Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.
“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. Namun, di dalam hatinya, dia bertekad untuk bertahan dan mencari cara untuk melarikan diri dari mimpi buruk ini. Setelah sampai di markas, Zelia ditempatkan di sebuah kamar yang luas namun terasa dingin dan asing. Seorang maid masuk, memandangnya dengan tatapan sinis. "Bersihkan dirimu," perintahnya dengan nada tajam. Namun, Zelia menggelengkan kepala, menolak dengan tegas. "Aku tidak mau. Aku hanya ingin keluar dari sini," katanya dengan suara penuh ketakutan. Maid itu mendengus, lalu memanggil dua temannya. "Bawa dia ke kamar mandi," perintahnya. Kedua maid lainnya masuk dan tanpa banyak bicara, mereka menyeret Zelia yang meronta-ronta menuju kamar mandi. Zelia berusaha melawan, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan mereka. “Tolong lepaskan aku! Biarkan aku pergi ....” Zelia mencoba mengiba, tapi mereka semakin muak. Di kamar mandi, air dingin menyentuh kulitnya, membuatnya menggigil. Air mata Zelia bercampur dengan air yang mengalir, hatinya penuh dengan ketakutan dan keputusasaan. Dia hanya bisa berharap ada jalan keluar dari mimpi buruk ini. *** Setelah meninggalkan Zelia, King menuju Central Park, klub pribadinya yang hanya bisa di akses oleh kalangan tertentu. Klub itu adalah montase supermewah, tempat di mana kemewahan dan eksklusivitas bertemu. Desain interiornya memukau, dengan lampu kristal yang menggantung dari langit-langit tinggi, memancarkan cahaya lembut yang menciptakan suasana elegan. Dinding-dindingnya dilapisi dengan panel kayu mahoni yang dipoles sempurna, memberikan kesan hangat dan mewah. Di tengah ruangan, terdapat bar panjang yang terbuat dari marmer hitam, dihiasi dengan botol-botol anggur terbaik dari seluruh dunia. Anggur Bordeaux yang langka, Champagne Dom Pérignon, dan berbagai koleksi anggur vintage lainnya tersusun rapi, siap memanjakan para tamu yang datang. Sofa-sofa kulit berwarna gelap tersebar di seluruh ruangan, menawarkan kenyamanan bagi para pengunjung yang ingin bersantai. Di salah satu sudut klub, King bertemu dengan temannya yang sesama mafia, Matteo Alessandro. Matteo adalah penguasa El Amos, kartel besar yang menguasai Meksiko. Dengan postur tubuh yang tinggi dan wajah yang penuh karisma, Matteo menunggu dengan sabar sambil menikmati segelas anggur merah. "King," sapa Matteo dengan senyum tipis saat King mendekat. "Sudah lama tidak bertemu." King mengangguk, duduk di sebelah Matteo. "Bagaimana keadaan di Meksiko?" balasnya singkat. Matteo selain teman juga sudah dianggap kerabat, karena tantenya Matteo menikah dengan orang kepercayaan ayahnya King, King sudah menganggap tangan kanan ayahnya itu layaknya ayah. Matteo mengangkat gelasnya, menyesap anggur dengan elegan. "Seperti biasa, penuh tantangan. Tapi masih bisa mengatasinya," jawabnya dengan nada tenang. "Bagaimana dengan mu?" King menyeringai. "Manhattan selalu menarik. Ada beberapa masalah yang harus diselesaikan, tapi itu bagian dari permainan." Keduanya terkekeh, menikmati momen kebersamaan di tengah kemewahan klub malam yang hanya bisa diakses oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. "Jadi, bagaimana dengan kesepakatan barang yang kita bicarakan? Senjata-senjata itu, apakah sudah siap?" tanya Matteo dengan serius. King mengangguk, "Ya, semuanya sudah diatur. Pengiriman akan dilakukan besok malam. Senjata-senjata itu adalah yang terbaik di pasaran saat ini. Kau tidak akan kecewa." Matteo tersenyum puas, "Bagus. Aku harap semuanya berjalan lancar. Kita tidak bisa mengambil risiko dengan barang seperti ini." "Jangan khawatir, Matteo. Aku sudah memastikan semuanya aman.” Di klub malam yang mewah itu, para kupu-kupu malam berkilauan seperti bintang di langit malam. Mereka cantik, anggun, dan mempesona, seperti model yang berjalan di atas catwalk. Namun, mereka memiliki aturan ketat, tidak boleh mendekat atau menggoda kecuali diminta oleh pelanggan. "Kau tidak bersenang-senang dengan mereka, King? Ku lihat barangmu semakin bagus." King menyeringai, teringat Zelia, "Di markas ada yang lebih bagus, Matteo.” Entah kenapa, Zelia mampu membuat geloranya berkobar. Matteo mengangkat alis, “Kekasih?" King menggoyangkan gelas kristal yang berisi anggur merah terbaik dengan santai, "Hanya tawanan.” Matteo tersenyum tipis, ia pernah mendengar kisah orang tuanya, jatuh cinta pada tawanannya sendiri, "Hati-hati, King. Perasaan bisa menjadi kelemahan." “Jatuh cinta?” ucap King dengan sinis, “Dia hanya mainan ku, yang bisa ku buang kapan saja.” Setelah percakapan selesai, King berdiri, teringat Zelia. Ada rasa antusias yang membara dalam dirinya. Dia tidak sabar untuk kembali ke markas dan bermain dengan "mainan baru" yang ada di sana.King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn
Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia."Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu."Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut."Baik, aku akan segera bersiap."Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang.Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya
"Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar. Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia
Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen
Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,