Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas.
Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran. "Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak. "Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar. "Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, karena tidak pernah melihatnya selama ini. “Siapa, Lin? Kakakmu ya?” tanya Kenzo. “Eh... paman jauh,” jawab Alina gugup. "Ya sudah Ken hati-hati ya, aku pulang duluan. Bye kenzo!" Alina melambaikan tangannya pada teman baiknya dan menggandeng tangan Kael. Kael tertegun, melihat tangan kecil yang menggandeng tangannya, hatinya perlahan menghangat. Kael melihat wajah Alina yang cantik dan imut. meskipun Alina masih kecil tapi kecantikannya sudah terlihat. Pasti dikelasnya banyak teman pria yang ingin mendekati gadis kecil ini, pikir Kael. Memang Alina di sekolahnya terkenal karena kebaikan dan kecerdasannya selain kecantikannya. Sehingga banyak pria di kelasnya yang mengajaknya berkenalan ataupun berusaha mendekatinya, tapi untung saja ada Kenzo yang selalu menjaganya di sekolah, membantunya terlepas dari pria-pria yang mengerubunginya saat istirahat. Mereka berdua berjalan bersama ke taman kota yang sepi. Di bawah pohon sakura yang mulai gugur, Lyra telah menunggu, duduk di atas bangku sambil membaca buku bersampul kulit tua. Alina melepaskan pegangan tangannya pada pria dewasa di sebelahnya. “Tempat ini cukup aman untuk memulai,” ucap Kael. “Mulai apa?” tanya Alina. “Melatih kekuatanmu. Agar kau bisa mengendalikannya... sebelum kekuatan itu mengendalikanmu,” kata Lyra lembut. Alina menelan ludah. “Tapi aku... masih anak kecil.” Lyra menutup bukunya, menatap Alina dengan lembut namun tegas. “Itulah yang juga dikatakan ibumu dulu, saat pertama kali kami menemuinya.” Alina mengangguk pelan. Kael lalu meletakkan sebuah batu kecil di tanah, berwarna putih dengan retakan biru seperti kilat. “Ini adalah Corea Stone, hanya mereka yang memiliki cahaya dalam darahnya yang bisa menyentuh dan mengaktifkannya. Coba letakkan tanganmu.” Alina berlutut. Ia menatap batu itu. Nafasnya gemetar. Tapi ia mengulurkan tangannya... menyentuh permukaannya. Dan saat itu juga "WUSSZZHH " sebuah gelombang cahaya meledak dari batu, membentuk lingkaran energi di sekitar mereka bertiga. Angin berputar lembut, dan dedaunan menari di udara. Alina menutup matanya, tapi dalam pikirannya ia melihat sesuatu, ibunya... berdiri di tengah ladang bunga, tersenyum padanya. "Alina... akhirnya kau mulai melihatku..." Alina terisak. Kael dan Lyra saling bertukar pandang. Kael berbisik, “Dia sudah membuka Gerbang Pertama.” Namun sebelum mereka bisa berkata lebih jauh, langit mendadak meredup. Awan hitam menyelimuti taman. Seekor burung gagak jatuh dari pohon, tak bernyawa. Dan dari kejauhan, terdengar suara mendesis yang dingin dan basah... seperti napas sesuatu yang lama terkubur. “Tidak mungkin... terlalu cepat,” gumam Lyra, berdiri sigap. Sebuah bayangan panjang muncul dari balik pohon, bergerak seperti kabut berbentuk manusia, tapi matanya merah menyala, tubuhnya berkilau seperti pecahan kaca hitam. “Dia sudah ditemukan,” kata Kael. “Kita harus lindungi Alina!” Bayangan itu mengangkat tangannya. Sebilah senjata hitam terbentuk dari lengannya. Ia mengincar Alina. Tapi sebelum serangan itu menghantam, cahaya dari kalung Alina meledak terang benderang, menciptakan perisai melingkar di sekelilingnya. Lyra menarik Alina ke dalam pelukannya, sementara Kael menyerang balik dengan pedang cahaya yang muncul dari udara. Pertarungan pertama telah dimulai. Dan di tengah cahaya dan bayangan itu, suara ibunya kembali terdengar dalam hati Alina. “Kau akan menjadi lebih kuat dari Ibu, sayang. Tapi ingat, kekuatan bukan untuk melawan... melainkan untuk melindungi.” Serangan Kael menebas udara, menciptakan kilatan cahaya yang membelah bayangan itu. Tapi sosok hitam tersebut dengan gesit menghindar, bergerak bagai asap tebal yang menyusup di celah-celah cahaya. Satu ayunan dari senjatanya nyaris mengenai Kael, namun Lyra mengangkat tangannya cepat, menciptakan perisai berbentuk kelopak bunga yang menahan serangan itu seketika sebelum hancur berkeping-keping. "Makhluk ini bukan bayangan biasa," seru Lyra. "Dia pemburu Cahaya Murni Umbros!" Kael menoleh cepat ke arah Alina yang masih dilindungi lingkaran cahaya dari kalungnya. "Jaga Alina. Aku akan mengalihkan perhatiannya!" Kael melompat ke depan, cahaya di tubuhnya semakin terang. Pedangnya kini membara, seolah nyala bintang ada di ujung bilahnya. Pertempuran itu begitu cepat. Gerakan Kael adalah cahaya, dan Umbros adalah kegelapan. Mereka saling bertabrakan, menciptakan ledakan energi yang membuat taman berguncang. Bangku taman terlempar, dedaunan berubah jadi abu, dan getaran terasa hingga ke jalan raya di sekitarnya. Sementara itu, Alina masih berlutut. Matanya terpejam. Tapi hatinya tak lagi takut. Ada kekuatan yang mengalir dalam dirinya, dan... suara ibunya masih terdengar, seperti bisikan dari dalam kalung. "Jika kau ingin melindungi orang lain, maka jangan hanya sembunyi dalam cahaya. Jadilah cahaya itu sendiri." Alina membuka matanya. Tangan kecilnya terangkat ke arah medan tempur. Cahaya dari kalungnya menyambut panggilan itu, menjalar ke tubuhnya menyatu, membentuk pola di kulitnya seperti akar cahaya. "Aku tak mau mereka terluka...!" serunya. Dalam sekejap, cahaya dari Alina meledak keluar, menembus langit, menciptakan sebuah medan cahaya yang luas. Umbros menjerit, tubuhnya membara karena cahaya itu, terlempar mundur dan mulai terurai menjadi kabut hitam yang memudar di udara. Kael dan Lyra menoleh, terkejut melihat Alina berdiri di tengah pusaran cahaya. "Dia mengaktifkan Mode Protektor. Ini… ini terlalu cepat," gumam Lyra, tak percaya. Alina terhuyung... lalu jatuh ke tanah, pingsan. Kael segera menangkapnya sebelum tubuh kecil itu menyentuh tanah. Ia menggenggam tangan Alina, menatap wajah mungil itu yang damai dalam tidurnya. “Dia mewarisi lebih dari sekadar Cahaya Murni… dia punya jiwa Pelindung,” kata Kael pelan. Lyra menunduk. “Dan itu artinya... Mereka pasti akan datang.” Kael mengangguk perlahan. “Sudah waktunya kita ceritakan padanya semuanya… tentang ibunya. Tentang Perjanjian Cahaya. Dan tentang siapa sebenarnya dia.” ** Di tempat lain, jauh di balik gunung bersalju yang terlupakan oleh peta, di sebuah kuil kuno tersembunyi, seorang pria berambut panjang dan mata perak berdiri menghadap cermin hitam. Bayangan Alina muncul di permukaannya. Ia tersenyum tipis. “Akhirnya, keturunan terakhir Cahaya Sirene telah muncul. Dunia ini akan segera memilih sisi.” Dan ia pun membalikkan badan, berjalan menuju lorong panjang penuh api biru, diikuti suara-suara berbisik dari kegelapan. Alina terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan cahaya lembut dari jendela memenuhi ruangan asing tapi hangat. Dindingnya dari batu tua yang tertata rapi, dihiasi simbol-simbol kuno yang samar bersinar. Ia berbaring di atas tempat tidur empuk dengan selimut hangat. Aroma herbal dan kayu bakar memenuhi udara. “Dia sudah sadar,” suara Lyra terdengar, diikuti langkah kaki lembut. Kael berdiri di samping ranjang, masih dengan ekspresi tenang namun kini terlihat lebih khawatir. “Dimana aku?” bisik Alina lemah. “Kuil Cahaya. Tempat yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki darah penjaga cahaya, Sirene” jawab Lyra, duduk di tepi ranjang. “Sirene... seperti nama yang disebut Nenek?” gumam Alina. “Itu nama ibuku, ya?” Kael dan Lyra saling pandang. Akhirnya, Kael mengangguk dan duduk di samping Lyra. “Ya, Alina. Ibumu adalah Sirene, Cahaya Utama dari generasi terakhir. Dia bukan manusia biasa. Dia adalah pelindung antara dunia kita... dan dunia lain yang tersembunyi dari manusia biasa.” Alina menatap mereka dalam diam, mencoba mencerna semua itu. “Dunia lain?” “Tempat di mana kegelapan berasal. Di sanalah makhluk seperti Umbros berasal. Mereka membenci Cahaya Murni karena itu adalah satu-satunya hal yang bisa menghancurkan mereka.” Lyra menambahkan, “Dan kamu, Alina… kamu adalah satu-satunya penerus darah Sirene yang tersisa. Itulah sebabnya mereka mencarimu.” “Kalung ini… itu milik Ibu?” tanya Alina sambil menyentuh liontin berbentuk daun di lehernya. Lyra mengangguk. “Itu adalah segel Cahaya. Ia menyegel sebagian besar kekuatanmu agar tak mengalir keluar sebelum waktunya. Tapi semalam, saat kamu mencoba melindungi kami, kekuatanmu menyembur keluar.” Alina menggigit bibirnya. “Lalu… sekarang apa yang harus aku lakukan?” Kael tersenyum samar. “Sekarang, kami akan melatihmu. Karena yang akan datang… jauh lebih gelap dari sekadar bayangan.” ** Sementara itu, di balik dinding dimensi, pria bermata perak itu berdiri di atas altar batu raksasa. Dari balik kabut, muncul sosok tinggi dengan jubah berduri dan wajah yang ditutupi topeng besi. “Alina telah membangkitkan cahaya dalam dirinya,” kata pria bermata perak. “Bagus,” ucap sosok bertopeng dengan suara rendah menggema. “Sudah saatnya cahaya itu kembali padaku.” “Apakah kau yakin ingin mengulang perang lama itu, Morvak?” Sosok bertopeng mengangkat tangannya. Ribuan mata kegelapan menyala dari bayang-bayang sekelilingnya. “Bukan mengulang... aku akan mengakhirinya sebelum dia dewasa,”Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida