Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”
Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik. Plak! Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick! William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini. Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya. “Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick. Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily. Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang. Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.” Hendrick mengepalkan tangannya. Lagi-lagi harus menahan diri. “Apa yang kau lakukan sekarang Pasti karena kau sedang tidak sadar. Jadi, kalau kau datang lagi padaku untuk memohon pengampunan dariku, kau akan membayarnya dengan sangat mahal!” ancamnya, “aku tidak memiliki kesabaran yang terlalu banyak. Jadi, Jangan datang padaku lagi dan mengemis cinta dariku jika kau tidak benar-benar memahami kesalahanmu!” Hendrick melangkah pergi, amarahnya pun hanya bisa ia tahan di dadanya. Emily tersenyum senang karena berhasil membalas setidaknya 1% rasa sakit hatinya. Hanya saja, suara asisten William menginterupsi kebahagiaannya itu. “Wah, kalian berdua benar-benar sangat totalitas sekali, ya. Sungguh, saya benar-benar sangat tersentuh. Nona Emily, Apakah perlu Saya mendaftarkan anda untuk mengikuti casting?” cemoohnya. Emily menaikkan satu sisi bibirnya. Dia tahu perlakuannya tidak baik pada William selama ini. Akan tetapi, perilaku Robert ini kadang-kadang di luar batas wajar antara asisten dan atasan! “Jadi, apa kau iri, sekretaris Robert? Bagaimana, mau coba rasanya tamparan dariku?” kesal Emily pada pria itu. “Sudah jangan bertengkar.” Suara bariton William menginterupsi, “lagipula, masih ada tahapan pemeriksaan yang perlu Emily lakukan.” Emily dan Robert menghela napas. Mereka tampaknya harus menunda pertengkaran mereka! *** Drap! Suara langkah sepatu terdengar di lorong rumah besar itu. Emily dan William baru saja tiba setelah dokter yang untungnya, menyatakan bahwa kondisi wanita itu cukup membaik untuk pulang ke rumah. Ruang tengah yang luas dengan dekorasi klasik langsung menyambut keduanya. Emily diam-diam melirik pria yang berjalan perlahan di sampingnya, tangannya terulur memegang tongkat penuntun. Setelah duduk di sofa saling berseberangan, Emily menatap William dengan pandangan yang baru. Wajah pria itu begitu tenang, garis-garis wajahnya sempurna. Ia benar-benar tampan, sesuatu yang baru disadari Emily setelah dua tahun mereka menikah. “Ya ampun...” Emily keheran. “Tercolok apa mataku sampai-sampai bisa melihat Hendrick menjadi sangat sempurna?” bisiknya. Emily menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Betapa bodohnya ia karena selama ini mengabaikan William dan malah mengejar Hendrick, pria yang hanya membawa luka dalam hidupnya. Pikiran itu membuat dadanya sesak. Tak lama, langkah kaki lain terdengar. Robert masuk membawa selembar dokumen di tangannya. “Tuan, ini dokumennya,” katanya dengan sopan. William mengulurkan tangannya, lalu Robert menyerahkan dokumen itu. Dengan gerakan penuh kehati-hatian, William meletakkannya di meja di depannya, tepat di antara dia dan Emily. “Emily,” suara William terdengar tenang namun tegas, “ini adalah dokumen yang perlu kau sepakati jika kau benar-benar ingin tetap berada di sisiku dan mempertahankan pernikahan kita.” Emily menatap dokumen itu dengan sedikit ragu, namun rasa ingin tahu mengalahkan segalanya. Ia meraihnya dengan cepat, membuka halaman pertama, dan mulai membaca. 1. Emily tidak boleh pergi dari rumah tanpa izin William. 2. Emily tidak boleh memiliki hubungan apapun dengan Hendrick maupun pria lainnya, baik secara langsung maupun melalui media sosial. 3. Emily harus berhenti membuang uang untuk hal-hal yang tidak penting. 4. Emily tidak boleh lagi menggunakan pakaian seksi di luar rumah. 5. Emily harus mulai terbuka dalam segala hal kepada William. 6. Emily tidak boleh lagi tinggal di kamar terpisah dari William. 7. Jika Emily kedapatan membantu Hendrick untuk merebut proyek besar di perusahaan William, maka Emily akan menanggung biaya ganti rugi secara keseluruhan. Emily menyelesaikan bacaannya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ia menatap William, yang wajahnya tetap tenang tanpa emosi berlebih. “Apakah ada yang tidak kau setujui?” tanya William, kepalanya sedikit miring ke arah Emily. Emily menggeleng perlahan. “Tidak, aku setuju,” jawabnya dengan suara lembut. Tidak ada poin dalam dokumen itu yang terasa memberatkan. Ia bahkan merasa lega. Baginya, William, dengan kondisinya yang buta, tidak mungkin melakukan sesuatu yang aneh atau berbahaya. “Baiklah,” kata William singkat. “Jika begitu, tanda tangani.” Emily mengambil pena yang telah disiapkan di samping dokumen, lalu menuliskan namanya di bawah perjanjian itu. “Sudah ditandatangani, Tuan,” ucap Robert, mengabarkan. William tersenyum samar, sebuah senyum yang sulit diartikan. “Kau sudah membuat keputusan, Emily,” ucap William perlahan. “Dan aku harap kau tidak akan menyesalinya.” Emily merasa ada sesuatu di balik kata-kata itu, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Ini hanyalah awal baru dalam memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Ia tidak tahu bahwa keputusan ini akan membawa hidupnya ke arah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Beberapa saat kemudian. William duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni. Suara langkah Robert terdengar semakin dekat, lalu pria itu masuk. “Tuan, Nyonya Emily sudah menandatangani dokumen itu, bagaimana selanjutnya?” kata Robert. William menegakkan kepalanya sedikit, ekspresi wajahnya tetap tenang meski ada sedikit kerutan di dahinya. “Biarkan saja, Robert. Aku pun menginginkan Emily, seperti ini juga bagus,” jawabnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana ekspresi Emily saat menandatanganinya?” “Tidak ada keraguan atau ekspresi yang menunjukkan ketidaksetujuan. Nona Emily membacanya dan langsung menandatanganinya.” William terdiam. Pikiran di kepalanya berputar cepat. Kenapa Emily berubah begitu drastis? Apa yang membuatnya begitu mudah menyetujui perjanjian itu? Padahal, poin ke-7 dalam dokumen itu jelas ditulis dengan cetakan tebal agar Emily bisa memahaminya dengan baik: Emily akan menanggung biaya ganti rugi bila dirinya kedapatan membantu Hendrick. William sengaja menambahkan poin itu untuk menguji kesungguhan Emily. Ia ingin tahu apakah Emily benar-benar siap berkomitmen atau hanya mencoba memperbaiki kesan buruknya di mata William. Namun, kenyataan bahwa Emily tidak menunjukkan keberatan justru membuatnya bingung. “Apakah dia ada mengatakan sesuatu tanpa aku tahu?” tanya William akhirnya.Robert menggeleng. “Sepertinya, tidak, Tuan. Dia hanya membaca, mengangguk, lalu menandatangani dokumen itu.”William menghela napas panjang. Ada sesuatu yang aneh. Emily, yang selama ini dikenal keras kepala dan sering melawan, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang patuh dan tidak mempertanyakan apa pun.“Aku ingin kau memperhatikan Emily lebih dekat, Robert,” kata William akhirnya. “Aku juga akan memantaunya.”Robert mengerutkan keningnya. “Tuan, apa Anda yakin? Bagaimana kalau Nona Emily curiga dengan—”William memotong pembicaraan, “Tenang saja. Aku paham bagaimana aku harus bersikap.”“Baik, Tuan.” Robert membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruangan.Begitu Robert keluar dari ruangan itu, tak sengaja ia pun mendengar Emily sedang bicara di telepon.“Ada apa lagi, Hendrick?” tanya Emily, suaranya terdengar kesal. “Kenapa aku harus menemui mu? Ah, baiklah... Kau di mana sekarang?”“Dia benar-benar masih lah rubah betina yang licik,” gumam Robert pelan. “Jangan kira aku akan m
Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka. Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga
Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Emily, kau di sini?” tanya William. Gelagapan, Emily tidak tahu harus mengatakan apa. Ah, tapi dia tidak bisa bohong! William sudah mendengar suaranya tadi. “I–iya, aku baru saja datang, William,” jawab Emily, gugup. “Benarkah?” William tersenyum, membuat Emily merasa malu. “J–jangan tersenyum seperti itu, William! Aku tidak melihat anumu, kok. Sumpah, deh!” “Pft!” William pun menahan tawa, “baiklah, aku percaya padamu.”“Ih!!” Emily menghentakkan kakinya, merasa kesal karena William pasti tidak percaya, dan tengah menggodanya. ****Pagi itu, William dan Emily duduk bersama di meja makan. Emily dengan cekatan menyendokkan makanan ke piring William, lalu ke piringnya sendiri. “Silakan, William,” katanya lembut sambil meletakkan piring di hadapan pria itu. William mengendus aroma makanan di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menebak apa itu. “Emily, makanan apa ini?” Emily menjawab cepat, “Aku memasak ikan segar. Menu sederhana, tapi aku
“Apa kau berniat membunuh Tuan William, Nyonya Emely?!” Pertanyaan itu membuat Emily membeku. Namun, belum sempat Emely bertanya tentang apa maksudnya, Robert sudah berlari menuju ke ruang kerja William. “Kenapa? Apa yang salah dengan ikan ini?” gumam Emily, kebingungan sendiri. Tidak, ini bukan waktunya bingung! Emily segera bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat tersebut. Ia pun ikut berlari menuju ke ruang kerja William. “Tuan William, apa yang anda lakukan?!” tanya Robert. Pria itu terdengar membentak dengan penuh emosi, membuat Emely yang baru diambang pintu membeku. ‘Kenapa Robert kesal begitu,’ pikirnya. Emily segera masuk ke dalam ruangan itu. Dugg! Jantung Emily seperti akan copot. Ia masih berdiri di ambang pintu ruang kerja William, tubuhnya semakin gemetar hebat. Di depan matanya, Will
Emily masih bersimpuh di depan pintu ruang kerja William, air matanya mengalir tanpa henti. Di dalam ruangan, dokter yang juga sahabat William sedang menangani, ditemani oleh beberapa pelayan yang mondar-mandir membawa peralatan dan obat-obatan. Robert berdiri di samping pintu, wajahnya penuh amarah dan ketegasan. “Tetap di sini, Nyonya Emily yang terhormat,” katanya mencemooh.” Jangan coba-coba masuk. Biarkan orang paham apa yang harus mereka lakukan yang menangani ini,” peringatnya dengan nada dingin. Emily hanya bisa mengangguk kecil, tidak mampu melawan kata-kata Robert. Tangannya meremas rok yang ia kenakan, mencoba menahan isak tangis yang keluar semakin keras. Namun, ia tahu bahwa penyesalannya sekarang tidak akan mengubah apa pun. Beberapa waktu kemudian, handle pintu berputar. Emily segera bangkit ketika dokter keluar dari ruangan itu. Dokter itu
Emily duduk di samping William yang masih terbaring lemah. Wajahnya memerah karena pembicaraan yang baru saja mereka lakukan. “Melahirkan keturunan untuk William... artinya, aku dan William harus melakukan itu?” batinnya. William masih menunggu tanggapan dari Emily, jelas tidak bisa membaca situasi kalau Emily tidak bersuara. “Jadi, kau setuju?” tanya William lagi, suaranya tenang namun penuh dengan makna. Emily menelan ludahnya, wajahnya semakin panas. Ia tidak menyangka William akan membicarakan hal ini begitu langsung, apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Namun, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari kesepakatan mereka, bagian dari masa depan mereka bersama. “Aku harus menebus kesalahan besar yang aku lakukan sebelumnya,” batin Emily. “Kau pasti ragu, ya?” ujar William. “Tidak, kok. Aku...” Emily menggigit bi
“Ah, tidak ada, cuma—” Emily melotot kaget dengan dahinya yang mengernyit. “William, kau tahu dari mana kalau aku sedang membaca pesan?” William terdiam sejenak, tersenyum lalu berkata, “Aku mendengar getar ponsel mu. Orang buta memiliki pendengaran yang lebih baik, jangan meremehkannya.” Mendengar itu, Emily pun terdiam. Meski memang kebanyakan seperti itu, anehnya hatinya seperti menolak untuk percaya. Menggelengkan kepalanya, Emily tidak ingin berpikir buruk tentang William dari segi apapun. “Iya, baguslah...” ujar Emily. Kembali ponsel Emily bergetar, pesan dari Hendrick kembali masuk. “Emily Sayangku, kau tidak lupa membawa ku untuk bertemu dengan Paman Xavier tanggal 29 nanti, kan? Aku akan menjemputmu, sudah beli juga pakaian baru untukmu.” “Set perhiasan yang kau mau sudah aku belikan. Anggap ini sebagai permintaan maaf dariku yang tidak memahami mu be
Pagi itu, suasana di kamar mandi rumah William terasa begitu hangat. Emily dan William tengah berendam bersama di bathtub yang penuh busa. Tawa kecil Emily menggema ketika William dengan lembut menggosok punggungnya. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?” tanya Emily sambil memutar kepala untuk melihat William. William tersenyum tipis, membalas, “Tentu saja. Jarang-jarang aku bisa mandi bersama istriku. Rasanya... aku jadi ingin setiap hari.” Emily tertawa pelan, menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak mungkin serius, kan?”“Serius. Dulu, saat kecil kita juga sering mandi di kolam renang bersama, sayangnya saat itu aku masih sangat polos dan hanya tersenyum bahagia melihat balita menggunakan pakaian renang.”Emily pun terkekeh. Setelah selesai mandi, mereka saling membantu. Emily memakaikan dasi untuk William, sementara William membantu Emily memilih dress santai untuk dikenakan di rumah.
William melangkah masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, seperti biasanya saat dia sedang pulang ke rumah. Namun, kali ini, dia melihat sesuatu yang membuat alisnya sedikit mengernyit. Emily yang tengah memegang ponselnya tiba-tiba menyembunyikan di balik punggung saat melihat dirinya masuk. Emily tersenyum, berusaha terlihat senang Mungkin. Dia segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah William. “Sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa. William menutup pintu dan mengangguk pelan. Dia ingin bertanya tentang ponsel yang disembunyikan Emily, tapi melihat wajah istrinya yang lebih cerah dibanding beberapa hari terakhir, ia memutuskan untuk menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Emily langsung memeluk William erat. William terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu. Sudah berapa waktu ini Emily lebih banyak diam, dan dia yang mengambil inisiatif untuk memeluknya lebih dulu
Pagi itu, di sebuah kafe, tempat Azura bekerja. Azura menatap Robert dengan tatapan tajam, tangannya menyilang di depan dada, sementara proposal di hadapannya tetap tak tersentuh. “Dengar, Tuan Rodet atau Robert, dan... siapa lah itu,” katanya dengan nada datar. “Emily bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup tua, bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Dan aku? Aku bukan pengasuh atau bodyguard. Aku ini pelayan cafe biasa, dan aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang ini.” Robert tetap tenang, meski dia bisa merasakan penolakan keras dari Azura. “Aku tentu saja mengerti posisi anda, Nona Azura. Tapi ini bukan hanya soal pekerjaan saja. Ini soal Nyonya muda Emily. Lagi pula, bekerja di kafe seperti ini tidak mungkin bisa menjamin masa depan anda.”Mendengar itu, Azura pun makin menatap Robert dengan tatapan kesal. Ia memiliki cerita tidak mengenakan dengan para orang kaya, itu cukup membuatnya muak. Walaupun Emily adalah
Johan dan Julia mencoba untuk menemui Emily, namun kesulitan karena baik penjaga gerbang maupun pelayan rumah tidak ada yang memberikan akses. Nyonya besar juga dilarang untuk datang oleh William. Seolah tahu apa yang akan terjadi, William ingin mengantisipasi semua masalah dari luar. Emily sedang kacau belakangan ini, akan mudah baginya dipengaruhi, dan berpikir buruk. Sementara itu, di dalam kamar, Emily menghela napasnya. Sungguh, rasanya bosan sekali terus berada di dalam kamar seperti ini. Akhirnya, Emily memutuskan untuk berjalan-jalan keliling rumah dan taman saja guna mengusir rasa bosan itu. “Aku ingin pergi ke pusat belanja. Makan es krim, beli baju, ahhh... pokoknya apapun yang bisa aku lakukan di sana, deh!” gumamnya. Namun, langkah kaki Emily terhenti saat mendengar suara Elizabeth tengah bicara di telepon. Emily mengerutkan keningnya. “Elizabeth... kenapa dia ada d
Malam itu, di sebuah apartemen. Suara barang pecah belah menggema di dalam kamar Hendrick. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh emosi. Ia baru saja menerima kabar bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, kehancuran bisnisnya, rusaknya reputasinya, dan kekalahannya adalah ulah William dan Emily. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkannya. Hendrick menatap pantulan dirinya di cermin yang kini retak akibat lemparannya. Matanya merah penuh kemarahan. “William... Emily,” gumamnya, “kalian pikir, kalian benar-benar sudah menang?” Ia menyeringai dingin. Tidak. Ini belum berakhir. Dia akan menghancurkan mereka, satu persatu. Jika Emily meninggalkan William, pria itu pasti akan hancur. Atau lebih baik lagi, jika ia bisa membuat mereka saling membenci, itu akan menjadi hukuman terbaik. “Tidak sulit,” Hendrik tertawa. Ia tahu Emily bukan
Suasana ruangan yang tegang seketika terhenti ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. William telah pulang. Tatapan matanya yang tajam namun khas orang buta langsung menyapu ke arah dua wanita yang duduk berhadapan. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan dia bisa merasakannya. Nyonya besar lebih dulu membuka suara. “Kau sudah pulang,” katanya dengan nada datar. William mengangguk. Tanpa banyak bicara ia berjalan mendekat dan Emily langsung bangkit untuk membantu William duduk di sebelahnya. Bagaimanapun, Emily juga harus bekerja dengan baik untuk menunjukkan bahwa William masih buta. “Apa yang sedang kalian obrolkan di sini?” tanya William. Nyonya besar menghela napas panjang, wajahnya masih tetap dingin seperti biasanya. Sebelum wanita tua itu sempat menjawab, Emily lebih dulu membuka suara. “Kami sedang membahas sesuatu yang cukup serius.” Tatapan William nam
selama satu pekan penuh, Emily hampir tidak berbicara. William harus memanggilnya beberapa kali untuk sekedar mendapatkan respon, dan itupun hanya berupa anggukan atau gumaman singkat. Emily juga menolak bertemu dengan orang tuanya dengan berbagai alasan. Ia tidak ingin melihat siapapun, tidak ingin mendengar suara siapapun untuk saat itu. Ponselnya dibiarkan tergeletak begitu saja, tanpa ia sentuh sedikitpun. Hari-harinya hanya dihabiskan di dalam kamar, duduk diam, merenung, dan melamun. Namun, hari ini terasa berbeda. Hari ini, Emily mulai bangkit. Kesedihan masih ada, luka di hatinya masih terbuka, tapi ada sesuatu yang lebih besar yang membuatnya perlahan berdiri. Dendam. Janji yang ia buat untuk membalas perbuatan orang yang telah mencelakainya dan merenggut anaknya. Dengan langkah pelan, meskipun kakinya masih sedikit sakit, Emily keluar dari kamar.
Emily terbangun dari tidurnya kala mentari menyelinap masuk melalui celah tirai. Ia menggeliat, menikmati suasana itu sejenak. “Selamat pagi,” bisik William, menyadari Emily sudah bangun. Seketika itu Emily membuka matanya. Ia pun tersenyum melihat Wiliam yang lagi-lagi sudah bangun lebih cepat darinya. Ada pemandangan yang indah, luar biasa. William selesai mandi, menggunakan handuk di pinggangnya. Otot pria itu terlihat jelas, Emily pun makin mengangumi Wiliam di dalam hatinya. “Kau masih di sini?” tanya Emily. Mendengar itu, William mengerutkan keningnya. “Memangnya aku harus di mana?”“Beberapa waktu lalu, setiap bangun tidur kau sudah tidak ada,” balasnya. Mendengar itu, William pun hanya bisa tersenyum kelu. Ada sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan kepada Emily. Emily perlahan bangkit
Malam itu, William pun mulai menceritakan kisah Ibunya yang sebatas ia tahu. Emily mendengarkan dalam diam, matanya penuh dengan rasa penasaran. “Ibuku berasal dari keluarga Belzour,” William memulai. “Dulu, keluarga mereka adalah salah satu pembisnis besar di bidang properti. Ibuku bertemu dengan Ayahku serta orang tuamu, dan juga ibunya Hendrick di kampus yang sama.” Emily mengerutkan kening. “Jadi Ibunya Hendrick juga?” William mengangguk. “Ayahku sengaja mendekati Ibuku karena tahu bahwa keluarganya kaya. Setelah lulus kuliah, mereka menikah, dan semuanya terlihat berjalan lancar pada awalnya.” Emily bisa mendengar nada pahit dalam suara William. “Ibuku kemudian mendirikan bisnis elektronik dengan dukungan keluarganya secara penuh. Tapi ia juga membantu Ayahku membangun perusahaannya sendiri, memasok dana dan mendukung segala kebutuhannya.” Emily semakin menyadari bahwa William bukan hanya pria biasa.