mimpi buruk

Di ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, dinding-dinding batu yang dingin memantulkan cahaya redup dari lampu gantung tua. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menambah suasana mencekam. Di sudut ruangan, ada meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan senjata. Beberapa anak buah King berdiri berjaga di sekitar, wajah mereka tegang dan serius.

Suasana tegang menyelimuti ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya lampu redup. Di tengah ruangan, terikat di sebuah kursi, seorang pria berwajah ketakutan, tubuhnya gemetar hebat mengetahui apa yang akan terjadi padanya.

King mafia, yang dikenal dengan kekejamannya, berdiri tegap di depan pria tersebut. Matanya yang tajam menatap tanpa ampun, menyisakan aura mengerikan yang menyelimuti seluruh ruangan. Dengan langkah yang berwibawa, ia mendekati pria yang terikat, menunjukkan kekuasaan mutlak yang ia miliki atas klannya.

King, dengan tatapan tajam dan penuh amarah, mencengkram erat dagu pengkhianat di depannya. "Siapa yang berada di belakangmu?" tanyanya dengan suara rendah namun penuh ancaman. Pengkhianat itu tetap bungkam, matanya penuh ketakutan.

King menekan lebih keras, seakan ingin meremukkan tulang rahangnya. "Siapa pun yang berani berkhianat, dia tidak akan lolos dan akan mendapatkan lebih dari ini!"

Pengkhianat itu gemetar, menyadari bahwa nasibnya kini berada di tangan King. Ruang bawah tanah itu menjadi saksi bisu dari kekejaman dan ketegasan King dalam menjaga loyalitas klannya.

"Kau telah mengkhianati keluargamu sendiri," suara King mafia bergema di ruangan, menggetarkan udara dengan kebencian yang dalam. "Tidak ada tempat bagi pengkhianat di klan ku."

Pria itu mencoba berbicara, bibirnya gemetar, "Tolong... aku tidak bermaksud..."

King mengangkat tangannya, memotong pembicaraan dengan isyarat yang tegas. Ia mengeluarkan pistol dari balik jasnya, kilatan logam di tangan dinginnya menambah ketegangan yang sudah terasa. Tanpa ragu, ia menempatkan ujung pistol tepat di dahi pria tersebut.

"Kesetiaan adalah segalanya," ucapnya dingin. Sebelum pria itu sempat mengucapkan sepatah kata pun, suara letusan menggema, mengakhiri hidup pengkhianat itu dalam sekejap. Tubuh pria tersebut melorot, kehilangan kehidupan, sementara darah mulai mengalir di lantai yang dingin.

King memasukkan kembali pistol ke dalam jasnya, memandang sekeliling kepada anak buahnya yang menyaksikan semuanya dalam diam. "Biarkan ini menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berani mengkhianati klan ku," katanya dengan suara yang tegas dan berwibawa, mengukuhkan ketakutan serta loyalitas dalam hati mereka.

Dengan langkah yang tetap berwibawa, ia meninggalkan ruang bawah tanah, meninggalkan keheningan yang hanya diisi oleh suara hujan yang kini menderas di luar.

King berdiri di pintu, menatap Zelia yang tertidur pulas di sudut ruangan yang remang-remang. Bulan purnama menyelinap masuk melalui jendela kecil, memantulkan bayangan air mata yang telah mengering di pipi Zelia. Perasaan aneh menggelayuti hati King, seolah ada duri yang menusuk-nusuk.

Dengan langkah berat, ia mendekati Zelia, memperhatikan wajahnya yang damai dalam tidur. King mengusap lembut jejak air mata di pipi Zelia, tindakan yang tidak pernah ia bayangkan akan dilakukannya. Tubuhnya terasa kaku, namun ada kelembutan yang mengalir dari jari-jarinya.

King menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang basah oleh keringat, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Dalam keheningan malam, ia berbaring di samping Zelia, hatinya dipenuhi oleh konflik batin.

Mata King terpejam, tetapi pikirannya terjaga. Perlahan, tangannya meraih Zelia, mencari kehangatan.

Zelia baru saja terlelap ketika tiba-tiba ia merasakan pelukan erat dari belakang. Ia tersentak, matanya terbuka lebar dalam kegelapan. "Diamlah!" desis King dengan nada mengancam. "Jangan bergerak atau kau tahu akibatnya," bisiknya di telinganya.

Zelia terdiam, tubuhnya kaku. Tangannya hanya bisa meremas selimut dengan erat, takut kalau King akan bertindak kasar padanya. Mereka akhirnya tertidur, meskipun suasana tegang masih terasa di udara.

Di tengah malam, King mulai gelisah dalam tidurnya. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang mendalam, dan ia mulai mengigau tentang ibunya. "Aku benci kalian...," gumamnya dengan suara serak, tubuhnya bergetar ketakutan.

Zelia terbangun, hatinya berdebar kencang. Dengan hati-hati, ia mengguncang tubuh King, berharap bisa membangunkannya dari mimpi buruk itu.

Zelia mengambilkan air yang ada di atas nakas saat King terengah-engah. Dengan tangan gemetar, ia memberikan segelas air kepada King.

King menatapnya tajam, tapi akhirnya meminum air itu. "Tidurlah!" ucap King dingin. Zelia menurut dan kembali berbaring menyamping. Hal yang tidak terduga terjadi, King memeluknya dari belakang.

Dalam hati, King merasakan sesuatu yang berbeda. Biasanya, setelah mimpi buruk, ia akan pergi melampiaskan dengan bertarung atau mengkonsumsi obat. Tapi kali ini, ia tidak menginginkan itu.

"Kenapa aku merasa tenang? Pelukan ini... Zelia... Mungkin aku tidak perlu lari lagi," guman King dalam hati.

King mulai menemukan kenyamanan dalam pelukan Zelia, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, ketegangan dalam tubuhnya mereda.

King merasakan denyut jantung Zelia, lembut dan teratur. Dalam tidurnya, King pun akhirnya memeluk Zelia, sebuah tindakan yang impulsif dengan sikap kasarnya sebelumnya. Malam itu, dalam pelukan yang tak terduga, King tertidur dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

***

Pagi itu, sinar matahari perlahan menyelinap melalui celah-celah tirai, menerangi kamar yang masih tenang. Zelia terbangun lebih dulu, merasakan kehangatan tubuh King yang masih memeluknya dari belakang. Ia terkejut, namun tidak ingin bergerak dan membangunkan King.

King perlahan membuka matanya, merasakan kenyamanan yang jarang ia rasakan. Ia menatap Zelia yang masih terbaring di sampingnya. “Jadilah patuh seperti ini!” bisik King dengan nada dingin. “Aku tidak suka kau membantah, Zelia.”

King mengubah posisi Zelia sehingga ia menghadapnya. Dengan lembut namun tegas, ia mencengkeram dagu Zelia, memaksa matanya untuk menatap langsung ke dalam matanya. “Kau mengerti?” ucap King dengan dingin.

Zelia segera mengangguk, ingin berucap namun suaranya tercekat di tenggorokan. King memajukan wajahnya, dan dengan lembut ia mencium Zelia. Zelia membeku, matanya terpejam rapat. King terasa berbeda, tidak seperti biasanya.

Dalam hati, Zelia bergumam, “Kenapa aku mudah terbawa perasaan? Tidak. King adalah pria kejam. Zelia, kau tidak boleh jatuh cinta.” Ia seperti tak mengerti dengan dirinya sendiri, perasaannya bercampur aduk antara ketakutan dan kehangatan yang baru ia rasakan.