Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”
Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik. Plak! Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick! William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini. Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya. “Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick. Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily. Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang. Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.” Hendrick mengepalkan tangannya. Lagi-lagi harus menahan diri. “Apa yang kau lakukan sekarang Pasti karena kau sedang tidak sadar. Jadi, kalau kau datang lagi padaku untuk memohon pengampunan dariku, kau akan membayarnya dengan sangat mahal!” ancamnya, “aku tidak memiliki kesabaran yang terlalu banyak. Jadi, Jangan datang padaku lagi dan mengemis cinta dariku jika kau tidak benar-benar memahami kesalahanmu!” Hendrick melangkah pergi, amarahnya pun hanya bisa ia tahan di dadanya. Emily tersenyum senang karena berhasil membalas setidaknya 1% rasa sakit hatinya. Hanya saja, suara asisten William menginterupsi kebahagiaannya itu. “Wah, kalian berdua benar-benar sangat totalitas sekali, ya. Sungguh, saya benar-benar sangat tersentuh. Nona Emily, Apakah perlu Saya mendaftarkan anda untuk mengikuti casting?” cemoohnya. Emily menaikkan satu sisi bibirnya. Dia tahu perlakuannya tidak baik pada William selama ini. Akan tetapi, perilaku Robert ini kadang-kadang di luar batas wajar antara asisten dan atasan! “Jadi, apa kau iri, sekretaris Robert? Bagaimana, mau coba rasanya tamparan dariku?” kesal Emily pada pria itu. “Sudah jangan bertengkar.” Suara bariton William menginterupsi, “lagipula, masih ada tahapan pemeriksaan yang perlu Emily lakukan.” Emily dan Robert menghela napas. Mereka tampaknya harus menunda pertengkaran mereka! *** Drap! Suara langkah sepatu terdengar di lorong rumah besar itu. Emily dan William baru saja tiba setelah dokter yang untungnya, menyatakan bahwa kondisi wanita itu cukup membaik untuk pulang ke rumah. Ruang tengah yang luas dengan dekorasi klasik langsung menyambut keduanya. Emily diam-diam melirik pria yang berjalan perlahan di sampingnya, tangannya terulur memegang tongkat penuntun. Setelah duduk di sofa saling berseberangan, Emily menatap William dengan pandangan yang baru. Wajah pria itu begitu tenang, garis-garis wajahnya sempurna. Ia benar-benar tampan, sesuatu yang baru disadari Emily setelah dua tahun mereka menikah. “Ya ampun...” Emily keheran. “Tercolok apa mataku sampai-sampai bisa melihat Hendrick menjadi sangat sempurna?” bisiknya. Emily menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Betapa bodohnya ia karena selama ini mengabaikan William dan malah mengejar Hendrick, pria yang hanya membawa luka dalam hidupnya. Pikiran itu membuat dadanya sesak. Tak lama, langkah kaki lain terdengar. Robert masuk membawa selembar dokumen di tangannya. “Tuan, ini dokumennya,” katanya dengan sopan. William mengulurkan tangannya, lalu Robert menyerahkan dokumen itu. Dengan gerakan penuh kehati-hatian, William meletakkannya di meja di depannya, tepat di antara dia dan Emily. “Emily,” suara William terdengar tenang namun tegas, “ini adalah dokumen yang perlu kau sepakati jika kau benar-benar ingin tetap berada di sisiku dan mempertahankan pernikahan kita.” Emily menatap dokumen itu dengan sedikit ragu, namun rasa ingin tahu mengalahkan segalanya. Ia meraihnya dengan cepat, membuka halaman pertama, dan mulai membaca. 1. Emily tidak boleh pergi dari rumah tanpa izin William. 2. Emily tidak boleh memiliki hubungan apapun dengan Hendrick maupun pria lainnya, baik secara langsung maupun melalui media sosial. 3. Emily harus berhenti membuang uang untuk hal-hal yang tidak penting. 4. Emily tidak boleh lagi menggunakan pakaian seksi di luar rumah. 5. Emily harus mulai terbuka dalam segala hal kepada William. 6. Emily tidak boleh lagi tinggal di kamar terpisah dari William. 7. Jika Emily kedapatan membantu Hendrick untuk merebut proyek besar di perusahaan William, maka Emily akan menanggung biaya ganti rugi secara keseluruhan. Emily menyelesaikan bacaannya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ia menatap William, yang wajahnya tetap tenang tanpa emosi berlebih. “Apakah ada yang tidak kau setujui?” tanya William, kepalanya sedikit miring ke arah Emily. Emily menggeleng perlahan. “Tidak, aku setuju,” jawabnya dengan suara lembut. Tidak ada poin dalam dokumen itu yang terasa memberatkan. Ia bahkan merasa lega. Baginya, William, dengan kondisinya yang buta, tidak mungkin melakukan sesuatu yang aneh atau berbahaya. “Baiklah,” kata William singkat. “Jika begitu, tanda tangani.” Emily mengambil pena yang telah disiapkan di samping dokumen, lalu menuliskan namanya di bawah perjanjian itu. “Sudah ditandatangani, Tuan,” ucap Robert, mengabarkan. William tersenyum samar, sebuah senyum yang sulit diartikan. “Kau sudah membuat keputusan, Emily,” ucap William perlahan. “Dan aku harap kau tidak akan menyesalinya.” Emily merasa ada sesuatu di balik kata-kata itu, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Ini hanyalah awal baru dalam memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Ia tidak tahu bahwa keputusan ini akan membawa hidupnya ke arah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Beberapa saat kemudian. William duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni. Suara langkah Robert terdengar semakin dekat, lalu pria itu masuk. “Tuan, Nyonya Emily sudah menandatangani dokumen itu, bagaimana selanjutnya?” kata Robert. William menegakkan kepalanya sedikit, ekspresi wajahnya tetap tenang meski ada sedikit kerutan di dahinya. “Biarkan saja, Robert. Aku pun menginginkan Emily, seperti ini juga bagus,” jawabnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana ekspresi Emily saat menandatanganinya?” “Tidak ada keraguan atau ekspresi yang menunjukkan ketidaksetujuan. Nona Emily membacanya dan langsung menandatanganinya.” William terdiam. Pikiran di kepalanya berputar cepat. Kenapa Emily berubah begitu drastis? Apa yang membuatnya begitu mudah menyetujui perjanjian itu? Padahal, poin ke-7 dalam dokumen itu jelas ditulis dengan cetakan tebal agar Emily bisa memahaminya dengan baik: Emily akan menanggung biaya ganti rugi bila dirinya kedapatan membantu Hendrick. William sengaja menambahkan poin itu untuk menguji kesungguhan Emily. Ia ingin tahu apakah Emily benar-benar siap berkomitmen atau hanya mencoba memperbaiki kesan buruknya di mata William. Namun, kenyataan bahwa Emily tidak menunjukkan keberatan justru membuatnya bingung. “Apakah dia ada mengatakan sesuatu tanpa aku tahu?” tanya William akhirnya.Robert menggeleng. “Sepertinya, tidak, Tuan. Dia hanya membaca, mengangguk, lalu menandatangani dokumen itu.”William menghela napas panjang. Ada sesuatu yang aneh. Emily, yang selama ini dikenal keras kepala dan sering melawan, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang patuh dan tidak mempertanyakan apa pun.“Aku ingin kau memperhatikan Emily lebih dekat, Robert,” kata William akhirnya. “Aku juga akan memantaunya.”Robert mengerutkan keningnya. “Tuan, apa Anda yakin? Bagaimana kalau Nona Emily curiga dengan—”William memotong pembicaraan, “Tenang saja. Aku paham bagaimana aku harus bersikap.”“Baik, Tuan.” Robert membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruangan.Begitu Robert keluar dari ruangan itu, tak sengaja ia pun mendengar Emily sedang bicara di telepon.“Ada apa lagi, Hendrick?” tanya Emily, suaranya terdengar kesal. “Kenapa aku harus menemui mu? Ah, baiklah... Kau di mana sekarang?”“Dia benar-benar masih lah rubah betina yang licik,” gumam Robert pelan. “Jangan kira aku akan m
Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka. Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?” Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi. Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah. Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas. Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun. Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William. William berdehem mengusir perasaan tak nyaman. Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga
Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.”“Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,”
“Emily, kau di sini?” tanya William. Gelagapan, Emily tidak tahu harus mengatakan apa. Ah, tapi dia tidak bisa bohong! William sudah mendengar suaranya tadi. “I–iya, aku baru saja datang, William,” jawab Emily, gugup. “Benarkah?” William tersenyum, membuat Emily merasa malu. “J–jangan tersenyum seperti itu, William! Aku tidak melihat anumu, kok. Sumpah, deh!” “Pft!” William pun menahan tawa, “baiklah, aku percaya padamu.”“Ih!!” Emily menghentakkan kakinya, merasa kesal karena William pasti tidak percaya, dan tengah menggodanya. ****Pagi itu, William dan Emily duduk bersama di meja makan. Emily dengan cekatan menyendokkan makanan ke piring William, lalu ke piringnya sendiri. “Silakan, William,” katanya lembut sambil meletakkan piring di hadapan pria itu. William mengendus aroma makanan di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menebak apa itu. “Emily, makanan apa ini?” Emily menjawab cepat, “Aku memasak ikan segar. Menu sederhana, tapi aku
“Apa kau berniat membunuh Tuan William, Nyonya Emely?!” Pertanyaan itu membuat Emily membeku. Namun, belum sempat Emely bertanya tentang apa maksudnya, Robert sudah berlari menuju ke ruang kerja William. “Kenapa? Apa yang salah dengan ikan ini?” gumam Emily, kebingungan sendiri. Tidak, ini bukan waktunya bingung! Emily segera bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat tersebut. Ia pun ikut berlari menuju ke ruang kerja William. “Tuan William, apa yang anda lakukan?!” tanya Robert. Pria itu terdengar membentak dengan penuh emosi, membuat Emely yang baru diambang pintu membeku. ‘Kenapa Robert kesal begitu,’ pikirnya. Emily segera masuk ke dalam ruangan itu. Dugg! Jantung Emily seperti akan copot. Ia masih berdiri di ambang pintu ruang kerja William, tubuhnya semakin gemetar hebat. Di depan matanya, Will
Emily masih bersimpuh di depan pintu ruang kerja William, air matanya mengalir tanpa henti. Di dalam ruangan, dokter yang juga sahabat William sedang menangani, ditemani oleh beberapa pelayan yang mondar-mandir membawa peralatan dan obat-obatan. Robert berdiri di samping pintu, wajahnya penuh amarah dan ketegasan. “Tetap di sini, Nyonya Emily yang terhormat,” katanya mencemooh.” Jangan coba-coba masuk. Biarkan orang paham apa yang harus mereka lakukan yang menangani ini,” peringatnya dengan nada dingin. Emily hanya bisa mengangguk kecil, tidak mampu melawan kata-kata Robert. Tangannya meremas rok yang ia kenakan, mencoba menahan isak tangis yang keluar semakin keras. Namun, ia tahu bahwa penyesalannya sekarang tidak akan mengubah apa pun. Beberapa waktu kemudian, handle pintu berputar. Emily segera bangkit ketika dokter keluar dari ruangan itu. Dokter itu
Emily duduk di samping William yang masih terbaring lemah. Wajahnya memerah karena pembicaraan yang baru saja mereka lakukan. “Melahirkan keturunan untuk William... artinya, aku dan William harus melakukan itu?” batinnya. William masih menunggu tanggapan dari Emily, jelas tidak bisa membaca situasi kalau Emily tidak bersuara. “Jadi, kau setuju?” tanya William lagi, suaranya tenang namun penuh dengan makna. Emily menelan ludahnya, wajahnya semakin panas. Ia tidak menyangka William akan membicarakan hal ini begitu langsung, apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Namun, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari kesepakatan mereka, bagian dari masa depan mereka bersama. “Aku harus menebus kesalahan besar yang aku lakukan sebelumnya,” batin Emily. “Kau pasti ragu, ya?” ujar William. “Tidak, kok. Aku...” Emily menggigit bi
“Ah, tidak ada, cuma—” Emily melotot kaget dengan dahinya yang mengernyit. “William, kau tahu dari mana kalau aku sedang membaca pesan?” William terdiam sejenak, tersenyum lalu berkata, “Aku mendengar getar ponsel mu. Orang buta memiliki pendengaran yang lebih baik, jangan meremehkannya.” Mendengar itu, Emily pun terdiam. Meski memang kebanyakan seperti itu, anehnya hatinya seperti menolak untuk percaya. Menggelengkan kepalanya, Emily tidak ingin berpikir buruk tentang William dari segi apapun. “Iya, baguslah...” ujar Emily. Kembali ponsel Emily bergetar, pesan dari Hendrick kembali masuk. “Emily Sayangku, kau tidak lupa membawa ku untuk bertemu dengan Paman Xavier tanggal 29 nanti, kan? Aku akan menjemputmu, sudah beli juga pakaian baru untukmu.” “Set perhiasan yang kau mau sudah aku belikan. Anggap ini sebagai permintaan maaf dariku yang tidak memahami mu be
“Wah, jalang sialan ini sudah datang,” gumam Emily kesal. Menarik lengan William, Emily berbisik kepada pria itu, “Tinggalkan aku sendiri dulu, ya. Aku harus meladeni siluman kalajengking ini.”William merasa berat, namun dia tetap menganggukkan kepalanya. “Emily! Akhirnya aku bertemu denganmu,” sapa Jessica, suaranya terdengar ramah namun penuh kepura-puraan. Emily menoleh, matanya yang tajam menangkap raut wajah Jessica. Hanya tersenyum tipis, Emily harus menahan perasaan jengkelnya. “Kenapa sulit sekali menghubungimu akhir-akhir ini? Aku sampai rindu, tahu,” lanjut Jessica, nada manisnya semakin terdengar dipaksakan. Emily menghela napas, kemudian membalas dengan senyuman tipis. “Yah, kurasa itu adalah masa terbaikku, Jessica. Jauh dari... orang-orang yang tampak seperti kelinci lucu, tapi ternyata tikus got.” Jessica tersenyum kaku mendengar sindiran itu. Amarahnya mulai memuncak, namun dia beru
William berjalan perlahan ke ruang tengah dengan tongkat di tangannya. Langkahnya tenang, namun pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi di pesta perayaan tahunan nanti. Di sana, Robert sudah menunggunya, berdiri dengan tangan bersilang di depan dada, ekspresi wajahnya serius. “Tuan William,” bisik Robert saat William mendekat. “Anda harus tetap memberikan sinyal waspada, terutama terhadap mereka yang kelihatan baik tapi sebenarnya munafik. Jangan lengah.” William tersenyum tipis, mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir kekhawatiran Robert. “Jangan khawatir terlalu banyak, Robert. Aku tahu bagaimana caranya menghadapi mereka,” jawabnya dengan tenang. Namun, percakapan mereka terputus ketika kepala pelayan tiba-tiba datang bersama Elizabeth. William dan Robert saling berpandangan, bingung dengan kedatangan mereka. “Maaf mengganggu, Tuan,” kata kepala pelayan. “Atas perintah Nyonya Besar
“Benar-benar seperti binatang buas,” bisik Emily. Ia pun menggeser tubuhnya perlahan di atas ranjang, menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya yang terasa lelah.Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di pinggang. Setiap gerakan kecil terasa seperti protes dari otot-ototnya yang kelelahan.“Aduhhh,” lenguh Emily. Di sebelahnya, William berbaring santai dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Emily meliriknya dengan tatapan penuh rasa sebal. “Katanya tadi tubuhmu lemas,” gumam Emily dengan nada pelan namun sarat sindiran. “Bahkan membuka kancing baju saja kau bilang tidak bertenaga. Tapi lihat saja apa yang baru saja kau lakukan…” William tetap tersenyum kecil, seolah-olah tidak mendengar sindiran itu. “Maaf,” ucapnya ringan, suaranya tenang seperti biasa. “Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba tubuhku pun
“Seumur hidup, aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami ini,” gumam Emily. Emily menunduk, wajahnya semakin merah padam, sementara tangannya gemetar saat memegang spons mandi. Ia dengan hati-hati menggosok dada William di bawah guyuran air shower. Kehangatan kulit William bercampur dengan percikan air, membuat Emily semakin gugup. William berdiri diam, membiarkan air menyapu tubuhnya, tetapi matanya yang tajam yang seharusnya ‘kosong’ tidak lepas dari wajah Emily. Diam-diam, ia mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah istrinya. Wajah merah itu, gigitan kecil di bibir bawahnya, dan tatapan canggungnya, semua itu membuat Emily terlihat begitu imut di mata William. Tanpa peringatan, William meraih tangan Emily, menariknya hingga tubuh wanita itu terhuyung masuk ke dalam pelukannya. “Astaga, William!” teriak Emily kaget. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi pelukan William terlalu erat. "
Emily tersentak kaget, “Ah, benar!” ia pun terkekeh. “Ternyata, ada bagusnya juga kau buta ya, William?” Mendengar itu, William pun hanya tersenyum tipis. Namun, saat Emily tak memperhatikan ia pun sempat melirik ke arah lain, tempat di mana Elizabeth sedang berbincang. Sejenak tatapannya aneh, William kembali fokus dengan Emily. “Ya sudah. Ayo kita masuk ke kamar, William!” Emily menggandeng William dengan hati-hati, membantunya masuk ke kamar. Ia menuntunnya untuk duduk di tepi tempat tidur, memastikan pria itu nyaman sebelum berkata, “Aku akan mandi sebentar. Jangan ke mana-mana, ya.” William mengangguk pelan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Jika begitu, aku jadi ingin membuktikan kalau aku pria dewasa.” Emily tertawa kecil sebelum berbalik menuju kamar mandi. Begitu pintu tertutup dan suara air mulai terdengar, senyum di wajah William memudar. Dia menghembus
Robert mengetuk pintu ruang kerja William dengan pelan, tapi sebelum mendengar jawaban, ia langsung membuka pintu dan masuk. William, yang sedang duduk membelakangi pintu, memutar kursi kulitnya dan menatap Robert dengan tatapan tenang. “Kau sudah datang,” ucap William singkat, dengan nada yang khas dingin namun tegas. Robert mengangguk hormat, lalu menyerahkan dokumen di tangannya. “Tuan, ini laporan terbaru terkait proposal kerja sama dengan Tuan Xavier.” William mengambil dokumen itu dengan satu tangan dan membukanya. Sementara matanya menatap dengan seksama setiap barisan kalimat yang tertera pada dokumen tersebut. “Ngomong-ngomong, apa kabar Anda hari ini, Tuan?” tanya Robert, penuh perhatian. William tersenyum tipis. “Sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah bertanya, Robert. Apa kau tidak menanyakan kabar mataku?” Robert mendesah sebal, “Tidak perlu, Saya sedang malas.” William tersenyum
Cup!Glek...William terdiam, hanya bisa menelan ludah karena terkejut. Kecupan di bibir itu terlalu tiba-tiba, William tidak berekspektasi akan hal itu. “Aku mohon, suamiku...” bisik Emily, menggoda. ****Emily datang ke rumah orang tuanya setelah berhasil membujuk dan menenangkan William. Sesampainya di sana, Emily langsung disambut oleh Ibunya, dan kakak laki-lakinya Emily yang bernama Sean. Sore kemarin mereka sudah kembali, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau menemui Emily lebih dulu. Namun, Emily tidak memiliki pilihan lain, dia harus bicara dengan keluarganya. “Datang juga akhirnya anak kesayangan Ibu,” ucap Julia, Ibunya Emily. Emily membiarkan Ibunya memeluk, tapi dia sama sekali tidak ingin membalas pelukan itu karena perasaan kesal yang besar dirasakan terhadap orang tersebut. “Eh, Kenapa Putri kesayangan ibu ini tidak bicara?” tanya Julia, suaran
“Kau...” Emily menatap wanita paruh baya itu dengan ekspresi yang sulit digambarkan, terkejut, marah, dan sedikit bingung. Dia adalah sang kepala pelayan! Wanita itu berdiri dengan percaya diri, mengenakan seragam rapi yang mencerminkan kedisiplinannya sebagai kepala pelayan. “Kenapa kau di sini?” tanya Emily, suaranya bergetar, mencerminkan perasaan tidak nyaman yang memenuhi hatinya. Kepala pelayan itu tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Tentu saja, Nyonya Emily. Saya bekerja di sini atas perintah langsung dari Nyonya Besar,” jawabnya dengan nada tegas. Emily terdiam sejenak. Nyonya Besar, nenek William, adalah wanita yang memiliki pengaruh besar dalam keluarga ini. Emily tahu betul bahwa melawan keputusan wanita itu hampir mustahil. ‘Kenapa Neneknya William jadi mulai ikut campur?’ batin Emily. Kepala pelayan melanjutkan, “Lagipula, Nyo
“Ah, tidak ada, cuma—” Emily melotot kaget dengan dahinya yang mengernyit. “William, kau tahu dari mana kalau aku sedang membaca pesan?” William terdiam sejenak, tersenyum lalu berkata, “Aku mendengar getar ponsel mu. Orang buta memiliki pendengaran yang lebih baik, jangan meremehkannya.” Mendengar itu, Emily pun terdiam. Meski memang kebanyakan seperti itu, anehnya hatinya seperti menolak untuk percaya. Menggelengkan kepalanya, Emily tidak ingin berpikir buruk tentang William dari segi apapun. “Iya, baguslah...” ujar Emily. Kembali ponsel Emily bergetar, pesan dari Hendrick kembali masuk. “Emily Sayangku, kau tidak lupa membawa ku untuk bertemu dengan Paman Xavier tanggal 29 nanti, kan? Aku akan menjemputmu, sudah beli juga pakaian baru untukmu.” “Set perhiasan yang kau mau sudah aku belikan. Anggap ini sebagai permintaan maaf dariku yang tidak memahami mu be