Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan.
Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekejap, bunga itu kembali segar, kelopaknya mekar, dengan bunga yang berwarna-warni, terlihat sangat indah. Para dayang yang melihat kejadian itu menjerit pelan karena terkejut. "Putri kau...kau hebat sekali!" puji mereka dengan wajah berbinar, tidak menyangka putri kecil kerajaanmereka sudah memiliki kekuatan penyembuhan yang sangat hebat. Sementara Ratu Aeris hanya terdiam, dirinya juga terkejut melihat putri kesayangan nya bisa memiliki kekuatan penyembuh. "Putriku, kau bisa membuat tanaman hidup lagi! apakah kau juga bisa menyembuhkan hewan yang sakit juga?" tanya Ratu Aeris lembut. Dia penasaran sejak kapan putrinya memiliki kemampuan ini. Putri Elaria menganggukkan kepalanya. "Ya, aku bisa menyembuhkan mereka ibunda! Apa ada hewan peliharaan kita yang sakit?" Putri Elaria menatap mata ibunya dengan matanya yang jernih, membuat hati siapapun yang melihatnya merasa tenang. Ratu Aeris menatap pelayan di sampingnya. "Tolong, panggilkan orang yang merawat hewan-hewan di istana ke sini!" perintah Ratu Aeris tenang. "Baik yang mulia Ratu," Pelayan itu segera pergi memanggil orang yang bertugas merawat hewan di istana. Ratu Aeris menatap putrinya yang masih asyik bermain di temani pengasuhnya. Tidak lama kemudian, pelayan wanita datang bersama seorang pemuda dibelakangnya. "Yang Mulia Ratu, pemuda ini yang merawat hewan -hewan di istana, Dia bilang ada seekor kuda hitam yang baru di beli, dan keadaannya sedang sakit, kuda itu tidak mau makan sama sekali hingga membuatnya lemas dan sekarang kondisinya kuda itu tidak bisa berjalan!" ucap pelayan kepercayaan Ratu Aeris. "Siapa namamu anak muda?" "Ijin menjawab Yang Mulia Ratu, nama hamba Arzian," ucap pemuda itu tenang. "Benarkah kuda yang baru di beli itu sakit? bukankah saat di beli, kondisinya masih sehat?" "Benar Yang Mulia Ratu, saat dibeli kondisinya sangat sehat, tapi entah kenapa keesokan harinya kuda itu tidak mau memakan rumput yang kami berikan, hingga kondisinya sekarang hampir sekarat, Ratu!" ucap Arzian sedih, bagaimanapun dia yang bertanggung jawab merawat hewan-hewan di istana. "Kuda itu hadiah ulang tahun untuk putriku, sudah lama dia menginginkan sebuah kuda," Ratu Aeris menghela nafasnya. "Putriku, kemarilah!" panggil Ratu Aeris. Putri elaria yang mendengar namanya dipanggil, menghampiri Ibunya. "Ada apa Ibunda?" "Kau bilang bisa menyembuhkan hewan yang sakit kan?" tanya Ratu Aeris lembut. mengusap peluh yang ada di kening putrinya. "Iya Ibu, apa ada hewan yang sakit?" "Ada sayang, kuda yang baru di beli Ayahmu sedang sakit, sebenarmya kuda itu hadiah untukmu saat ulang tahunmu nanti, tapi katanya kuda itu sekarat dan hampir mati." "Aah benarkah Ayah membelikanku seekor kuda? aku senang sekali ibu. Terima kasih kadonya. Ibu jangan khawatir aku akan menyembuhkannya sekarang!" ucap Putri Elaria dengan wajah berbinar senang. Ratu Aeris tersenyum menatap putrinya yang tertawa senang. "Ayo, sekarang bawa aku ke tempat.kudaku berada?" ajak Putri Elaria menarik tangan pemuda yang merawat kudanya. "Cepatlah, aku tidak mau kudaku mati!" Putri Elaria jalan dengan cepat. Namun secepatnya dia berjalan tetap saja pemuda itu bisa mendahuluinya. perjalanan mereka yang cukup jauh membuat Putri Elaria lelah. Kaki kecilnya sudah tidak kuat berjalan. "Ibunda...aku cape sekali, kenapa tempatnya sangat jauh, aku tidak kuat berjalan lagi!" Putri Elaria mengeluh dengan mata yang berkaca-kaca. Ratu Aeris yang mengikutinya dari belakang tersenyum geli, dari tadi dia sudah memanggil anak itu ingin menggendongnya, tapi karena terlalu bersemangat putrinya tidak mendengarkannya dan terus berjalan sendiri, hingga sekarang dia baru merasa lelah dan mulai mengeluh. "Dasar kau ini, Ibu dari tadi memanggilmu tapi tidak di dengarkan, sekarang kau mengeluh lelah!" Ratu Aeris geleng-geleng kepala. Dia menghampiri Putrinya yang duduk di rerumputan membuat para pelayannya terkejut dan membujuknya untuk bangun, namun karena terlalu lelah Putri Elaria tidak mendengarkannya. "Putri apa hamba boleh menggendongmu?" tanya Arzian yang tiba-tiba berjongkok di hadapan Putri Elaria. Melihat pemuda tampan di depannya, Putri Elaria tidak akan menolak, dengan semangat dia menganggukkan kepalanya. Dia mengangkat kedua tangannya minta di gendong Arzian. Pemuda itu tersenyum lembut. dia menoleh melihat Ratu Aeris untuk meminta ijin, setelah mendapatkan ijinnya, Arzian dengan mudahnya menggendong Putri Elaria yang tertawa senang berada di pelukannya. Mereka menyusuri halaman belakang yang luas, hingga akhirnya sampai di kandang kuda. Arzian membawa Putri Elaria ke tempat kuda yang sakit. Dia lalu menurunkan Putri Elaria dan membiarkannya menghampiri kuda yang sedang berbaring di lantai. Putri Elaria menyapa kuda itu dan mulai bertanya sambil membelai surainya yang lembut. "Halo, aku Putri Elaria, apa kau sudah punya nama? kau sangat tampan dan gagah sekali, aku sangat menyukaimu!" ucap Putri Elara memeluk leher kuda hitam itu yang juga menatapnya. "Gadis kecil, kau juga sangat cantik dan aku belum punya nama., tapi sekarang aku sedang sekarat, jadi untuk apa sebuah nama!" ucap kuda itu acuh. Putri Elara tersenyum mendengar jawaban kuda itu. dia menepuk-nepuk tubuh kuda itu berkata seolah jangan khawatir. "Itu karena kau tidak mau makan! Apa kau tidak suka rumput yang diberikan orang yang merawatmu?" kuda itu melengos dan mendengus seakan sedang kesal. "Dia memberiku rumput sisa dan tidak segar, aku tidak menyukainya," kesal Kuda hitam itu. " Begitu ya, jadi kau lebih suka rumput yang baru di siangi?" kuda itu terlihat mengangguk-angguk. "Baiklah, aku akan memberitahu keinginanmu pada orang yang merawatmu!" ucap Putri Elaria. "Sudahlah. aku sudah sekarat, jadi tidak nafsu makan!" keluhnya. "Kau jangan khawatir, aku akan menyembuhkanmu!" Putri Elaria, meletakkan tangannya di kepala Kuda itu lalu memejamkan matanya, seberkas cahaya keluar dari telapak tangannya lalu cahaya itu menyelimuti tubuh kuda hitam itu. Perlahan-lahan kuda hitam itu bangkit dari tidurannya, wajah dan mata kuda itu sangat jernih, tidak menampakkan kalau kuda itu sebelumnya sekarat. Ratu Aeris mulai menyadari bahwa putrinya bukan anak biasa. Sejak itu, diam-diam, ia memanggil seorang guru spiritual kerajaan untuk membimbing Elaria memahami kekuatannya. Di sisi lain dunia, di desa pegunungan yang dikelilingi hutan lebat, Rion tumbuh menjadi anak yang kuat dan cekatan. Di usia lima tahun, ia sudah bisa menjebak kelinci dan membaca arah angin untuk melacak hewan buruan. Ayahnya, Goran, sering mengajaknya berlatih di hutan. Tapi suatu hari, Rion merasakan ada yang aneh di dalam dirinya. Saat ia hampir diserang seekor serigala liar yang terpojok, Rion secara naluriah mengangkat tangannya — dan dalam sekejap, energi tak kasat mata menghempaskan hewan itu hingga tak sadarkan diri. Ayahnya melihatnya dari kejauhan dan terpaku. Ia tidak berkata apa-apa malam itu, tapi sejak saat itu ia mulai mengajari Rion cara mengendalikan diri dan emosinya.Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida