Kafe itu dipenuhi oleh aroma kopi yang hangat dan percakapan ringan pengunjung.
Di salah satu sudut, Emily duduk dengan tenang, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Di hadapannya, Kelly, wanita dengan senyuman angkuh, tengah menyesap cappuccino-nya. “Ini yang Ibu mertua minta,” kata Emily sambil meletakkan amplop cokelat di meja. Suaranya terdengar tenang, nyaris tak beremosi. Kelly segera meraih amplop itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia membuka segelnya dan memeriksa isinya. Begitu memastikan dokumen-dokumen itu benar, wajahnya bersinar penuh kepuasan. “Bagus, Emily. Kau melakukan hal yang benar,” ucap Kelly dengan nada penuh kemenangan. Emily hanya tersenyum tipis. “Seperti yang sudah aku janjikan, aku hanya ingin membantu. Lagipula, bukankah Ibu berjanji akan mengembalikan dokumen itu setelah selesai?” Kelly mengangguk cepat, masih asyik memandangi dokumen itu. “Tentu. Kau tidak perlu khawatir. Ini hanya seHendrick duduk dengan percaya diri di ruangan pengacara keluarganya. Di sebelahnya, Kelly menyilangkan kaki sambil tersenyum penuh kemenangan. Di atas meja, amplop cokelat yang berisi dokumen yang mereka yakini akan menghancurkan William telah dibuka. “Dokumen ini adalah kunci,” ucap Hendrick dengan nada penuh kepastian. “Kami ingin Anda mulai memindahkan kepemilikan saham yang tertera di sini. Dengan ini, perusahaan William akan menjadi milik kami secara bertahap, tanpa ada keributan.” Pengacara tersebut memegang dokumen itu dengan wajah datar, memeriksa setiap lembar dengan seksama. Namun, setelah beberapa saat, ekspresinya berubah menjadi kaku. Dia menatap Hendrick dan Kelly dengan tajam, lalu menghempaskan dokumen itu ke meja. “Ini dokumen palsu,” katanya dingin, menatap Hendrick dengan tatapan yang penuh amarah. Hendrick dan Kelly melotot kaget. “Apa?!” seru Kelly, suaranya nyaris pecah. “Itu
Mendengar ucapan Robert, William pun menghela napasnya. “Entah apa alasannya, aku tidak terlalu peduli. Sekarang, aku hanya ingin melihat setulus apa Emily pada pria buta ini.” Robert pun mengangguk paham. “Kedepannya, pastikan Emily selalu aman, lakukan secara diam-diam.” William menegaskan. “Baik, Tuan,” jawab Robert. **** Emily duduk di pinggir tempat tidur, tangannya erat meremas ujung selimut dengan gelisah. Wajahnya sedikit pucat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk untuk hubungannya dengan William. Dia yakin William masih marah, dan malam ini pasti tidak akan datang lagi ke kamar. “Aku ingin menemui William. Tapi, dia di mana, ya?” gumamnya. Klek! Pintu kamar tiba-tiba terbuka perlahan, membuat Emily langsung menoleh. Di sana, berdiri William dengan tongkatnya, langkahnya teratur namun tetap memancarkan aura yang tak tergoyahkan.
William terdiam, menahan kesal. Emily menoleh pada pintu, untungnya para pelayan benar-benar sopan, tidak ada yang asal buka pintu. “William, Ayah dan Ibumu datang. Ayo temui mereka,” ucap Emily. Wanita itu menunggu William bangkit dari atas tubuhnya, namun itu tak kunjung terjadi. “Ini salah mereka yang datang di waktu tidak tepat. Lanjutkan saja apa yang ingin kita lakukan,” ucap William, masa bodoh. Mendengar itu, melotot Emily jadinya. “Kau gila ya, William?!” Benar-benar seperti yang diucapkan, William tidak peduli. Pria itu melanjutkan apa yang dia inginkan lakukan. “William... kau benar-benar serius dengan ini?” tanya Emily, menahan diri dengan menggigit bibir bawahnya saat pria itu menyentuh bagian dadanya. Sejenak menatap ke arah pintu, pelayan rumah pasti masih berdiri di sana.
“Emily, apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan?” tanya Sebastian. Dengan cepat, tanpa ragu, Emily pun menganggukkan kepalanya. “Sadar, sadar sekali, Ayah mertua.” Sebastian nampak menahan diri. Kelly mengepalkan tangannya. Sejujurnya, dia cukup menyukai Emily karena gadis itu sangat patuh, dan terlihat siap mencintai Hendrick seumur hidupnya. Tidak meragukan hal itu sebelumnya, Emily bahkan melakukan apapun yang diinginkan Kelly, maupun Hendrick. Tapi, sepertinya sekarang benar-benar tidak bisa mengharapkan apapun dari Emily. William, dengan ekspresi yang dingin berkata, “Sebelum datang ke sini, aku yakin anda berdua sudah bisa menebak, kira-kira apa jawaban yang aku akan berikan saat anda berdua mengatakan itu. Jadi, pergilah jika tidak ada kepentingan lagi.” Kelly merasa terhina, terusir. “Kau benar-benar sangat tidak manusiawi, William.” Emily menatap Se
“William, apa tidak apa-apa kalau kita meninggalkan orang tuamu begitu saja?” tanya Emily. Mereka sudah kembali masuk ke dalam kamar, entah apa yang sedang dilakukan oleh Sebastian dan juga Kelly di sana. Mungkin juga sudah pulang. Mendengar itu, William pun hanya menghela napasnya. Dia membawa Emily menuju ke tempat tidur. “Tidurlah, Kau pasti kelelahan, kan?” ujar William. Sadar bahwa William tidak ingin membahas soal Sebastian dan juga Kelly, Emily pun memilih untuk diam dan tidak membahas hal itu lagi. Cukup sudah dia mengetahui keadaan, atau hubungan William dan juga kedua orang itu tidak baik. Begitu mereka sudah dalam posisi berbaring, Emily langsung menghadap ke arah William. “Kau belum mau tidur?” tanya William. “Ada yang ingin kau bicarakan padaku?” Emily mendengus. “Kau benar-benar memiliki indera ke enam, ya? Terlalu sensitif. Kau bahkan tahu apa yang ak
Emily sampai di rumah kedua orang tuanya. Dengan panik, Emily bergegas menuju ke kamar orang tuanya untuk melihat bagaimana keadaan ayahnya. “Ayah,” panggil Emily sambil membuka pintu kamar. Benar saja, Ayahnya Emily tengah berbaring lemah di tempat tidur. “Ayah,” Emily berjalan mendekati Johan, duduk di pinggiran tempat tidur sambil menggenggam tangan pria itu. “Bagaimana keadaan Ayah sekarang?” Johan tersenyum. Lembut tangannya mengusap kepala Emily. Matanya yang dalam menatap Emily itu membuatnya terlihat seolah sedang mencoba menahan sesuatu. “Ayah baik-baik saja, Emily. Kau datang sendiri?” tanya Johan. Emily menganggukkan kepalanya, “Dengan sopir, William tidak bisa ikut karena harus ke kantor.” Johan menghela napasnya. “Ternyata, hubunganmu dengan William benar-benar baik, ya?” Mendengar itu, cepat Emily tersenyum dan menjawab, “Benar, Ayah. Kami memutuskan untuk memperbaiki hubu
“Breppppp....” William menyemburkan teh hangat yang tengah ia seruput. “Uhuk uhuk!” ia pun terbatuk-batuk. Dia benar-benar tidak menyangka kalau akan mendengar suara Emily yang tengah membandingkan miliknya dengan Hendrick. “Nyonya Emily benar-benar mendekati gila,” ujar Robert, tidak habis pikir. William menyeka sisa teh yang mengenai lengannya. Menahan malu, William menegaskan kepada Robert, “Jangan sembarangan, dia istriku.” Hanya memutarkan bola matanya, Robert tetap saja tidak peduli. “Ide anda untuk memasang alat penyadap di tas Nyonya Emily memang keren. Tapi, sayangnya saya jadi menyesal sudah ikut mendengarkan pembicaraan itu,” ujar Robert. William berdehem beberapa kali, mengusir rasa kikuk itu. “Aku dan Emily adalah pasangan suami istri, kegiatan seksua
“Jessica, dia pasti akan menghancurkan ku, juga akan menghancurkan William.” Azura bingung, dia tidak memahami apa yang terjadi. Selama ini, dia benar-benar tidak ingin tahu menahu tentang kehidupan Emily. “Kau tahu dari mana dia akan melakukan itu, Emily?” tanya Azura. Emily menatap Azura dengan serius. Ia pun mulai menceritakan apa yang terjadi, dan apa yang membuatnya berubah seperti sekarang ini. “Jadi begitu, ya?” ujar Azura, merasa tak terkejut karena dia sudah tahu sejak lama bagaimana Jessica yang sebenarnya. “Bukan hanya itu, Azura,” ungkap Emily, semakin serius pembicaraannya. “Ayahnya Jessica akan naik sebagai pejabat negara, dan ini akan sangat menyulitkan untukku.” “Jika Ayahnya Jessica mendapatkan jabatannya, maka Hendrick juga akan semakin sulit untuk dilawan. Saat ini, perusahaan Hendrick memang sedang gonjang ganjing. Tapi, Hendrick itu c
Sudah dua minggu berlalu. Elle kini benar-benar seperti kehilangan harapan. Kabar tentang Lavine sama sekali tidak ada, seolah pria itu lenyap begitu saja dari dunia. Nomor ponsel Lavine tetap tidak bisa dihubungi, bahkan lewat jalur lain pun tidak membuahkan hasil apapun. Rose sempat mencoba menghibur Elle, mengatakan mungkin Lavine pergi untuk alasan pribadi. Tapi di hati kecilnya, Elle tahu ini lebih dari sekadar ‘pergi tanpa pamit.’ Ada sesuatu yang terjadi, tapi entah apa itu. Setiap malam, Elle duduk di ruang tamu apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan terakhir dari Lavine tetap utuh, tidak bertambah sama sekali. Di kantor, Elle memang tetap tampil profesional. Namun mereka yang mengenalnya dengan baik, seperti Rose dan beberapa staf dekat, bisa melihat ada perubahan di mata Elle. Tatapannya sering kosong, sering kali terdiam lama tanpa ia sadari.
Elle berlari menyusuri bibir pantai, memanggil-manggil nama Lavine dengan suara parau. Pasir basah mengotori kakinya, dan ombak kecil terus menerpa kakinya yang makin gemetar. Malam semakin larut, suasana pantai yang tadinya meriah berubah sunyi dan mencekam. Rose yang mengejar dari belakang segera mengambil ponselnya. Dengan tangan yang bergerak gugup, ia menghubungi pusat keamanan setempat. “Ini darurat!” seru Rose kepada petugas yang mengangkat telepon. “Kami telah kehilangan seseorang. Kami butuh bantuan pencarian segera di sekitar area pantai!” Petugas itu segera mengonfirmasi laporan Rose dan mengerahkan beberapa anggota tim penyelamat yang memang sudah bersiaga di lokasi acara tersebut. Sementara itu, Elle terus mencari, matanya nanar menatap setiap sudut pantai. “Lavine, jawab aku...! Dimana kau sekarang...” Elle hampir menangis. Dia terus berlarian,mencari ke manapun yang bisa di jangkau.
Dengan luka di lengannya yang terus mengalirkan darah, Lavine tetap berusaha tenang. Ia tahu, jika membuat keributan, orang-orang di area barbeque bisa panik dan suasana akan menjadi kacau. Ia menekan lukanya dengan kain yang ia temukan di sekitar tempat sampah, lalu menyusuri lorong belakang penginapan menuju jalan alternatif ke kamarnya. “Badjingan itu... jangan harap kau bisa mengelak kali ini,” batin Lavine. Langkahnya cepat dan sigap meski tubuhnya terasa lemas. Beberapa kali ia berhenti untuk memastikan tidak ada lagi yang mengikutinya. Begitu sampai di kamar, ia langsung mengunci pintu dan menahan napas sejenak, berusaha memproses apa yang barusan terjadi. Sebelum melakukan yang lain, ia cepat mengambil ponselnya, menghubungi Jordi. “Jemput aku sekarang. Seseorang mencoba untuk membunuhku. Aku di pantai...” Setelah selesai menghubungi Jordi, Lavine membuka laci dan mengambil kotak P3K yang tersedia di kamar itu, l
Lavine terbahak-bahak melihat bagaimana Elle terus-menerus mual sambil memegangi perutnya yang sakit. Cara Lavine mengendarai boat sebelumnya memang sangat ekstrem dan tidak stabil, membuat Elle kewalahan menahan rasa pusing dan mual. Elle menoleh dengan wajah kesal, lalu memukul lengan Lavine pelan. “Kau sengaja ya melakukan itu, biar aku muntah?” gerutunya. Lavine hanya tertawa makin keras sambil mengangkat tangan, pura-pura minta maaf. “Sumpah, aku cuma ingin memberikan sebuah pengalaman seru!” katanya, masih dengan nada menggoda. “Tapi, sepertinya terlalu seru untukmu, ya? Hahaha.....” Elle menghela napas panjang, lalu duduk kembali sambil menenangkan perutnya. “Pengalaman seru katamu... aku hampir mati mabuk laut,” gumamnya pelan. Lavine hanya bisa tersenyum geli, menatap Elle yang masih cemberut tapi dalam hatinya justru terlihat manis saat marah-marah seperti itu.
Elle tersenyum kecil tanpa sadar, matanya mengikuti setiap langkah Lavine yang berjalan dengan santai mendekatinya. Pria itu tampak sangat berbeda dari biasanya, setelan santainya kali ini justru membuatnya terlihat semakin menarik. Celana pendek berwarna netral, kemeja polos berlengan pendek yang sedikit tergulung di lengan, serta rambutnya yang berantakan ditiup angin, semua itu berpadu sempurna dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Elle menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis pikirannya sendiri yang makin tidak karuan belakangan ini. “Apa yang sebenarnya aku pikirkan, sih? Bisa-bisanya aku memiliki perasaan aneh ini?” gumamnya di dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memalingkan pandangannya, berharap detak jantungnya bisa kembali tenang. Tapi dari sudut matanya, ia tahu, Lavine menyadari pandangan yang tertuju padanya sejak tadi. Lavine tersenyum lebar saat akhirnya bisa d
“Kenapa kau tidak membalas pesan dariku?” Lavine menghela napas. “Takutnya kau cuma terpaksa mengajak saja, jadi aku tidak membalas pesan mu.” Elle pun berdecih sebal. “Sejak kapan kau peduli sekali dengan pendapatan ku? Bukanya kau hobi melakukan apa yang ingin kau lakukan tanpa peduli pendapat orang lain?” Mendengar itu, Lavine pun terkikik sendiri. “Ya ampun... Sekarang ini kau sudah sangat memahami ku, ya? Duh... jadi tersanjung. Kau pasti banyak memperhatikan ku belakangan ini, ya?” Elle menghela napas dengan ekspresi wajahnya yang sebal. “Gila kau ini. Mau atau tidak? Ada banyak kegiatan seru yang akan dilakukan dengan para staff kantor. Aku juga sudah menyiapkan door prize, loh...” Lavine tersenyum, sejak tadi terus mengamati ekspresi wajah Elle yang seperti berharap padanya. “Baiklah...” Setelah selesai berbicara dengan Elle, Lavine masuk ke dalam mobilnya dengan gerakan malas. Jordi, yang sudah menunggu di b
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,