Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya.
Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tidak sakit lagi! lihat aku bahkan bisa lompat!" sahut Kenzo senang, dia melompat-lompat membuktikan kalau kakinya sudah sembuh. "Syukurlah kalau kau sudah baik-baik saja. melihat mu menangis membuatku ingin tertawa saja," ledek Alina menjulurkan lidahnya. "Ish dasar kau ini! teman lagi sakit malah di ledekin!" gerutunya kesal. meninggalkan Alina sendirian. “Apa aku menyembuhkan dia?” tulis Alina di akhir halaman, dengan huruf kecil-kecil dan rapi. Ia menutup bukunya perlahan, menatap langit dari jendela kamar yang penuh tempelan bintang-bintang kertas buatan tangan. “Alina, ayo tidur. Besok kamu harus bangun pagi,” suara Nenek memanggil dari dapur. Hangat dan lembut. “Iya, Nek!” jawab Alina, lalu melompat ke tempat tidur. Tapi malam itu, tidurnya tidak nyenyak. ia mengalami mimpi yang aneh. Alina terbangun karena suara sirine yang meraung dari kejauhan. Dari celah tirai, cahaya merah dan biru berpendar di dinding kamarnya. Alina beranjak, mengintip ke luar. Asap mengepul dari gedung seberang. Api melahap lantai atas, dan orang-orang berlarian di bawah. Tapi yang membuatnya terdiam adalah sosok bayangan yang berdiri diam di atap gedung, tinggi dan kurus, seperti terbuat dari asap dan malam itu sendiri. Sosok itu menatap lurus ke arahnya. Alina mundur, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin berteriak memanggil Nenek, tapi tubuhnya seakan membeku. Seketika, udara di kamarnya terasa dingin. Nafasnya membentuk uap putih. Lalu terdengar suara bukan dari luar, tapi di dalam kepalanya. Suara itu berat dan dalam, seperti bisikan angin dari lorong bawah tanah. "Kau akhirnya mulai melihat kami, anak kecil..." Alina jatuh terduduk. Bayangan itu telah lenyap, seolah hanya ilusi malam. Alina sangat ketakutan dia berlari masuk ke kamar neneknya, dan tidur di samping neneknya. "Alina ada apa? kenapa kau bangun, apa kau mimpi buruk lagi?" tanya nenek Alina memeluk cucunya hangat. "Heem, aku takut, aku tidur dengan nenek malam ini ya?" "Ayo, tidurlah di samping nenek, ini masih malam. jangan di ingat lagi itu hanya mimpi," hibur nenek Alina yang bernama Rosa. "Iya Nek." Alina kembali tidur dengan memeluk tubuh neneknya. Pagi itu, Alina bangun dengan kepala berat dan mata yang masih menyimpan bayang-bayang malam sebelumnya. Ia duduk diam di tepi tempat tidur, memandangi jari-jarinya sendiri. Mereka tampak biasa saja, namun kini terasa seperti menyimpan sesuatu yang lebih... besar. "Alina, sayang, ayo sarapan dulu. Nenek buatkan roti panggang dan susu hangat," panggil nenek dari dapur. Ia bangkit perlahan dan berjalan ke meja makan kecil yang bersih dan sederhana. Aroma mentega dan gula kayu manis memenuhi ruangan. Namun Alina nyaris tak mencicipi makanannya. "Nenek..." katanya lirih, "kemarin malam, aku lihat bayangan aneh di atap gedung seberang. Dan... mereka bicara padaku. Di dalam kepalaku." Nenek menghentikan gerakannya. Ia meletakkan spatula perlahan dan menatap cucunya. Wajahnya yang sudah dipenuhi keriput tiba-tiba mengeras. "Seperti apa bayangannya?" tanya Nenek dengan suara pelan, hampir berbisik. "Hitam. Seperti asap. Tapi punya mata... atau aku pikir mereka melihatku," jawab Alina. "Jangan di pikirkan, kau pasti berhalusinasi lagi," ucap nenek Rosa dengan tenang. "Ayo cepatlah makan, nanti kau terlambat sekolah," Nenek Rosa mengalihkan pikiran Alina. "Alina nanti siang nenek akan menjemputmu jadi kau tunggu nenek jangan pulang duluan ya," "Nenek tidak ada pekerjaan?" "Nenek mengambil cuti, nanti sepulang sekolah nenek akan mengajakmu ke tempat permainan di dalam mall." ucap nenek Rosa dengan senyum di bibirnya. "Tapi....," "Jangan khawatir, kemarin nenek mendapatkan bonus tambahan dari tuan Lark, sudah lama nenek tidak pernah mengajakmu bersenang-senang," ucap Nenek Rosa membelai rambut Alina lembut. "Tapi lebih baik uangnya di tabung saja Nek, nanti kalau habis bagaimana? aku tidak mau menyusahkan nenek," Alina berkata dengan raut wajah sendu. Sejak kematian kedua orangtuanya, Alina di asuh Nenek Rosa. "Tidak apa-apa mengajakmu bermain tidak akan menghabiskan uang, nenek bekerja karena ingin membahagiakanmu, jadi belajarlah dengan baik dan tunggu nenek, oke!" sahut Nenek Rosa tegas. Alina menganggukkan kepalanya dengan wajah yang tersenyum senang. "Terima kasih Nek, sudah mau mengurusku, saat aku sudah besar nanti aku akan membahagiakan Nenek," ucapnya riang. "Aku sudah selesai makan Nek, aku pergi dulu! bye Nenek love you!" Alina bergegas memakai tasnya dan mencium kedua pipi Nenek Rosa. dia melambaikan tangannya dan berlari keluar menunggu bis jemputan sekolahnya. Setelah kepergian Alina, Nenek menarik napas dalam-dalam, lalu beranjak dan membuka lemari tua di sudut ruang tamu. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil berukir simbol-simbol aneh. "Apakah Sudah waktunya Alina tahu? tapi dia masih terlalu kecil untuk menanggung tanggung jawab ini ." gumam nenek Rosa pelan. Nenek membuka kotak kayu itu perlahan, dan di dalamnya ada seutas kalung perak dengan liontin berbentuk daun bersinar lembut. Ketika Nenek menyentuh liontin itu, cahaya kecil muncul dari permukaannya, seperti detak jantung. "Sirene, apa ibu harus mengatakannya?" kata Nenek dengan mata yang kini berkaca-kaca, mengingat putri kesayangannya yang menitipkan kalung ini padanya sehari sebelum dia meninggal. Nenek Rosa memejamkan mata sejenak, merasakan kehangatan samar dari liontin di tangannya. Ingatannya melayang pada Sirene putrinya yang penuh cahaya namun membawa beban berat sebagai penjaga garis keturunan istimewa. Sirene telah memilih untuk hidup sebagai manusia biasa, meninggalkan dunia lamanya, tapi warisan itu… tidak pernah bisa dihindari. Kini, anak dari Sirene—Alina—menunjukkan tanda-tanda yang sama. ** Siang itu, Alina duduk di bangku kelas sambil menatap jendela, pikirannya melayang. Ia masih memikirkan bayangan malam tadi, dan Kenzo yang kakinya bisa sembuh hanya dengan sentuhannya. Apakah itu kebetulan? Atau seperti yang ia tulis—apakah ia benar-benar menyembuhkan? “Alina, ayo main ke taman! Kita main ayunan yuk!” ajak Kenzo ceria saat bel pulang berbunyi. Alina menatap jam tangannya, mengingat pesan nenek. “Maaf ya, aku harus tunggu nenek. Dia mau ajak aku jalan,” jawab Alina sambil tersenyum kecil. “Wah, enaknya! Titip salam buat nenekmu ya! Nenekmu baik banget,” kata Kenzo sambil melambai sebelum berlari keluar bersama teman-temannya. Alina duduk di bangku tunggu sekolah, dan seperti janji nenek, tak lama kemudian mobil kecil tua berwarna merah milik Nenek Rosa datang menghampiri. Alina masuk ke dalam mobil dengan wajah berseri. “Siap, Kapten Alina?” tanya nenek Rosa dengan gaya dramatis, berusaha membuat cucunya tersenyum. “Siap, Jenderal Rosa!” sahut Alina tertawa. lalu memberikan ciuman di kedua pipi neneknya. ** Mereka tiba di mal yang cukup ramai. Nenek Rosa mengajak Alina ke tempat permainan favoritnya, lalu membeli es krim dan berjalan-jalan melihat toko buku. Tapi di tengah tawa dan kebersamaan hangat itu, Nenek Rosa merasa tatapan-tatapan asing mengikuti mereka. Di sudut lorong mal yang gelap, seseorang dalam mantel hitam berdiri diam, wajahnya tertutup sebagian oleh tudung. Tatapannya lurus ke arah Alina, tapi tidak ada siapa pun yang memperhatikannya... kecuali seorang anak kecil dengan mata polos yang kebetulan berpapasan. Anak itu menangis tiba-tiba, lalu digendong ibunya pergi dengan tergesa. Saat mereka duduk di bangku taman dalam mal, Alina menggigit es krimnya, lalu berkata pelan, “Nek... di dekat eskalator tadi, ada orang yang menatapku. Bajunya hitam dan... matanya seperti... bukan manusia.” Nenek Rosa menahan napas sejenak, lalu tersenyum tenang. “Kau lelah, sayang. Mungkin itu cuma petugas keamanan. Bajunya memang hitam-hitam.” Tapi di dalam hati, Nenek Rosa tahu: waktu mereka sudah tidak banyak. ** Malam harinya, setelah Alina tertidur pulas dengan boneka kesayangannya, Nenek Rosa duduk di samping tempat tidur cucunya, memegang liontin yang sama. "Ibu... kalau aku tak bisa melindungi Alina seperti kau dulu melindungiku... maafkan aku..." Dari jendela, bayangan kembali muncul. Namun kini tak berdiri di kejauhan, tapi melayang diam di luar kaca, mengintai. Nenek Rosa menatapnya tajam. Tak ada rasa takut di matanya, hanya tekad. "Jangan dekati dia," ucap Rosa dengan suara keras, suaranya menggetarkan udara, dan bayangan itu menyusut perlahan, lenyap bagai asap tertiup angin. Liontin di tangannya menyala sekali lagi, lebih terang dari sebelumnya. Dan di kamar yang tenang itu, Alina menggeliat dalam tidur, lalu bergumam lirih, “Sirene…” ** Di tempat jauh yang tak terlihat mata manusia, sebuah mata kuno yang telah tertidur selama seribu tahun… terbuka perlahan. Pewaris telah terbangun.Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida