Setelah unggahan itu dipublikasikan, efeknya langsung menyebar luas dengan membara seperti api yang melahap hutan kering.
Tidak membutuhkan waktu lama, komentar demi komentar mulai membanjiri platform media sosial dari unggahan tersebut. “Ini tidak mungkin! Masa calon pejabat negara bertingkah seperti itu?! Menggelikan!!!” tulis salah satu pengguna media sosial. “Memangnya hal seperti ini aneh? Banyak pejabat yang hobinya begitu, cuma dia sial saja karena ketahuan, hahaha....” balas pengguna lainnya dengan nada sinis. Gelombang kemarahan publik semakin membesar saat seorang pengguna anonim mengaku bekerja di sebuah hotel bintang lima di kota besar itu. Dia memberikan kesaksian yang terkesan meyakinkan, bahwa Tuan Luis sering datang ke hotel tersebut dengan wanita muda berbeda setiap kali berkunjung. Pengakuan itu membuat dugaan masyarakat terhadap kebobrokan moral Tuan Luis semakin lebih ku“Sudah ku bilang, jangan remehkan orang buta,” jawab William. “Aku sensitif sekali dengan gerakan dan suara. Kau selalu lupa dengan itu, ya?”****Jessica berdiri di ruang tamu rumah yang luas dan hangat milik keluarga Hendrick, namun terasa dingin dan kosong. “Kenapa kau datang ke sini?” Mendengar suara Hendrick, Jessica melangkah cepat ke arah Hendrick yang baru saja masuk dengan wajah lelah dan penuh kekesalan. “Hendrick! Kenapa kau tidak membalas pesan atau menerima teleponku? Aku sudah mencoba berkali-kali!” seru Jessica dengan nada penuh emosi dan kekalutan. Hendrick pun mendengus, wajahnya menjadi makin tegang. Ia menepis tangan Jessica yang mencoba mendekatinya. “Jangan cari aku, Jessica. Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan skandal mu. Situasimu sekarang adalah bencana, dan aku tidak ingin terseret dalam skandal keluargamu.” Mendengar itu, Jessica tertegun, tatapannya penuh rasa
Jessica masuk ke kamarnya dengan langkah berat membawa perasaan kacaunya. Begitu pintu tertutup, tubuhnya seketika lunglai, dan ia terjatuh di atas karpet yang penuh dengan barang-barang berserakan. Mata Jessica memerah, air matanya mengalir deras tanpa henti. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel yang sebelumnya dilemparkan ke sudut ruangan. Namun, layar ponsel itu hanya memantulkan bayangan wajahnya yang kusut dan penuh amarah. “Kenapa semua jadi begini?” tanyanya dengan Isak tangis yang membarengi. “Padahal, semuanya berjalan lancar sejak awal.” Jessica makin terpuruk. Tidak ada pesan dukungan, tidak ada panggilan dari orang-orang yang dulu selalu mengelilinginya. Dia sendirian. Bahkan Hendrick, yang pernah ia anggap sebagai pelindung, orang yang paling mencintai, dan masa depannya telah meninggalka
Tiga hari telah berlalu, tetapi berita tentang Tuan Luis dan Jessica masih bergema seperti badai yang tidak kunjung reda. Setiap media sosial, portal berita, bahkan pembicaraan di lingkungan elite tidak lepas dari topik panas ini. Nama Tuan Luis dan Jessica menjadi bahan hinaan, cemoohan, dan lelucon yang menyebar dengan cepat. Komentar pedas menghiasi kolom berita online. Banyak yang menyebut Jessica dan Tuan Luis sebagai ‘Pasangan Ayah dan Anak Paling Buruk,’ sebuah julukan yang memperburuk kondisi mental Jessica saat ini. Perempuan itu kini makin terpuruk. Tidak lagi ingin keluar dari kamarnya, bahkan tidak makan atau minum sekalipun. Tubuhnya mulai melemah, tapi rasa malunya lebih besar daripada rasa laparnya. Tuan Luis sendiri tengah sibuk berusaha menyelamatkan reputasinya. Menghubungi sponsor, investor, dan kenalan pebisnis yang dulu menghormatinya. Namun, usaha itu amatla
Emily duduk di atas tempat tidurnya, matanya tak lepas dari layar laptop yang sedang melakukan siaran langsung konferensi pers yang disampaikan oleh wakil duta negara. Senyumnya merekah saat mendengar pengumuman resmi yang ia tunggu-tunggu sejak lama. “Tuan Luis telah ditarik mundur dari semua jabatan dan diskualifikasi dari pencalonan untuk posisi apapun di masa depan. Selain itu, akan dilakukan penyelidikan menyeluruh terkait kasus ini. Jika terbukti benar bersalah maupun terkaitan dengan kasus lain, beliau akan dikenakan sanksi berat sesuai hukum yang berlaku.” Emily menghela napas lega, hatinya berdebar penuh rasa puas. “Akhirnya,” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Ponsel di mejanya bergetar, sebuah pesan masuk dari Azura, ‘Terima kasih, Emily. Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas semua ini.’ Emily tersenyum kecil sambil mengetik balasan. ‘Ini bukan hanya untukmu, Azura. Ini untuk semu
William pulang ke rumah sekitar pukul 20:00. Begitu masuk ke dalam kamar, matanya langsung tertuju kepada Emily yang dalam kondisi tidur. Masih mengunakan pakaian yang sama saat William berangkat kerja. Tangan William perlahan terulur, menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian wajah Emily. “Dia benar-benar terlihat sangat cantik, bahkan saat dia tidur,” gumam William, pelan. Namun, adanya hansaplast di jari Emily menyita perhatian, dan pertanyaan di hatinya. Bukan hanya satu atau dua, hampir semua jari Emily dibalut hansaplast. “Apa yang dia lakukan seharian ini memangnya?” ujar William, di dalam hatinya. Gegas dia melepaskan pakaiannya, tentu dengan hati-hati karena dia tidak ingin membuat Emily bangun. Setelah selesai mengganti pakaian, William keluar dari kamar sambil membawa tongkatnya menuju ke ruang kerjanya. Sampai d
Emily hanya bisa menatap kepergian William dan juga Robert dengan tatapan bingung. Entah apa yang terjadi sebenarnya, kedua orang itu nampak terburu-buru. “Apa ini tentang perusahaan?” gumam Emily. Ia pun menghela napas, sadar ia tidak bisa memberikan bantuan apapun. Yah... sadar diri juga otaknya tidak secerdas William. Di mobil, Robert menjalankan mobilnya dengan cepat. Pria itu benar-benar fokus, tidak ingin mencelakai William. “Tentang apa, Robert?” tanya William yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Robert mengeratkan pegangan tangannya pada kemudi mobil. Ada rasa khawatir yang mendalam, namun sadar wajib untuknya beritahu keadaan yang sesungguhnya kepada William. Dengan menarik napasnya dalam-dalam, Robert pun mulai mengatakan yang terjadi. “Nenek anda, beliau menghubungi para petinggi, membujuk untuk ikut serta dalam kerja sama perusahaan milik Tuan Hendrick.” Ucapan
Hari itu, Tuan Luis duduk di ruang kerjanya yang sunyi. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, tetapi tidak ada satu pun yang ingin dia baca. Wajahnya kusut, penuh dengan kerutan frustrasi. Sejak skandal itu mencuat, kehidupannya berubah drastis. Teleponnya berdering berkali-kali, tetapi dia tidak mengangkatnya. Dia tahu pasti itu hanya panggilan dari wartawan yang ingin menggali lebih dalam kehancuran reputasinya. Bahkan, beberapa mitra bisnis yang dulu selalu siap membantu kini menghilang tanpa jejak. Yang lebih menyakitkan, istrinya pun telah pergi. Semalam, dia mengemasi barang-barangnya, meninggalkan catatan singkat di meja makan. “Luis, aku tidak bisa lagi bertahan dalam kehancuran ini. Nama baikku, bisnis yang sudah kubangun, dan masa depanku tidak seharusnya hancur karena kebodohanmu. Aku akan mengajukan perceraian dan memulai hidup baru. Semoga kau menemukan jalanmu sendiri. Selama
“Akhirnya,...” ucap Emily, girang. Sudah satu minggu berlalu sejak Emily memutuskan untuk memperbaiki guci yang pernah dia pecahkan. Dengan penuh kesabaran, dia menempelkan pecahan demi pecahan menggunakan lem perekat khusus. Meski hasilnya belum sempurna, bentuk guci itu kini hampir kembali seperti semula, meskipun retakan yang membekas di permukaannya tidak bisa disembunyikan. Emily memandangi guci itu dengan senyuman puas. “Setidaknya, aku sudah mencoba memperbaikinya,” gumamnya pelan. Dia berharap William akan menghargai usahanya dan tidak lagi menyimpan rasa kecewa yang mendalam. Dengan hati-hati, Emily membawa guci itu menuju kamar William. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan kepala pelayan. Emily berpura-pura tidak melihat, malas untuk berdebat. Kepala pelayan itu memperhatikan guci di tangan Emily, lalu menyunggingkan senyum sinis. “Ah, guci itu,” ujar kepala pelayan. “Meski
William kembali ke rumah malam itu. Dia mendapatkan informasi dari penjaga gerbang tentang kedatangan Nyonya besar beberapa saat lalu, tapi dia tidak terlalu ingin mempedulikannya. Begitu sampai di kamar, William tidak mendapati Emily di sana. Ia pun menjadi panik. Jangan-jangan Emily kabur. Biasanya Emily akan berada di sana setiap William pulang. “Emily! Emily!” panggil William. Pria itu benar-benar harus tetap berakting buta, padahal dia benar-benar sangat panik. Saat William keluar dari kamar, seorang pelayan rumah datang menghampiri dan berbicara dengan sopan, “Nyonya Emily berada di kamar ujung, Tuan. Siang tadi ada teman Nyonya Emily. Sejak saat itu, Nyonya Emily belum keluar dari kamar itu.” William menganggukkan kepalanya. Dengan gerakan tangan, William meminta pelayan itu pergi. Cukup lega mendengarnya. Setelah yakin tidak ada orang lagi, William berjalan menu
Sore itu, sebelum pulang ke rumah, William melangkah masuk ke sebuah restoran mewah. Di ruang VVIP, Tuan Xavier sudah menunggunya dengan ekspresi tenang, meskipun ada sedikit kelelahan yang terpancar di wajah pria itu. William duduk dan mereka saling bertukar sapa, membahas hal-hal ringan sebelum akhirnya William memutuskan untuk langsung bicara pada intinya. “Beberapa hari ini Emily sering menghubungi anda, Paman,” kata William dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? Jika boleh tahu, apa yang diobrolkan Emily hingga sesering itu dia menghubungi anda?” Tuan Xavier menghela napas perlahan, meletakkan cangkir tehnya ke atas meja dengan gerakan lembut. “Beberapa waktu terakhir, Emily mengalami terlalu banyak kejutan dalam hidupnya, William. Aku yakin kau pun menyadarinya. Tekanan yang dia rasakan tidak kecil. Dia pasti merasa stres dan frustrasi belakangan ini.” William mengangguk pelan.
Elizabeth menatap keluar jendela mobil dengan gelisah. Sudah lebih dari satu jam perjalanan, tetapi mereka masih belum sampai. Jalanan semakin sepi, hanya ada pepohonan di sisi kiri dan juga kanan. Tangannya mengepal erat. Dia sudah beberapa kali bertanya kepada sopir yang mengantarnya, tapi pria paruh baya itu hanya diam, seolah tidak mendengarkan. “Hei! Aku bertanya, kita mau ke mana?” bentaknya, mulai kehilangan kesabaran. Sopir itu tetap tidak menjawab. Frustrasi, Elizabeth menatap gagang pintu. Jika dia tidak segera mendapatkan jawaban, dia akan mengambil resiko, loncat dari mobil ini! “Aku bersungguh-sungguh! Jika kau tidak menjawab, aku akan keluar dari mobil sekarang juga!” ancamnya.sopir itu akhirnya menghela napas dan berbicara dengan nada tenang, “Aku hanya diperintahkan Untuk mengantarmu menemui ibumu. Jadi, tetaplah untuk tenang.”Elizabeth terdiam. Ibu? Pikirann
Emily mengepalkan tangannya erat. Dia hanya bisa menatap punggung Elizabeth yang berjalan menjauh, semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu gerbang rumah itu. Mata Emily memanas, tapi dia menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, tetapi melihat Elizabeth yang biasanya selalu menunjukkan wajah palsu pergi dengan kesan yang nampak marah dan kecewa, Emily pun menjadi gusar. Sementara itu, Elizabeth menundukkan kepalanya, menahan isak tangis yang semakin berat. Dia benar-benar tidak rela meninggalkan rumah itu. Tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa dekat dengan William. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Robert telah mengancamnya, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan bukti yang cukup untuk menghancurkan hidupnya. Dia masih belum tahu di
Pagi itu, suasana di kamar mandi rumah William terasa begitu hangat. Emily dan William tengah berendam bersama di bathtub yang penuh busa. Tawa kecil Emily menggema ketika William dengan lembut menggosok punggungnya. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?” tanya Emily sambil memutar kepala untuk melihat William. William tersenyum tipis, membalas, “Tentu saja. Jarang-jarang aku bisa mandi bersama istriku. Rasanya... aku jadi ingin setiap hari.” Emily tertawa pelan, menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak mungkin serius, kan?”“Serius. Dulu, saat kecil kita juga sering mandi di kolam renang bersama, sayangnya saat itu aku masih sangat polos dan hanya tersenyum bahagia melihat balita menggunakan pakaian renang.”Emily pun terkekeh. Setelah selesai mandi, mereka saling membantu. Emily memakaikan dasi untuk William, sementara William membantu Emily memilih dress santai untuk dikenakan di rumah.
William melangkah masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, seperti biasanya saat dia sedang pulang ke rumah. Namun, kali ini, dia melihat sesuatu yang membuat alisnya sedikit mengernyit. Emily yang tengah memegang ponselnya tiba-tiba menyembunyikan di balik punggung saat melihat dirinya masuk. Emily tersenyum, berusaha terlihat senang Mungkin. Dia segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah William. “Sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa. William menutup pintu dan mengangguk pelan. Dia ingin bertanya tentang ponsel yang disembunyikan Emily, tapi melihat wajah istrinya yang lebih cerah dibanding beberapa hari terakhir, ia memutuskan untuk menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Emily langsung memeluk William erat. William terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu. Sudah berapa waktu ini Emily lebih banyak diam, dan dia yang mengambil inisiatif untuk memeluknya lebih dulu
Pagi itu, di sebuah kafe, tempat Azura bekerja. Azura menatap Robert dengan tatapan tajam, tangannya menyilang di depan dada, sementara proposal di hadapannya tetap tak tersentuh. “Dengar, Tuan Rodet atau Robert, dan... siapa lah itu,” katanya dengan nada datar. “Emily bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup tua, bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Dan aku? Aku bukan pengasuh atau bodyguard. Aku ini pelayan cafe biasa, dan aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang ini.” Robert tetap tenang, meski dia bisa merasakan penolakan keras dari Azura. “Aku tentu saja mengerti posisi anda, Nona Azura. Tapi ini bukan hanya soal pekerjaan saja. Ini soal Nyonya muda Emily. Lagi pula, bekerja di kafe seperti ini tidak mungkin bisa menjamin masa depan anda.”Mendengar itu, Azura pun makin menatap Robert dengan tatapan kesal. Ia memiliki cerita tidak mengenakan dengan para orang kaya, itu cukup membuatnya muak. Walaupun Emily adalah
Johan dan Julia mencoba untuk menemui Emily, namun kesulitan karena baik penjaga gerbang maupun pelayan rumah tidak ada yang memberikan akses. Nyonya besar juga dilarang untuk datang oleh William. Seolah tahu apa yang akan terjadi, William ingin mengantisipasi semua masalah dari luar. Emily sedang kacau belakangan ini, akan mudah baginya dipengaruhi, dan berpikir buruk. Sementara itu, di dalam kamar, Emily menghela napasnya. Sungguh, rasanya bosan sekali terus berada di dalam kamar seperti ini. Akhirnya, Emily memutuskan untuk berjalan-jalan keliling rumah dan taman saja guna mengusir rasa bosan itu. “Aku ingin pergi ke pusat belanja. Makan es krim, beli baju, ahhh... pokoknya apapun yang bisa aku lakukan di sana, deh!” gumamnya. Namun, langkah kaki Emily terhenti saat mendengar suara Elizabeth tengah bicara di telepon. Emily mengerutkan keningnya. “Elizabeth... kenapa dia ada d
Malam itu, di sebuah apartemen. Suara barang pecah belah menggema di dalam kamar Hendrick. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh emosi. Ia baru saja menerima kabar bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, kehancuran bisnisnya, rusaknya reputasinya, dan kekalahannya adalah ulah William dan Emily. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkannya. Hendrick menatap pantulan dirinya di cermin yang kini retak akibat lemparannya. Matanya merah penuh kemarahan. “William... Emily,” gumamnya, “kalian pikir, kalian benar-benar sudah menang?” Ia menyeringai dingin. Tidak. Ini belum berakhir. Dia akan menghancurkan mereka, satu persatu. Jika Emily meninggalkan William, pria itu pasti akan hancur. Atau lebih baik lagi, jika ia bisa membuat mereka saling membenci, itu akan menjadi hukuman terbaik. “Tidak sulit,” Hendrik tertawa. Ia tahu Emily bukan