King melemparkan sebuah gaun seksi ke arah Zelia dengan tatapan tajam. "Lakukan tugasmu atau kau akan berakhir tragis!" ancamnya dengan suara dingin.
Ancaman itu membuat Zelia bergetar, tapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia berdiri dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Ia masih ingin hidup. Di dalam kamar mandi, Zelia memandang dirinya di cermin dengan perasaan miris. Zelia tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Zelia berdiri di depan cermin, tangannya gemetar saat ia mengganti pakaiannya. Gaun seksi yang dilemparkan oleh King terasa asing dan tidak nyaman di tubuhnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Zelia keluar dengan menundukkan kepalanya. "Menari lah!" ucap King dengan tajam, sambil menikmati segelas anggur merah dan menyesapnya pelan. Zelia terisak, ia tidak terbiasa menari, apalagi dengan pakaian yang tidak nyaman ini. Prang! Gelas kristal itu dilemparkan King ke dinding, pecah berkeping-keping. "Jangan membuatku marah karena menunggu!" desis King dengan nada mengancam. Zelia mundur ketakutan, air mata mengalir di pipinya. Zelia berlutut, air mata mengalir deras di pipinya. "Tolong, King, aku mohon," suara Zelia bergetar penuh ketakutan. Namun, King hanya menatapnya dengan dingin, tidak ada sedikit pun belas kasihan di matanya. "Bangun dan menari," perintahnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah namun lebih mengancam. Zelia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dengan susah payah, ia berdiri dan mulai bergerak mengikuti irama yang ia bayangkan di kepalanya. King menyesap anggurnya lagi, matanya tidak pernah lepas dari Zelia. Setiap gerakan Zelia terasa seperti siksaan, tapi ia terus menari, berharap bahwa ini akan segera berakhir. Namun, King tampaknya menikmati penderitaannya, senyum tipis terukir di bibirnya. King matanya tak lepas dari Zelia yang sedang menari dengan kaku. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Ia merasa tidak nyaman melihat kedekatan Zelia dan Kael, meskipun ia tahu bahwa tidak ada alasan logis untuk merasa demikian. Saat Zelia menari, King meletakkan gelasnya dengan perlahan. Ia berdiri, tatapannya tajam seperti seekor singa yang mendekati buruannya. Zelia merasakan ketegangan yang semakin meningkat dan berhenti menari, mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh dinding. King mendekat, langkahnya tenang namun penuh ancaman. Ia berhenti tepat di depan Zelia, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahnya. "Jangan pernah berpikir untuk melawan, Zelia. Kau milikku, dan aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan mudah," King berbisik, suaranya rendah. Zelia menelan ludah, tubuhnya gemetar. Ia tahu bahwa King tidak main-main dengan ancamannya. King tersenyum tipis, mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Zelia. Zelia hanya mampu menutup matanya, saat tangan King menyentuh wajahnya. Ia menangis tertahan, air matanya mengalir tanpa suara. Tanpa aba-aba, King membopong Zelia di pundaknya. King mendorong Zelia hingga tubuh Zelia memantul di ranjang empuk itu. Tatapannya gelap dan berkabut gairah. “Kau benar-benar menguji kesabaran ku, sepertinya kau harus dihukum!" Zelia beranjak, tapi King menariknya dan mengungkung tubuhnya. “Apa susahnya menurut, hm?” ucap King serak karena mulai terpancing gairahnya, satu tangannya mengelus wajah Zelia. King masih di posisi menindihnya, Zelia terlihat mulai gelisah saat melihat tatapan King. King mulai melabuhkan ciumannya ke bibir mungil Zelia, Zelia terus berusaha memberontak, tapi tubuh kekar King tidak beranjak sedikit pun, malah semakin kuat menghimpitnya. Zelia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, ketakutan dan ketidakberdayaan menyelimuti dirinya. Tiba-tiba, ponsel King berdering, memaksanya untuk menghentikan aktivitasnya. Dengan satu tangan masih memegang Zelia, ia mengangkat telepon dengan wajah menahan marah karena ada yang menganggu kesenangannya. "King, kita punya masalah. Transaksi kita sudah diamankan polisi. Ada pengkhianat di klan!" suara di ujung telepon terdengar panik. Wajah King menggelap, matanya menyala dengan kemarahan yang membara. "Temukan tikus itu!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Zelia bisa merasakan ketegangan di tubuh King, dan ia tahu bahwa situasi ini akan semakin berbahaya. King tiba-tiba sudah tidak berminat menyentuh Zelia. Ia tidak ingin masalah klan menghambat semuanya. "Untuk malam ini kau selamat, Zelia, tapi tidak untuk malam-malam selanjutnya." King melepaskan Zelia, dengan langkah cepat dan penuh amarah, King buru-buru keluar dari kamar, meninggalkan Zelia yang terbaring lemas di ranjang. Air mata mulai mengalir di pipinya, tubuhnya gemetar, dan hatinya terasa hancur. Zelia menatap langit-langit kamar King yang mewah, pikirannya penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Kata-kata seorang maid yang pernah ia temui terus terngiang di telinganya, "Jangan membantah atau Tuan King akan bertindak lebih kasar padamu. Menurut Lah, dan dia akan segera bosan denganmu!" "Mainan?" pikir Zelia dengan getir. Ia sadar bahwa dirinya dibeli seperti mainan, namun perasaan itu masih sulit diterima. Ia belum terbiasa dengan kenyataan pahit ini. "Apa yang harus kulakukan?" pikirnya, hatinya berdebar kencang. "Apakah aku harus menyerah seperti ucapan maid itu?" Zelia merasa terjebak dalam dilema yang menyakitkan. Di satu sisi, ia ingin melawan dan mempertahankan harga dirinya. Di sisi lain, ia takut akan konsekuensi yang lebih buruk jika ia melawan. Air mata kembali mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putus asa yang mendalam.Di ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, dinding-dinding batu yang dingin memantulkan cahaya redup dari lampu gantung tua. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menambah suasana mencekam. Di sudut ruangan, ada meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan senjata. Beberapa anak buah King berdiri berjaga di sekitar, wajah mereka tegang dan serius. Suasana tegang menyelimuti ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya lampu redup. Di tengah ruangan, terikat di sebuah kursi, seorang pria berwajah ketakutan, tubuhnya gemetar hebat mengetahui apa yang akan terjadi padanya. King mafia, yang dikenal dengan kekejamannya, berdiri tegap di depan pria tersebut. Matanya yang tajam menatap tanpa ampun, menyisakan aura mengerikan yang menyelimuti seluruh ruangan. Dengan langkah yang berwibawa, ia mendekati pria yang terikat, menunjukkan kekuasaan mutlak yang ia miliki atas klannya. King, dengan tatapan tajam dan penuh amarah, mencengkram erat dagu pengkhianat di depannya. "Si
King beranjak dari ranjang, meninggalkan Zelia yang masih duduk di sana, seperti orang linglung. Dia masih terkejut dengan ciuman lembut yang diberikan King. Dalam sekejap, sikap King berubah drastis."Cepat bangun, buatkan sarapan!" seru King dengan nada dingin.Zelia tersentak mendengar nada dingin King. Perasaan campur aduk memenuhi pikiran Zelia. Dengan buru-buru, dia beranjak ke kamar mandi, mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu, dia mengganti pakaiannya dengan seragam maid, siap untuk menjalankan tugasnya.King menatap Zelia yang bergegas pergi, merasa bingung dengan perasaannya sendiri. King sendiri tidak percaya pada cinta, tetapi anehnya, dia mencium Zelia dengan lembut tadi. Dia tidak pernah membiarkan dirinya terikat oleh emosi, tetapi ada sesuatu tentang Zelia yang membuatnya bertindak berbeda. Namun, dia menepis pikiran itu dan fokus pada rutinitasnya.Zelia, dengan seragam maid yang rapi, menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Meskipun hatinya masih berdebar, dia beru
Zelia mengikuti seorang maid, langkahnya ragu-ragu saat mereka menuju sebuah ruangan."Masuklah!" perintah maid itu dengan nada tegas.Meskipun hatinya dipenuhi ketakutan, Zelia tetap melangkah masuk. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Zelia dalam keremangan ruangan yang hanya diterangi oleh lampu merah redup. Di sekelilingnya, berbagai alat seperti d*ldo, cambuk kecil halus, dan rantai membuatnya bergidik ngeri.Di sudut ruangan, King duduk di sofa hitam, menyesap wine dengan tenang. Tatapannya dingin dan penuh kuasa."Tuan..." sapa Zelia dengan nada takut dan gugup.King menatap Zelia dengan tatapan tajam, seolah-olah menilai setiap gerakannya. Zelia merasa jantungnya berdebar kencang, ketakutan dan ketidakpastian memenuhi pikirannya."Mendekat lah!" perintah King.Zelia, meskipun ragu, melangkah mendekati King. King berdiri memutarinya.Dengan gerakan cepat, King menarik lengan Zelia, mengikat Zelia dengan rantai hingga membentuk posisi X. Zelia merasa ketakutan dan tidak
"Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar. Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia
Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen
Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,
Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N
King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn
Zelia mengikuti seorang maid, langkahnya ragu-ragu saat mereka menuju sebuah ruangan."Masuklah!" perintah maid itu dengan nada tegas.Meskipun hatinya dipenuhi ketakutan, Zelia tetap melangkah masuk. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Zelia dalam keremangan ruangan yang hanya diterangi oleh lampu merah redup. Di sekelilingnya, berbagai alat seperti d*ldo, cambuk kecil halus, dan rantai membuatnya bergidik ngeri.Di sudut ruangan, King duduk di sofa hitam, menyesap wine dengan tenang. Tatapannya dingin dan penuh kuasa."Tuan..." sapa Zelia dengan nada takut dan gugup.King menatap Zelia dengan tatapan tajam, seolah-olah menilai setiap gerakannya. Zelia merasa jantungnya berdebar kencang, ketakutan dan ketidakpastian memenuhi pikirannya."Mendekat lah!" perintah King.Zelia, meskipun ragu, melangkah mendekati King. King berdiri memutarinya.Dengan gerakan cepat, King menarik lengan Zelia, mengikat Zelia dengan rantai hingga membentuk posisi X. Zelia merasa ketakutan dan tidak
King beranjak dari ranjang, meninggalkan Zelia yang masih duduk di sana, seperti orang linglung. Dia masih terkejut dengan ciuman lembut yang diberikan King. Dalam sekejap, sikap King berubah drastis."Cepat bangun, buatkan sarapan!" seru King dengan nada dingin.Zelia tersentak mendengar nada dingin King. Perasaan campur aduk memenuhi pikiran Zelia. Dengan buru-buru, dia beranjak ke kamar mandi, mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu, dia mengganti pakaiannya dengan seragam maid, siap untuk menjalankan tugasnya.King menatap Zelia yang bergegas pergi, merasa bingung dengan perasaannya sendiri. King sendiri tidak percaya pada cinta, tetapi anehnya, dia mencium Zelia dengan lembut tadi. Dia tidak pernah membiarkan dirinya terikat oleh emosi, tetapi ada sesuatu tentang Zelia yang membuatnya bertindak berbeda. Namun, dia menepis pikiran itu dan fokus pada rutinitasnya.Zelia, dengan seragam maid yang rapi, menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Meskipun hatinya masih berdebar, dia beru
Di ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, dinding-dinding batu yang dingin memantulkan cahaya redup dari lampu gantung tua. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menambah suasana mencekam. Di sudut ruangan, ada meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan senjata. Beberapa anak buah King berdiri berjaga di sekitar, wajah mereka tegang dan serius. Suasana tegang menyelimuti ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya lampu redup. Di tengah ruangan, terikat di sebuah kursi, seorang pria berwajah ketakutan, tubuhnya gemetar hebat mengetahui apa yang akan terjadi padanya. King mafia, yang dikenal dengan kekejamannya, berdiri tegap di depan pria tersebut. Matanya yang tajam menatap tanpa ampun, menyisakan aura mengerikan yang menyelimuti seluruh ruangan. Dengan langkah yang berwibawa, ia mendekati pria yang terikat, menunjukkan kekuasaan mutlak yang ia miliki atas klannya. King, dengan tatapan tajam dan penuh amarah, mencengkram erat dagu pengkhianat di depannya. "Si
King melemparkan sebuah gaun seksi ke arah Zelia dengan tatapan tajam. "Lakukan tugasmu atau kau akan berakhir tragis!" ancamnya dengan suara dingin.Ancaman itu membuat Zelia bergetar, tapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia berdiri dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Ia masih ingin hidup.Di dalam kamar mandi, Zelia memandang dirinya di cermin dengan perasaan miris. Zelia tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Zelia berdiri di depan cermin, tangannya gemetar saat ia mengganti pakaiannya. Gaun seksi yang dilemparkan oleh King terasa asing dan tidak nyaman di tubuhnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Zelia keluar dengan menundukkan kepalanya."Menari lah!" ucap King dengan tajam, sambil menikmati segelas anggur merah dan menyesapnya pelan.Zelia terisak, ia tidak terbiasa menari, apalagi dengan pakaian yang tidak nyaman ini.Prang!Gelas kristal itu dilemparkan King ke dinding, pecah berkeping-keping."Jangan membua
Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia."Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu."Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut."Baik, aku akan segera bersiap."Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang.Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya
King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn
Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N
Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,
Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen