emily menghela napasnya. Sungguh, rasanya bosan sekali terus berada di dalam kamar seperti ini. Akhirnya, Emily memutuskan untuk berjalan-jalan keliling rumah dan taman saja guna mengusir rasa bosan itu. “Aku ingin pergi ke pusat belanja. Makan es krim, beli baju, ahhh... pokoknya apapun yang bisa aku lakukan di sana, deh!” gumamnya. Namun, langkah kaki Emily terhenti saat mendengar suara Elizabeth tengah bicara di telepon. Emily mengerutkan keningnya. “Elizabeth... kenapa dia ada d
Malam itu, di sebuah apartemen. Suara barang pecah belah menggema di dalam kamar Hendrick. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh emosi. Ia baru saja menerima kabar bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, kehancuran bisnisnya, rusaknya reputasinya, dan kekalahannya adalah ulah William dan Emily. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkannya. Hendrick menatap pantulan dirinya di cermin yang kini retak akibat lemparannya. Matanya merah penuh kemarahan. “William... Emily,” gumamnya, “kalian pikir, kalian benar-benar sudah menang?” Ia menyeringai dingin. Tidak. Ini belum berakhir. Dia akan menghancurkan mereka, satu persatu. Jika Emily meninggalkan William, pria itu pasti akan hancur. Atau lebih baik lagi, jika ia bisa membuat mereka saling membenci, itu akan menjadi hukuman terbaik. “Tidak sulit,” Hendrik tertawa. Ia tahu Emily bukan