"Zelia, kita perlu bicara," kata Daniel dengan nada datar.
Zelia tersenyum, beberapa hari ini Daniel terlihat berbeda tapi pada akhirnya mau bicara dengannya. Zelia mengikuti hingga sampai rooftop kantor. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Daniel?" Zelia masih tersenyum pada kekasih hatinya itu. Daniel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Ibuku telah menjodohkanku dengan wanita lain, dan aku harus menurutinya." Deg Kata-kata itu menghantam Zelia seperti palu, senyumnya memudar. "Apa? Daniel, kamu serius?" tanyanya, suaranya bergetar. "Ya, aku serius," jawab Daniel tanpa sedikit pun emosi di wajahnya. "Ibuku menginginkan menantu yang setara." Zelia merasa dunia sekitarnya runtuh. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu tanpa perasaan sedikit pun? Apakah aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Daniel mengangkat bahu, acuh. "Ini bukan tentang perasaan, Zelia. Ini tentang realita bahwa kamu dan aku memang tidak sebanding" Zelia berdiri, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tidak sebanding? Lalu, apa arti semua yang telah kita lalui bersama?" teriak Zelia seakan tidak terima. Daniel hanya menatapnya dengan dingin, sebelum berlalu meninggalkan Zelia. "Lupakan saja semua itu." Dengan hati yang hancur, Zelia meninggalkan kantor itu, merasa dikhianati dan tak berdaya. Ia tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk melupakan Daniel dan melanjutkan hidupnya, meskipun itu terasa mustahil saat ini. *** Zelia menatap kosong ke arah jendela saat di dalam taksi, hatinya hancur berkeping-keping. Daniel, pria yang selama ini ia cintai, baru saja memutuskan hubungan mereka. Alasan yang diberikan Daniel begitu menyakitkan—ibunya telah menjodohkannya dengan wanita lain yang dianggap lebih setara. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Setiap kenangan manis bersama Daniel kini terasa seperti duri yang menusuk hatinya. "Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?" pikir Zelia, merasakan patah hati yang begitu dalam. Ia merasa tak berdaya, seolah-olah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Zelia butuh tempat untuk melarikan diri, tempat di mana ia bisa merasakan kesendirian tanpa harus memikirkan apa yang baru saja terjadi. Untuk melupakan rasa sakitnya, Zelia memutuskan untuk pergi ke bar. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meskipun hanya untuk satu malam. Begitu masuk ke dalam, Zelia langsung mencari sudut paling pojok dan gelap. Ia ingin menikmati kesendiriannya, jauh dari pandangan orang lain. Duduk di kursi yang terasa dingin, ia memesan minuman yang paling keras yang bisa ditawarkan oleh bartender. Gelas demi gelas ia tenggak, berharap alkohol bisa menghapus rasa sakit di hatinya. Musik yang berdentum keras dan lampu yang berkelap-kelip seolah-olah mengiringi penderitaannya. Semakin lama, Zelia semakin mabuk. Kata-kata yang keluar dari mulutnya mulai tak jelas, meracau tentang cinta yang hilang dan pengkhianatan. Pandangannya mulai kabur, namun di tengah keremangan bar, matanya tertuju pada seorang pria yang duduk tidak jauh darinya. Pria itu tampak berbeda dari yang lain. Wajahnya tampan dengan rahang yang tegas, tubuhnya kokoh dan berotot, memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri. Ia duduk dengan angkuh, seolah-olah dunia ini miliknya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat Zelia merasa tertarik, meskipun dalam keadaan mabuk. Dengan langkah yang sempoyongan, Zelia mendekati pria tersebut. Dengan mata yang setengah tertutup karena mabuk, Zelia mengusap dada pria itu dengan lembut. "Kamu tahu," katanya dengan suara serak, "aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku." Pria itu menoleh, menatap Zelia dengan mata yang tajam. Tanpa ragu, Zelia duduk di pangkuan pria itu, merasakan kehangatan tubuhnya yang kokoh. Dua anak buah pria itu, yang berdiri tidak jauh, segera bergerak mendekat, bermaksud untuk menyeret Zelia yang begitu berani. Namun, pria itu mengangkat tangannya, memberikan isyarat yang membuat mereka berhenti. Mereka mengerti bahwa pria itu ingin membiarkan Zelia tetap di tempatnya. Pria itu menatap Zelia dengan tatapan yang sulit diartikan. Malam itu, Zelia menemukan kenyamanan yang tak terduga dalam pelukan pria asing itu. "Apa kamu bisa membantuku untuk melupakan pria jahat itu?” Zelia mencium bibir pria itu, mereka larut dalam ciuman penuh gelora, tanpa melepas ciumannya, pria itu mengangkat tubuh Zelia dengan mudah dan membawanya pada sebuah kamar teratas di klub miliknya itu. Pria itu merebahkan Zelia di ranjang, ciuman panas itu akhirnya terlepas, napas Zelia terengah-engah. Tak butuh lama pria itu melepas baju yang dipakai Zelia. Cup Lenguhan keluar dari mulut Zelia, saat pria itu menyasar lehernya dengan lidah. Lenguhan Zelia membuat gelora pria itu semakin berkobar. Tangan pria itu mulai mengusap seluruh lekuk tubuh Zelia, dalam keremangan kamar pria itu bisa melihat tubuh Zelia yang sempurna, pria itu melepas seluruh pakaiannya sendiri, tak sabar menikmati wanita yang pasrah itu, tidak peduli Zelia dalam keadaan mabuk. Salahkan Zelia yang berani mendekat. "Ah ...,” lenguh Zelia tertahan, saat merasakan sensasi yang membuatnya larut dalam gelora meskipun dalam keadaan mabuk, ia terlihat menikmatinya saat pria itu menyusuri setiap jengkal tubuhnya. Zelia menjerit kesakitan saat pria itu melakukan penyatuan. "Shit! Kau masih ...?” Pria itu menyeringai, dan menhujam tanpa ampun. Entah berapa lama melakukan penyatuan hingga akhirnya keduanya tertidur pulas.Zelia terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa dirinya terbaring tanpa busana di tempat tidur yang asing. Panik! Zelia menoleh dan melihat pria asing masih tertidur di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, Zelia segera bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai, dan bergegas keluar dari kamar itu. Dengan hati yang sesak dan hancur, Zelia pulang ke rumah. Namun, penderitaannya seakan bertambah dengan kehadiran pamannya yang hanya bisa menghardik dan yang ada di otaknya hanya uang. "Zelia, kamu harus bekerja lebih keras! Kita butuh uang untuk membayar utang-utang ini!" teriak pamannya dengan kasar. Zelia hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit dan kelelahan yang semakin menumpuk. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari semua ini. Di kamarnya, Zelia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah cermin. Air mata mengalir tanpa hen
Zelia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan merawat bibinya yang stroke untuk melupakan semua hal yang telah membuatnya sedih dan patah hati beberapa hari ini. Ketika dirinya baru saja memutuskan akan beristirahat di kamarnya, suara keras pintu membuat dirinya tersentak. Rupanya, itu adalah pamannya yang baru saja pulang, entah darimana. Zelia dapat melihat raut wajah pamannya yang nampak gusar dan marah. Dalam benaknya, Zelia berpikir bahwa pamannya pasti baru saja kalah berjudi lagi. "Kamu! Cepat sekarang juga kasih uang" seru pamannya dengan suara keras. Zelia menggelengkan kepala, matanya penuh keputusasaan. "Aku tidak punya uang, Paman. Aku baru saja membelikan obat untuk Bibi," jawabnya dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa muak. Pamannya semakin marah mendengar jawaban itu. "Kamu pikir aku peduli? Aku butuh uang itu sekarang!" teriaknya sambil kembali menggeledah kamar Zelia dan membuat kamar itu seketika berantakan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari,
Wajah King penuh dengan kemarahan yang tertahan, apa yang Zelia lakukan telah melukai harga dirinya. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti itu kepadanya.“Jangan coba melarikan diri lagi, gadis kecil.” Zelia memohon dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Tolong, lepaskan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya dengan suara gemetar. Namun, King tidak menunjukkan belas kasihan. Dengan satu gerakan tangan, King memerintahkan anak buahnya untuk membawa Zelia. Dia dibawa ke markas besar King. Di sana, Zelia dijadikan tawanan. Sepanjang perjalanan, Zelia hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpanya. Air matanya terus mengalir, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang dirasakannya. King, yang duduk di sebelahnya, semakin muak melihat Zelia yang terus menangis. "Diam!" King menatapnya dengan tatapan dingin. Zelia pada akhirnya menahan tangisnya, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di tangan pria yang kejam dan tanpa belas kasihan. N
King duduk di sofa mewah di kamarnya yang megah. Dia memberi perintah kepada seorang pelayan untuk membawa Zelia padanya. Tak lama kemudian, Zelia yang terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya yang terbuka, mencoba menutupi belahan dadanya yang terlihat dengan tangan. Setelah pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua, tubuh Zelia bergetar ketakutan. Tatapan tajam King menembus dirinya, dan dia memberi isyarat agar Zelia duduk di pangkuannya. Zelia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara King menggema di seluruh ruangan, penuh dengan rasa kesal. "Kemari, Gadis kecil." "Tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berada di sini." Suara Zelia bergetar saat dia memohon. Kesabaran King mulai habis. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak vas bunga di dekatnya, menghancurkannya menjadi kepingan. Suara tembakan yang keras membuat Zelia menjerit dan menangis tersedu-sedu. "Sekarang," perintah King, suaranya dingin dan tak kenal ampun. Zelia masih berdiri, tubuhn
Pagi itu, Zelia terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membuatnya menyipitkan mata. Sebelum ia sempat bangkit dari tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara berderit.Dua orang maid masuk dengan langkah tegas. Tatapan mereka dingin dan penuh ketidaksukaan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut diikat rapi, melemparkan sebuah baju seragam ke arah Zelia."Cepat gunakan itu! Pekerjaan mu sudah menunggu."Zelia menatap baju seragam yang jatuh di pangkuannya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan kedua maid tersebut."Baik, aku akan segera bersiap."Maid yang satunya, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat sebelum keduanya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Zelia dengan perasaan campur aduk. Zelia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang.Selama dua hari, King sedang dalam misi dan meninggalkan instruksi kepada kepala maid untuk mendisiplinkan Zelia. Zelia, yang sadar bahwa dirinya