King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya.
Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhnya gemetar. “Shit!” King terlihat geram saat Zelia tak beranjak, King mendekat dengan langkah mantap. Tatapan matanya yang dingin membuat Zelia semakin ketakutan. King mencengkeram dagunya dengan kasar, memaksa Zelia untuk menatapnya langsung. Ketegangan di ruangan itu membuat Zelia seolah-olah udara menjadi lebih berat dan sulit dihirup. “Di mana sisi liar mu waktu itu, Gadis kecil?" ucap King dengan nada dingin dan menuntut. Zelia masih sesenggukan, "Saat itu... aku ... aku tidak sadar.” Suaranya pelan dan terdengar gemetar. King menatap Zelia dengan tajam, tidak puas dengan jawabannya. Dia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Zelia terhuyung ke belakang. Zelia merasa ketakutan dan terpojok, hatinya berdebar kencang. "Tolong, aku mohon. Kasihanilah aku." Zelia terus mengiba, dia berharap King luluh dan melepaskannya. “Aku butuh kau malam ini!” bisik King yang membuat bulu kuduknya berdiri, Zelia terus menggeleng. King tak suka penolakan, ia meraih lengannya dan menariknya dengan kasar ke ranjangnya, genggamannya kuat dan tak terlepas. Zelia semakin ketakutan, “Tolong ... aku tidak bisa." King menariknya dengan kasar, dan menghempaskan tubuh Zelia hingga memantul di ranjangnya yang empuk itu. King menyeringai kejam, "Kau tidak punya pilihan, Gadis kecil. Kau milikku. Lakukan apa yang kuinginkan." King, dengan tubuh kekarnya mengungkung tubuh Zelia. “Lepaskan aku!” seru Zelia sambil berusaha melepaskan dirinya dari tubuh King dengan air mata bercucuran. King menatap Zelia dengan tatapan dingin, tetapi ada kilatan emosi yang sulit diartikan di matanya. “Kenapa takdir sekejam ini?” Zelia terus berjuang, menjerit dalam hati, merasa dirinya begitu lelah dengan permasalahan hidupnya. Mata Zelia membulat begitu mendapati bibirnya dibungkam oleh King yang berada di atas tubuhnya ini. Ciuman itu semakin menuntut. Zelia berusaha mendorong tubuh King, tapi tenaga pria itu jauh lebih besar darinya, apa lagi kedua tangan Zelia sudah dicekal oleh King. King melepas ciumannya, napas mereka memburu. “Berhenti menangis!” bisik King dengan penuh ancaman. Rasa takut, membuat Zelia tetap menangis. Saat melihat air mata Zelia dan wajah menyedihkannya, King tiba-tiba merasa marah. Brakk! King memukul meja yang ada di samping ranjang dengan keras, sontak membuat Zelia memekik kaget. “Kau membuatku kehilangan selera!" geram King. King beranjak dari tubuh Zelia. Suara tangis yang menyayat hati itu, membangkitkan sisi gelap dalam dirinya, membuat amarahnya membara. Tanpa berpikir panjang, King menyeret Zelia menuju kamar mandi, niatnya jelas di matanya yang penuh kemarahan. “Ampun ...,” Zelia mengiba, dengan wajah yang menyedihkan, bahkan King tak peduli saat lutut Zelia terbentur ubin dengan keras. Yang dia inginkan hanya memberikan pelajaran agar Zelia patuh, bukan membuatnya marah karena penolakannya. “Sial ...!” King menatap Zelia yang kini sudah pingsan di lantai. Akhirnya King, menyuruh anak buahnya untuk membawa Zelia kembali ke kamarnya. Anak buah King segera mengangkat Zelia dengan hati-hati dan membawanya ke kamarnya. King menatap mereka yang pergi tanpa ekspresi. Untuk meredakan amarahnya, King menuju meja bar di markasnya. Dia mengambil sebotol anggur terbaik dan menuangkan segelas penuh. Dengan gerakan lambat, dia menyesap anggur itu, merasakan setiap tetesnya menenangkan sarafnya yang tegang. Tiba-tiba, sebuah tangan halus melingkar di lengannya. King hanya meliriknya dengan tatapan dingin. "Jauhkan tanganmu, atau aku akan mematahkannya." King tidak suka disentuh tanpa izin, dan nada suaranya yang dingin membuat wanita itu segera menarik tangannya. King kembali fokus pada gelas anggurnya, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi dengan penolakan Zelia. Wanita itu mendekat tapi tidak sampai menyentuh King. "Kau bisa memakai aku, King,” ucapnya menggoda. "Sayangnya, aku tidak mau menyentuh dua kali orang yang sama," ucap King dengan nada sinis tanpa memandang wanita itu. Wanita itu mundur dengan kecewa, tetapi King tidak peduli. King menyesap anggurnya lagi, pikirannya kembali ke Zelia. Ada sesuatu tentang Zelia yang berbeda, sesuatu yang membuatnya merasa bergairah, hingga membuatnya mau terus menyentuh gadis itu berulang kali. “Dia hanya mainan ku, tak akan pernah menjadi lebih.” King selalu teringat masa lalunya yang kelam. Ibunya dan ayahnya menikah karena perjodohan, namun ibunya tidak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Suatu hari, di depan mata King yang masih kecil, ibunya menembak dirinya sendiri. Sejak saat itu, ayahnya menanamkan dalam diri King untuk tidak percaya pada cinta dan wanita. Meskipun begitu, King pernah jatuh cinta, namun dikhianati oleh cinta pertamanya. Pengalaman itu membuatnya membentengi dirinya tanpa cinta dan wanita. King menganggap semua wanita sama saja. Pengkhianatan itu meninggalkan luka yang dalam, membuatnya sulit untuk mempercayai wanita lagi. “Semua wanita sama saja. Mereka hanya akan mengkhianatimu pada akhirnya.”Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia."Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu."Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut."Baik, aku akan segera bersiap."Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang.Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya
"Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar. Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia
Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen
Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,
Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N