“Jessica, dia pasti akan menghancurkan ku, juga akan menghancurkan William.”
Azura bingung, dia tidak memahami apa yang terjadi. Selama ini, dia benar-benar tidak ingin tahu menahu tentang kehidupan Emily. “Kau tahu dari mana dia akan melakukan itu, Emily?” tanya Azura. Emily menatap Azura dengan serius. Ia pun mulai menceritakan apa yang terjadi, dan apa yang membuatnya berubah seperti sekarang ini. “Jadi begitu, ya?” ujar Azura, merasa tak terkejut karena dia sudah tahu sejak lama bagaimana Jessica yang sebenarnya. “Bukan hanya itu, Azura,” ungkap Emily, semakin serius pembicaraannya. “Ayahnya Jessica akan naik sebagai pejabat negara, dan ini akan sangat menyulitkan untukku.” “Jika Ayahnya Jessica mendapatkan jabatannya, maka Hendrick juga akan semakin sulit untuk dilawan. Saat ini, perusahaan Hendrick memang sedang gonjang ganjing. Tapi, Hendrick itu cPagi itu, langit begitu cerah. Jessica bangkit dari tempat tidur. Ia meraih ponselnya, mencari tahu apakah ada notifikasi dari Hendrick. Benar saja, ada banyak sekali! Jessica tersenyum. “Apa dia sangat merindukan ku?” gumamnya. Begitu membuka pesan itu, mata Jessica melotot tak percaya. “Apa ini?” tanya Jessica, tangannya gemetar. Satu persatu dia melihat pesan dari Hendrick yang isinya adalah semua unggahan dari akun anonim. “Bagaimana ini...” seluruh tubuh Jessica gemetar. “Aku tidak boleh mendiamkannya, ini harus dihentikan!” Tidak ingin buang waktu, Jessica turun dari tempat tidurnya. Gegas dia keluar dari kamarnya, mencari keberadaan Ayahnya. Begitu sampai di ruang tengah, di mana Ayah dan Ibunya berada, Jessica terpaksa menunggu Ayahnya sampai selesai bicara di
Brak!!!! Jessica membanting ponselnya. Dia benar-benar kesal dan bingung harus bagaimana sekarang. Jangankan menerima balasan pesan dari Hendrick, bahkan setiap kali ia menghubungi, pria itu selalu menolak panggilannya. “Hendrick, kau benar-benar sialan!” kesalnya. Sekarang, Jessica benar-benar merasa sendiri. Orang tuanya tidak peduli, pria yang katanya mencintai dirinya pun tidak memiliki minat membantunya. “Bagaimana ini? Aku tidak mau kalau sampai masuk penjara. Aku tidak mau orang-orang menghina dan mengejek. Aku harus cari cara, aku harus memulihkan namaku.” **** Emily mendengus kesal. Hasil konferensi pers itu jelas 70 persennya akan menyalahkan Jessica secara perorangan. “Tidak boleh begini,
“Emily, kau benar-benar perempuan sialan! Kenapa tidak kau mati saja saat kecelakaan itu, hah?!” ucap Jessica, histeris. Pembicaraan William dan Emily di telepon yang tak sengaja dia dengar tadi rasanya sudah cukup menjelaskan bahwa Emily telah mengetahui banyak hal tentang dirinya. Meski kesal, Jessica tidak bisa lagi menuntut apapun dari Emily. Jessica menjambak rambutnya sendiri, melampiaskan emosi. “Ah!!!” teriaknya sambil membuang barang-barang yang ada di meja riasnya. “Bagaimana ini? Kenapa Emily yang tadinya sangat bodoh sekarang menjadi Wanita berbisa?” Sadar tidak bisa bersantai lebih lama lagi, Jessica memutuskan untuk pergi mencari bantuan ke manapun yang bisa dia dapatkan. **** Emily berdiri di depan gedung megah dengan suasana yang begitu eksklusif dengan gugup. Penampilannya malam ini benar-ben
Menjelang malam, Emily akhirnya sampai di rumah. “Duh..... badanku pegal semua gara-gara pakai heels ketinggian seperti ini,” gumamnya sambil melangkahkan kaki, melewati pintu utama. “Siapa sih yang memproduksi heels setinggi egrang ini? Ah, sialnya aku juga jadi ikut pakai.” Emily terus menggerutu hingga sampailah di pintu kamarnya. Membuang napas, Emily tersenyum lebar, dan bersiap masuk ke dalam kamar untuk beristirahat dengan nyaman sambil menunggu William pulang. Klek! saat pintu itu terbuka, Emily pun terkejut karena melihat William ada di dalam kamar, berdiri dengan ekspresi wajahnya yang dingin. “Alamak....” Glek... Emily menelan ludahnya. William jelas sedang kesal, tapi tidak tahu karena apa. Apa karena Emily kedapatan keluar rumah? Ah, entahlah... “W–William, t
Pertanyaan Emily itu membuat William menelan ludah. Diamnya William membuat Emily mengerutkan keningnya, curiga. “Kenapa kau diam saja, William?” tanya Emily, “apa kau diam-diam mengawasi ku?” William pun berdehem, coba mengusir kegugupannya. “Tidak. Aku memiliki banyak informasi yang dengan senang hati datang sendiri, kapanpun, dan di mana pun.” Mendengar itu, Emily pun tersenyum sinis. “Terserah kau saja, William. Intinya, apapun yang terjadi dan sedang aku jalani, tolong tahan diri, dan jangan ikut campur. Oke?” William pun mengangguk. “Baiklah. Pastikan tidak membuatku kesal, aku tidak memiliki banyak kesabaran yang sebanyak dulu.” Emily pun menganggukkan kepalanya. “Oke, suamiku!” William menelan ludah, kata ‘suamiku’ itu benar-benar masih saja membuat gugup.
Setelah unggahan itu dipublikasikan, efeknya langsung menyebar luas dengan membara seperti api yang melahap hutan kering. Tidak membutuhkan waktu lama, komentar demi komentar mulai membanjiri platform media sosial dari unggahan tersebut. “Ini tidak mungkin! Masa calon pejabat negara bertingkah seperti itu?! Menggelikan!!!” tulis salah satu pengguna media sosial. “Memangnya hal seperti ini aneh? Banyak pejabat yang hobinya begitu, cuma dia sial saja karena ketahuan, hahaha....” balas pengguna lainnya dengan nada sinis. Gelombang kemarahan publik semakin membesar saat seorang pengguna anonim mengaku bekerja di sebuah hotel bintang lima di kota besar itu. Dia memberikan kesaksian yang terkesan meyakinkan, bahwa Tuan Luis sering datang ke hotel tersebut dengan wanita muda berbeda setiap kali berkunjung. Pengakuan itu membuat dugaan masyarakat terhadap kebobrokan moral Tuan Luis semakin lebih ku
“Sudah ku bilang, jangan remehkan orang buta,” jawab William. “Aku sensitif sekali dengan gerakan dan suara. Kau selalu lupa dengan itu, ya?”****Jessica berdiri di ruang tamu rumah yang luas dan hangat milik keluarga Hendrick, namun terasa dingin dan kosong. “Kenapa kau datang ke sini?” Mendengar suara Hendrick, Jessica melangkah cepat ke arah Hendrick yang baru saja masuk dengan wajah lelah dan penuh kekesalan. “Hendrick! Kenapa kau tidak membalas pesan atau menerima teleponku? Aku sudah mencoba berkali-kali!” seru Jessica dengan nada penuh emosi dan kekalutan. Hendrick pun mendengus, wajahnya menjadi makin tegang. Ia menepis tangan Jessica yang mencoba mendekatinya. “Jangan cari aku, Jessica. Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan skandal mu. Situasimu sekarang adalah bencana, dan aku tidak ingin terseret dalam skandal keluargamu.” Mendengar itu, Jessica tertegun, tatapannya penuh rasa
Jessica masuk ke kamarnya dengan langkah berat membawa perasaan kacaunya. Begitu pintu tertutup, tubuhnya seketika lunglai, dan ia terjatuh di atas karpet yang penuh dengan barang-barang berserakan. Mata Jessica memerah, air matanya mengalir deras tanpa henti. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel yang sebelumnya dilemparkan ke sudut ruangan. Namun, layar ponsel itu hanya memantulkan bayangan wajahnya yang kusut dan penuh amarah. “Kenapa semua jadi begini?” tanyanya dengan Isak tangis yang membarengi. “Padahal, semuanya berjalan lancar sejak awal.” Jessica makin terpuruk. Tidak ada pesan dukungan, tidak ada panggilan dari orang-orang yang dulu selalu mengelilinginya. Dia sendirian. Bahkan Hendrick, yang pernah ia anggap sebagai pelindung, orang yang paling mencintai, dan masa depannya telah meninggalka
Sudah dua minggu berlalu. Elle kini benar-benar seperti kehilangan harapan. Kabar tentang Lavine sama sekali tidak ada, seolah pria itu lenyap begitu saja dari dunia. Nomor ponsel Lavine tetap tidak bisa dihubungi, bahkan lewat jalur lain pun tidak membuahkan hasil apapun. Rose sempat mencoba menghibur Elle, mengatakan mungkin Lavine pergi untuk alasan pribadi. Tapi di hati kecilnya, Elle tahu ini lebih dari sekadar ‘pergi tanpa pamit.’ Ada sesuatu yang terjadi, tapi entah apa itu. Setiap malam, Elle duduk di ruang tamu apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan terakhir dari Lavine tetap utuh, tidak bertambah sama sekali. Di kantor, Elle memang tetap tampil profesional. Namun mereka yang mengenalnya dengan baik, seperti Rose dan beberapa staf dekat, bisa melihat ada perubahan di mata Elle. Tatapannya sering kosong, sering kali terdiam lama tanpa ia sadari.
Elle berlari menyusuri bibir pantai, memanggil-manggil nama Lavine dengan suara parau. Pasir basah mengotori kakinya, dan ombak kecil terus menerpa kakinya yang makin gemetar. Malam semakin larut, suasana pantai yang tadinya meriah berubah sunyi dan mencekam. Rose yang mengejar dari belakang segera mengambil ponselnya. Dengan tangan yang bergerak gugup, ia menghubungi pusat keamanan setempat. “Ini darurat!” seru Rose kepada petugas yang mengangkat telepon. “Kami telah kehilangan seseorang. Kami butuh bantuan pencarian segera di sekitar area pantai!” Petugas itu segera mengonfirmasi laporan Rose dan mengerahkan beberapa anggota tim penyelamat yang memang sudah bersiaga di lokasi acara tersebut. Sementara itu, Elle terus mencari, matanya nanar menatap setiap sudut pantai. “Lavine, jawab aku...! Dimana kau sekarang...” Elle hampir menangis. Dia terus berlarian,mencari ke manapun yang bisa di jangkau.
Dengan luka di lengannya yang terus mengalirkan darah, Lavine tetap berusaha tenang. Ia tahu, jika membuat keributan, orang-orang di area barbeque bisa panik dan suasana akan menjadi kacau. Ia menekan lukanya dengan kain yang ia temukan di sekitar tempat sampah, lalu menyusuri lorong belakang penginapan menuju jalan alternatif ke kamarnya. “Badjingan itu... jangan harap kau bisa mengelak kali ini,” batin Lavine. Langkahnya cepat dan sigap meski tubuhnya terasa lemas. Beberapa kali ia berhenti untuk memastikan tidak ada lagi yang mengikutinya. Begitu sampai di kamar, ia langsung mengunci pintu dan menahan napas sejenak, berusaha memproses apa yang barusan terjadi. Sebelum melakukan yang lain, ia cepat mengambil ponselnya, menghubungi Jordi. “Jemput aku sekarang. Seseorang mencoba untuk membunuhku. Aku di pantai...” Setelah selesai menghubungi Jordi, Lavine membuka laci dan mengambil kotak P3K yang tersedia di kamar itu, l
Lavine terbahak-bahak melihat bagaimana Elle terus-menerus mual sambil memegangi perutnya yang sakit. Cara Lavine mengendarai boat sebelumnya memang sangat ekstrem dan tidak stabil, membuat Elle kewalahan menahan rasa pusing dan mual. Elle menoleh dengan wajah kesal, lalu memukul lengan Lavine pelan. “Kau sengaja ya melakukan itu, biar aku muntah?” gerutunya. Lavine hanya tertawa makin keras sambil mengangkat tangan, pura-pura minta maaf. “Sumpah, aku cuma ingin memberikan sebuah pengalaman seru!” katanya, masih dengan nada menggoda. “Tapi, sepertinya terlalu seru untukmu, ya? Hahaha.....” Elle menghela napas panjang, lalu duduk kembali sambil menenangkan perutnya. “Pengalaman seru katamu... aku hampir mati mabuk laut,” gumamnya pelan. Lavine hanya bisa tersenyum geli, menatap Elle yang masih cemberut tapi dalam hatinya justru terlihat manis saat marah-marah seperti itu.
Elle tersenyum kecil tanpa sadar, matanya mengikuti setiap langkah Lavine yang berjalan dengan santai mendekatinya. Pria itu tampak sangat berbeda dari biasanya, setelan santainya kali ini justru membuatnya terlihat semakin menarik. Celana pendek berwarna netral, kemeja polos berlengan pendek yang sedikit tergulung di lengan, serta rambutnya yang berantakan ditiup angin, semua itu berpadu sempurna dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Elle menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis pikirannya sendiri yang makin tidak karuan belakangan ini. “Apa yang sebenarnya aku pikirkan, sih? Bisa-bisanya aku memiliki perasaan aneh ini?” gumamnya di dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memalingkan pandangannya, berharap detak jantungnya bisa kembali tenang. Tapi dari sudut matanya, ia tahu, Lavine menyadari pandangan yang tertuju padanya sejak tadi. Lavine tersenyum lebar saat akhirnya bisa d
“Kenapa kau tidak membalas pesan dariku?” Lavine menghela napas. “Takutnya kau cuma terpaksa mengajak saja, jadi aku tidak membalas pesan mu.” Elle pun berdecih sebal. “Sejak kapan kau peduli sekali dengan pendapatan ku? Bukanya kau hobi melakukan apa yang ingin kau lakukan tanpa peduli pendapat orang lain?” Mendengar itu, Lavine pun terkikik sendiri. “Ya ampun... Sekarang ini kau sudah sangat memahami ku, ya? Duh... jadi tersanjung. Kau pasti banyak memperhatikan ku belakangan ini, ya?” Elle menghela napas dengan ekspresi wajahnya yang sebal. “Gila kau ini. Mau atau tidak? Ada banyak kegiatan seru yang akan dilakukan dengan para staff kantor. Aku juga sudah menyiapkan door prize, loh...” Lavine tersenyum, sejak tadi terus mengamati ekspresi wajah Elle yang seperti berharap padanya. “Baiklah...” Setelah selesai berbicara dengan Elle, Lavine masuk ke dalam mobilnya dengan gerakan malas. Jordi, yang sudah menunggu di b
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,