Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan.
Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia, sang Penjaga Cahaya, roh pelindung warisan Sirene. “Jangan ganggu anak itu,” suara Aurellia menggema. “Dia belum siap. Namun jika kalian melanggar, maka Keseimbangan Dunia akan hancur lebih cepat dari yang kalian bayangkan.” Sosok berjubah itu tertunduk, tak berani menatap. Namun dari kegelapan lain di balik ruangan itu, suara lain terdengar dingin dan penuh racun. “Tapi bukankah waktunya sudah tiba? Cahaya telah kembali... dan bayangan juga harus bangkit.” Dari balik tirai gelap, sosok tinggi besar muncul. Tubuhnya hitam legam, matanya merah menyala seperti bara. Ia adalah Xaroth, makhluk bayangan yang telah lama diburu oleh keluarga Sirene. Ia tersenyum sinis. “Jika anak itu belum siap, maka biarlah kita yang mempercepatnya. Kirimkan Bayangan Penguji biarkan dia merasa kehilangan... dan lihat apakah kekuatannya bangkit.” ** Sementara itu, di apartemen lantai delapan… Nenek Rosa sedang membaca buku tua yang berisi mantra-mantra perlindungan. Di luar jendela, langit kembali kelabu seperti malam sebelumnya. Tiba-tiba, semua lampu padam. Cahaya mati, dan hanya cahaya bulan samar yang masuk dari sela tirai. Alina terbangun, matanya terbuka perlahan. “Nenek… ada yang aneh…” Nenek Rosa segera berdiri, menggenggam liontin di lehernya. Ia bisa merasakannya udara berubah. Aura gelap menyusup ke dalam rumah. Dari bayangan lorong, sosok kecil dengan mata merah menyala muncul Bayangan Penguji. Alina menatap makhluk itu, matanya tak berkedip. Tapi anehnya… dia tidak takut. Dalam dirinya, ada sesuatu yang bangkit. Suara lembut seperti milik ibunya terdengar di benaknya: “Jangan takut, cahaya ada di dalammu.” Alina berdiri dari ranjang. Langkahnya perlahan namun yakin. Liontin di leher neneknya tiba-tiba bersinar sangat terang, dan pancaran cahayanya mengalir ke arah Alina, menyelimuti tubuhnya dalam cahaya keemasan. Bayangan itu meraung, tubuhnya mulai terurai oleh cahaya suci. Tapi sebelum lenyap sepenuhnya, ia tersenyum... “Kita akan bertemu lagi, Pewaris…” Dan menghilang dalam pusaran asap gelap. ** Setelah semuanya tenang, Alina menatap tangannya yang kini bergetar. “Nenek... aku... apa yang terjadi padaku?” Nenek Rosa tak menjawab segera. Ia memeluk Alina erat-erat, lalu berbisik di telinganya. “Sudah waktunya kau tahu siapa ibumu sebenarnya... dan siapa dirimu, Alina.” Pagi masih enggan menyapa kota, ketika Nenek Rosa membuka kembali kotak kayu tua itu, dan mengeluarkan bukan hanya liontin, tapi juga gulungan kain beludru biru tua yang disimpan rapat di dasar kotak. Di dalamnya, terlipat rapi sebuah lembaran surat yang mulai menguning oleh waktu, dan foto tua seorang perempuan muda dengan senyum yang sangat mirip dengan Alina. "Siapa dia, Nek?" tanya Alina sambil duduk bersila di karpet ruang tengah, matanya masih menyimpan bekas ketakutan semalam. "Itu ibumu, Alenia Sirene," jawab Nenek Rosa dengan lembut, namun tegas. "Dia bukan hanya anak nenek... dia adalah penjaga terakhir dari Cahaya Sirene." Alina terdiam. Matanya membelalak, perlahan melirik liontin yang masih bersinar samar. "Ibumu... berasal dari garis keturunan kuno yang diberkahi kemampuan menyembuhkan, melihat makhluk dari dunia lain, dan melindungi dunia ini dari kehancuran yang dibawa oleh Bayangan." "Seperti bayangan yang kulihat semalam?" Alina berbisik. Nenek Rosa mengangguk. "Itu salah satu dari mereka. Dulu, ada banyak yang mencoba menembus batas antara dunia kita dan dunia mereka. Tapi ibumu... dia mengorbankan segalanya untuk menjaga pintu itu tetap tertutup." Alina menatap foto ibunya dalam diam. “Dia... terlihat baik. Cantik. Tapi kenapa aku tidak pernah tahu apa pun tentang ini sebelumnya?” "Karena kau terlalu kecil waktu itu. Dan karena kami pikir, saat ibumu mati, kekuatannya pun ikut padam... tapi kami salah." Nenek Rosa menatap cucunya dengan mata berat. "Kekuatan itu menurun padamu. Dan semalam... kau sudah membuktikannya." Alina menggenggam liontin itu dengan kedua tangan. Ada kehangatan aneh yang merambat dari logamnya ke dalam dadanya seolah ibunya sedang memeluknya dari dunia lain. “Kenapa aku? Aku hanya... ingin hidup biasa. Pergi sekolah. Bermain dengan Kenzo. Kenapa aku harus... berbeda?” Nenek Rosa tersenyum sendu. “Karena dunia ini tak akan bertahan jika semua orang memilih menjadi biasa. Kau punya pilihan, sayang. Tapi jika kau memilih untuk menghadapi takdirmu… kau tidak akan sendiri. Nenek akan bersamamu.” Alina menunduk lama. Lalu perlahan, ia mengangguk. “Kalau begitu... ajari aku, Nek. Ajari aku segalanya tentang Cahaya.” "Baiklah, nanti nenek akan mengajarimu! sekarang kau harus sekolah dulu, lupakan hal yang semalam, bermainlah dengan teman-temanmu dan tolonglah mereka jika membutuhkan pertolonganmu," "Hmmh, Nenek apa aku juga memiliki kemampuan menyembuhkan?" tanya Alina penasaran saat teringat dengan Kenzo. "Bisa, kau bisa menyembuhkan penyakit mereka dengan kekuatanmu," jawab Nenek Rosa tegas. "Tapi kau tidak bisa menunjukkan pada mereka secara langsung, kalau bisa rahasiakan kekuatanmu agar tidak membahayakanmu. saat ini kau masih kecil, belum bisa membela diri sendiri kalau ada orang yang berniat jahat padamu. jadi Nenek mohon rahasiakan kekuatanmu dari Teman-temanmu termasuk Kenzi," Nenek Rosa mengingatkan Alina dengan wajah serius. "Baiklah Nek. aku mengerti, kalau begitu aku akan mandi dan bersiap ke sekolah dulu," ucap Alina berlari ke kamar mandi dengan membawa handuknya. Alina sudah terbiasa mandi sendiri, bahkan Alina bisa memasak masakan sederhana untuk dirinya makan saat neneknya bekerja. Nenek Rosa tersenyum saat melihat semangat Alina. ** Malam itu, saat kota kembali tenang, dua sosok berkumpul di atas gedung tertinggi kota. Angin meniup jubah panjang mereka, dan di langit, bulan mengintip dari balik awan. “Apa dia telah bangkit?” tanya suara berat seorang pria tinggi berjubah putih keperakan. “Sudah. Warisan Sirene telah menunjukkan sinarnya,” jawab temannya, seorang wanita bermata biru seperti kristal. “Tapi dia masih terlalu muda. Jika Bayangan menyerang lebih awal... dia tidak akan sanggup bertahan.” Pria itu menatap kota dari ketinggian, kemudian menarik napas dalam. “Kalau begitu, kita harus bergerak lebih cepat. Bawa dia ke Lingkaran Cahaya. Latih dia... sebelum semuanya terlambat.” ** Di kamarnya, Alina kembali menulis di buku hariannya. “Aku bukan anak biasa. Tapi aku juga bukan monster. Aku... adalah Cahaya. Dan kalau dunia ini butuh diselamatkan, maka aku akan belajar bagaimana caranya.” Ia menutup bukunya, memandang bintang-bintang kertas yang tertempel di jendelanya. Tapi kali ini, mereka tak hanya menjadi hiasan. Mereka adalah penanda... bahwa seorang penjaga kecil sedang bersiap menghadapi gelapnya dunia. Hari-hari berlalu sejak malam itu, namun hidup Alina tak pernah lagi sama. Sekilas, ia masih gadis kecil yang pergi sekolah, menyantap roti panggang buatan Nenek, dan bermain bersama Kenzo. Tapi di balik senyum dan keceriaan itu, Alina menyimpan rahasia besar tentang kekuatan yang perlahan tumbuh dalam dirinya... dan tentang dunia lain yang mulai terbuka. Nenek Rosa mulai mengajarinya setiap malam, membacakan kitab-kitab lama dengan simbol aneh, memperkenalkan doa-doa kuno dan teknik pernapasan yang dapat menenangkan pikirannya saat penglihatan aneh datang. Suatu malam, saat hujan gerimis membasahi jendela, mereka sedang duduk di depan perapian ketika terdengar ketukan di pintu. Tok... tok... tok... Nenek Rosa langsung bangkit, wajahnya menegang. “Siapa malam-malam begini?” tanya Alina pelan. Nenek tidak menjawab. Ia membuka pintu perlahan. Di baliknya, berdiri dua orang—seorang pria dengan jubah putih panjang dan mata setajam elang, serta seorang wanita anggun dengan rambut perak yang memantulkan cahaya bulan. “Rosa... sudah saatnya.” Nenek menatap mereka dalam diam, sebelum akhirnya mengangguk. “Masuklah.” Alina menatap kedua orang asing itu dengan hati-hati. Namun, ketika pria itu menatapnya, senyumnya lembut dan dalam sekejap, Alina merasa hangat... seperti mengenal mereka dari mimpi. “perkenalkan Aku Kael, dan ini Lyra. Kami utusan dari Lingkaran Cahaya,” ucap sang pria. “Lingkaran Cahaya?” gumam Alina. “Kami adalah penjaga dunia ini, sama seperti ibumu dulu. Dan sekarang, giliranmu, Alina.” Nenek Rosa menatap Alina dengan pandangan penuh harap. “Kau tak harus pergi, jika belum siap. Tapi waktu kita... tidak banyak.” Alina menunduk, mendengar gemuruh halus di dalam dirinya seperti suara hati ibunya yang dulu... dan kini menjadi miliknya. “Aku siap,” ucap Alina. “Tapi... bisakah aku pulang setiap malam? Aku tidak ingin jauh dari Nenek.” Lyra tersenyum. “Latihan bisa dilakukan dari sini. Kami hanya akan membimbingmu. Tapi saat waktunya tiba, kau akan datang ke tempat kami ke Menara Cahaya.” ** Di langit yang gelap, sosok bayangan itu muncul kembali. Ia berdiri di atas menara tua yang terlupakan, ditemani kabut yang membungkus tubuhnya. “Dia mulai dilatih... yang satu ini berbeda. Cahaya Sirene-nya... lebih murni.” Dari balik kabut, muncul dua pasang mata merah menyala. “Jika dia bangkit... segel lama akan melemah. Dunia kita... akan bebas.” Dan tawa bergema dari lorong kegelapan.Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida