Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.
Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia. "Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu." Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut. "Baik, aku akan segera bersiap." Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang. Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya telah dibeli, hanya bisa mengikuti perintah tanpa banyak bantahan. Pagi itu, kepala maid mendekati Zelia dengan tatapan tegas. "Hari ini, kamu akan membersihkan gudang. Pastikan semuanya bersih tanpa cela." Zelia mengangguk patuh dan segera menuju gudang. Tempat itu penuh dengan debu dan barang-barang yang berserakan. Tanpa mengeluh, ia mulai bekerja, menyapu, mengelap, dan merapikan setiap sudut. Waktu berlalu, dan Zelia merasa lelah. Namun, setiap kali ia mencoba untuk beristirahat, salah satu maid datang dan memerintahkannya untuk melanjutkan pekerjaan. Makan siangnya hanya berupa sepotong roti dan sedikit air, namun Zelia menerimanya tanpa protes. "Cepat selesaikan pekerjaanmu. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan." Zelia hanya mengangguk dan kembali bekerja. Meski tubuhnya lelah dan perutnya lapar, ia tahu bahwa melawan hanya akan membuat situasinya semakin sulit. Dengan tekad yang kuat, ia terus bekerja, berharap hari itu segera berakhir. Malam itu, Zelia mencoba untuk beristirahat. Tubuhnya terasa remuk redam setelah seharian bekerja keras. Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. "Sampai kapan penderitaan ini berakhir? Apakah suatu hari nanti aku akan mendapatkan secercah kebahagiaan?" Pagi harinya, Zelia kembali mendapatkan pekerjaan yang sama. Saat ia baru saja selesai mencuci bajunya, seorang maid masuk dengan tatapan arogan. Ia melemparkan baju yang sudah dicuci Zelia kembali padanya. "Bajunya masih ada noda. Cuci lagi dengan tangan." Zelia menatap baju itu dengan perasaan putus asa. Dengan tangan gemetar, ia mengambil baju itu dan mulai mencucinya lagi, berharap bahwa kali ini hasilnya akan memuaskan. Meskipun hatinya penuh dengan kesedihan dan kelelahan, Zelia terus bekerja tanpa banyak bicara. Ia tahu bahwa di tempat ini, ia harus bertahan dan berharap bahwa suatu hari nanti, nasibnya akan berubah. Zelia merasa tubuhnya semakin lemah. Saat ia hampir pingsan, seorang pria tiba-tiba muncul dan menahan tubuhnya sebelum ia jatuh. Mata mereka bertemu, dan pria itu dengan lembut membantunya duduk di kursi terdekat. Ia kemudian mengambil secangkir teh manis dan memberikannya kepada Zelia. "Kau maid baru? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya." tanya pria itu. Zelia mengangguk kaku, rasa takut masih menguasai dirinya. "Iya, saya baru di sini." Pria itu tersenyum, mencoba menenangkan Zelia. "Jangan takut! Aku Kael. Pasti King memperlakukanmu dengan buruk, ya?" Kael tahu kebiasaan King yang arogan dan tidak mau dibantah. Zelia terkejut mendengar nama King disebut. Ia mengangguk pelan, masih merasa cemas. “Tenang saja, aku sepupu King. Aku tidak akan memperlakukan mu dengan buruk." Zelia merasa sedikit lega mendengar kata-kata Kael. Meskipun ia masih merasa takut, kehadiran Kael memberikan sedikit harapan bahwa mungkin ada seseorang yang peduli padanya di tempat ini. Saat Zelia sedang berbicara dengan Kael di sudut ruangan, King masuk dengan langkah cepat dan tatapan marah. Tanpa perasaan, ia menarik tubuh lemah Zelia dengan kasar. "Ternyata kau mencoba menggoda pria lain, hm?" ucapnya dingin dan datar. Zelia terkejut dan ketakutan, tidak tahu harus berkata apa. Kael segera mencoba untuk menjelaskan situasinya. "King, tunggu! Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya ..." Namun, King menatap Kael dengan tajam, memotong penjelasannya. "Jangan ikut campur, Kael!" Kael terdiam, tidak ingin memperburuk situasi. Zelia hanya bisa menatap King dengan mata penuh ketakutan, berharap bahwa ia tidak akan dihukum lebih parah lagi. Dalam hatinya, ia merasa semakin terjebak dalam situasi yang tak berujung ini. Dengan langkah terseok-seok, Zelia mengikuti King menaiki tangga menuju kamarnya. Setiap langkah terasa menyakitkan, namun King tidak menunjukkan sedikit pun rasa peduli terhadap teriakan kesakitan Zelia. "Tolong... aku tidak kuat..." Namun, King hanya menariknya lebih keras, tidak menghiraukan permohonan Zelia. Mereka akhirnya sampai di kamar, dan King mendorong Zelia masuk dengan kasar. "Jangan pernah mencoba menggoda pria lain lagi. Kau milikku." Zelia hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. "Sekarang lakukan tugas mu!” Wajah Zelia yang dari awal pucat menjadi semakin pucat."Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar. Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia
Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen
Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,
Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N
King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn