Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini.
Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari, paman Zelia semakin bersikap kasar. Matanya menatap Zelia tajam, "Ikut Paman sekarang ke klub malam!" Zelia menggeleng, berusaha untuk kabur tapi pamannya lebih dulu mencekal lengannya dengan kuat, Zelia mencoba meronta, berusaha menjauh, tetapi pamannya dengan satu pukulan keras di tengkuknya, berhasil membuat Zelia jatuh pingsan. Ketika Zelia sadar, dia menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruangan, Zelia yang terikat pada kursi, menatap pamannya dengan pandangan yang penuh kekecewaan dan amarah. "Paman, apa yang kamu lakukan?" Zelia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan diculik oleh pamannya sendiri. Zelia tidak pernah menyangka pria itu akan tega memperlakukan keponakannya sendiri seperti ini. "Kamu sudah sadar? Baguslah, kuberitahu bahwa mulai sekarang kamu telah dijual dan menjadi pelunas hutang-hutangku." Pamannya tertawa, suara rendahnya bergema. Zelia menggeleng, tak percaya. Menjualnya? Artinya ada kemungkinan ia akan dijadikan seorang wanita penghibur atau dijual kepada pria tua untuk melayani nafsu pria itu. Memikirkan hal itu, Zelia semakin berusaha untuk melepaskan dirinya. Namun, percuma tenaganya tidak sekuat itu untuk lepas dari ikatan tali yang membelenggunya. Pamannya mendekat, menundukkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Zelia. "Kau tidak mungkin bisa lepas dari sini. Jadi berhentilah melawan!" Zelia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Namun, jantungnya semakin berdegup ketika mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke ruangan tempatnya berada. KLAK! Pintu ruangan terbuka. Meski merasa cemas, Zelia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pria yang telah membelinya dari pamannya. Zelia menatap sosok pria yang melangkah masuk dengan penuh rasa arogansi. Pria itu tinggi dan kekar serta memiliki rahang yang tegas, sorot matanya tajam menatap Zelia. Mata Zelia melebar begitu menyadari bahwa wajah pria itu nampak familiar! “Pria itu…” Sekilas ingatan di kepala Zelia kembali muncul mengenai kejadian beberapa hari lalu, Zelia mabuk tapi samar-samar ia masih mengingat wajah itu. Dan kini, ia kembali dipertemukan oleh pria yang telah merenggut mahkotanya saat itu. “Apa kau mengingatku gadis kecil?” suara dalam pria itu membuat bulu kuduk Zelia merinding. Dia kembali tersadar pada posisinya saat ini. Zelia menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Mengapa kau ada di sini?" tanyanya, berusaha keras untuk menjaga suaranya tetap stabil. King tersenyum, sebuah senyum yang penuh kepercayaan diri dan dominasi. “Aku pria yang telah membeli mu. Apa pamanmu belum menjelaskannya?” Pamannya yang tak kalah gugup, berkata dengan gemetar sambil kembali menatap Zelia, “Dia adalah Tuan King, mulai sekarang kau harus mengikuti semua perintahnya.” Mendengar hal itu Zelia semakin merasa terkejut. Pasalnya dia pernah mendengar tentang nama itu. Itu adalah nama dari seorang mafia yang paling ditakuti di kota tempat tinggalnya! Jadi ternyata pamannya telah menjualnya kepada seorang mafia kejam berhati dingin. King mengangkat sudut bibirnya melihat ekspresi Zelia yang begitu terkejut. Dengan gerakan tangannya, ia mengusir Bobby untuk keluar dari ruangan itu. “Paman ... Ku mohon, jangan tinggalkan aku!” seru Zelia mulai ketakutan. Pamannya tak peduli, menoleh ke belakang saja tidak. Saat pintu tertutup rapat dan pamannya tak terlihat, Zelia memejamkan matanya, berusaha untuk tidak menangis. Zelia tahu bahwa dia harus bertahan, bahwa dia harus menemukan cara untuk melarikan diri dari cengkeraman King. Sekarang di ruangan itu menyisakan dia hanya berdua dengannya. “Apa yang kau inginkan dariku, Tuan?” Zelia menahan rasa takutnya. King mendekat hingga hanya beberapa langkah dari tempat Zelia duduk terikat dan berbisik lembut di telinga Zelia, "Kau telah berani menyentuhku bahkan meninggalkan ku tanpa izin. Maka sekarang kau harus bertanggung jawab.”Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N
King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn
Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia."Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu."Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut."Baik, aku akan segera bersiap."Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang.Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya
"Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar. Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia
Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen