Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing.
Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya. "Bagaimana bisa aku melakukan ini?" bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku hanya ingin melupakan rasa sakit, tapi malah kehilangan mahkota yang selama ini aku jaga." Zelia menyadari mabuk bukanlah solusi. Zelia menutup matanya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. "Tolong, biarkan ini semua hanya mimpi," katanya dengan suara serak. Namun, saat ia membuka matanya, kenyataan yang pahit kembali menghantamnya. Ia merasa tertampar oleh kenyataan yang tak bisa dihindari. "Daniel, kenapa kamu harus menghancurkan hatiku seperti ini?" Zelia meratap, suaranya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan. "Aku mencintaimu dengan sepenuh hati, tapi kamu memilih untuk meninggalkanku demi dia. Apa aku tidak cukup baik?" Ia meremas seprai tempat tidurnya, mencoba menahan rasa sakit yang begitu dalam. "Dan sekarang, aku malah terjebak dalam situasi yang lebih buruk. Aku kehilangan diriku sendiri, kehilangan harga diriku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Zelia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku harus kuat. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus menemukan cara untuk keluar dari semua ini, untuk melanjutkan hidupku." Dengan tekad yang baru, Zelia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi. Ia membersihkan diri, mencoba menghapus semua jejak malam yang kelam itu. Meskipun rasanya sangat berat, ia tahu bahwa ia harus menghadapi hari ini. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, Zelia bersiap untuk pergi ke kantor. Rasanya sangat berat karena harus melihat Daniel, sang mantan, yang telah menghancurkan hatinya. Dengan hati yang masih berdebar, Zelia tiba di kantornya. Namun, hari itu tidak menjadi lebih baik. Di ruang kerjanya, Daniel dan calon istrinya, Theana, sedang membagikan undangan pernikahan mereka. Ketika Zelia masuk, Theana tersenyum sinis dan menyerahkan undangan itu langsung ke tangannya. "Jangan lupa datang, Zelia. Kami ingin semua teman-teman hadir," kata Theana dengan nada mengejek. Theana sudah lama menginginkan Daniel tapi sayang Daniel malah memilih Zelia sebagai kekasihnya, tapi takdir berpihak padanya, lewat keluarga Theana merengek pada sang ayah untuk menjodohkan mereka, dan sekarang berhasil, Theana sebentar lagi mendapatkan Daniel seutuhnya. Daniel hanya berdiri di sampingnya, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. Teman-teman kantor yang lain menatap Zelia dengan tatapan kasihan, tetapi ada juga yang mengejeknya karena dari dulu iri. “Theana memang lebih setara dengan Daniel. Kamu seharusnya tahu diri, Zelia,” ucapnya dengan terang-terangan di hadapan Zelia, Theana merasa semakin puas, dia bahkan bergelayut manja di lengan Daniel. Sakit! Itu yang dirasakan Zelia. Zelia menahan air matanya, berusaha tetap tegar di depan semua orang. "Aku pasti datang!” ucap Zelia dengan penuh keyakinan. *** Zelia baru saja tiba di rumah setelah hari yang panjang dan penuh penghinaan di kantor. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan, tetapi harapan itu segera pupus ketika pamannya menghadangnya di pintu masuk. "Zelia, kamu dari mana saja? Aku butuh uang!" teriak pamannya dengan nada arogan, wajahnya memerah karena marah. Zelia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Paman, aku belum gajian. Uangku sudah hampir habis," jawabnya dengan suara lelah. Namun, pamannya tidak peduli. Dengan kasar, ia merampas tas Zelia dan mulai menggeledah isinya. "Aku tahu kamu pasti punya uang! Jangan bohongi aku!" katanya sambil mengeluarkan dompet Zelia dan mengambil uang yang tersisa di dalamnya—uang yang seharusnya digunakan Zelia untuk ongkos pulang pergi ke kantor. Zelia hanya bisa memandang punggung pamannya yang menjauh, merasa marah dan tak berdaya. "Untung aku sudah tahu kebiasaan pamanku," pikirnya. "Aku sudah menyimpan sebagian uangku di tempat lain." Zelia hanya bisa menahan rasa muak yang semakin menumpuk. "Andai orang tuaku masih ada, mungkin aku masih punya sedikit kebahagiaan," pikirnya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang kini berubah menjadi sumber tekanan yang tak berkesudahan. Pamannya, yang suka berjudi dan malas bekerja, selalu menekan Zelia, "Kamu harus ingat, aku yang membesarkan mu! Kamu berhutang budi padaku!" katanya dengan nada kasar, kata yang masih terngiang di telinganya. Zelia tahu bahwa pamannya bahkan telah menjadikannya sebagai jaminan hutang di sebuah bar. Zelia harus hidup berhemat, menahan diri dari keinginan-keinginan kecil demi memenuhi tuntutan pamannya. Rasanya ia sudah muak dengan semua ini. Namun, ada satu alasan yang membuatnya tidak kabur dari rumah itu—bibinya yang terbaring stroke. Bibi yang dulu selalu memanjakannya, memberikan kasih sayang yang tulus. Zelia tidak setega itu untuk meninggalkan bibinya. "Persetan dengan pamanku," pikirnya. "Aku akan bertahan demi bibi." Dengan hati yang berat, Zelia berjalan menuju kamarnya. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. Setiap hari adalah perjuangan, dan ia harus terus bertahan demi bibinya yang terbaring sakit. "Aku harus kuat," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku tidak bisa menyerah sekarang." Di dalam kamar, Zelia duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia masih duduk di bangku SMP. Kecelakaan tragis itu masih terpatri jelas di ingatannya—bus yang ditumpangi kedua orang tuanya jatuh ke jurang, merenggut nyawa mereka seketika. Keluarga satu-satunya yang tersisa hanyalah paman dan bibinya, yang tidak memiliki keturunan sendiri. Mereka membawa Zelia ke rumah mereka, sedangkan rumah peninggalan orang tuanya pun sudah dijual oleh pamannya untuk alasan biaya sekolah. Bibinya, yang dua tahun terakhir ini mengalami stroke, adalah satu-satunya alasan Zelia tetap bertahan di rumah itu. Zelia sering heran bagaimana bibinya bisa bertahan meskipun mendapatkan kekerasan dari pamannya. “Bibi, kenapa kamu tidak pernah melawan?” pikir Zelia, merasa sedih dan marah sekaligus. Zelia tahu bahwa hidupnya penuh dengan tantangan, tetapi ia tidak akan membiarkan pamannya menghancurkan semangatnya. Ada harapan di dalam hatinya, meskipun kecil, bahwa suatu hari nanti ia akan menemukan jalan keluar dari semua penderitaan ini. *** Di tempat lain, di sebuah ruangan mewah yang dipenuhi dengan penjagaan ketat, King duduk di kursi kebesarannya. King, yang dikenal sebagai seorang mafia kejam di kota itu, merasa murka. Wanita yang ia temui tadi malam, telah meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata pun. King mengepalkan tangannya, merasakan amarah yang membara di dalam dadanya. “Berani sekali wanita itu,” gumamnya dengan suara rendah namun penuh ancaman. Ia mengingat kembali bagaimana Zelia dengan berani duduk di pangkuannya, hanya untuk menghilang tanpa jejak saat pagi tiba. "Segera cari wanita itu!" titahnya pada para bawahannya yang segera mengangguk patuh.Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,
Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N
King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn
Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia."Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu."Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut."Baik, aku akan segera bersiap."Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang.Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya
"Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar. Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia