Beberapa tahun pun berlalu…
Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai! nanti aku akan memberikanmu susu!" bujuk Putri Elaria, kudanya ini sangatlah pemalas, dia lebih senang istirahat di istalnya daripada berlarian di luar, sehingga putri Elaria suka membujuknya menggunakan susu kesukaannya agar mau menurutinya. "Kau bohong! waktu itu pernah berjanji mau memberikanku susu tapi malah dikasih air teh!" sahut Kai memutar bola matanya malas. Dia masih berbaring di lantai yang di berikan karpet sesuai permintaannya, Kai tidak seperti kuda yang lainnya, dia berbeda jika disuruh pasti akan selalu protes. Kadang Putri Elaria sering dibuat kesal dan pernah hampir menjualnya karena terlalu sering protes. "Itu karena di dapur stok susunya habis, jadi hadiahnya aku ganti air teh, lagipula kau kan juga suka air teh, dasar kuda Aneh! Aku baru tahu kalau ada kuda yang suka teh!" Ledek Putri Elaria. "Sudah ayo cepat kita pergi, temani aku! kalau tidak aku akan menjualmu, pasti kau laku dengan harga tinggi kebetulan aku kekurangan uang!" ancam Putri Elaria menakut-nakuti kuda hitamnya. "Baiklah, dasar pemaksa, bisanya mengancamku saja!" gerutu Kai yang langsung berdiri. Dia hanya bisa pasrah saat Arzian memasangkan pelana di tubuhnya. Setelah pelana terpasang, Arzian membawa kuda itu keluar dari istalnya. "Bagaimana Kak Arzian Kai sudah siapkan?" tanya Putri Elaria saat Arzian membawa kudanya keluar. "Sudah Tuan Putri, Kai sudah siap dan hamba juga sudah membawa perbekalan untuk anda makan di jalan. Hamba juga membawakan sebotol susu untuk anda minum agar selalu sehat," ucap Arzian sengaja mengeraskan suaranya di bagian susu, agar kuda itu mendengar. Kai yang mendengar kata susu menjadi sangat semangat, dia meringkik dengan keras seakan tidak sabar untuk berpergian dengan majikannya. Arzian yang melihatnya terkekeh geli. Dia lalu membantu Putri Elaria naik ke atas kuda. meskipun Putri Elaria masih berumur 9 tahun namun sudah berpikiran dewasa. Dia selalu memikirkan kehidupan rakyatnya. "Tuan Putri, ijinkan hamba ikut ke hutan agar bisa melindungi Tuan putri?" "Tidak! sudah ada penjaga bayangan yang bertugas melindungiku. Lagipula aku hanya ingin mencari sumber air bukannya akan berperang!Dalam beberapa bulan kerajaan ini akan menghadapi kekeringan, aku belum mengatakannya pada Ayahanda dan Ibunda, karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Rahasiakan kepergianku, aku hanya akan pergi sebentar!" ucap Putri Elaria yang sudah mengenakan pakaian pria jika sedang menyamar. "Baiklah Tuan Putri, tapi cepatlah kembali! hamba tidak bisa menutupi kepergian anda terlalu lama!" ucap Arzian dengan nada khawatir. "Hmm, baiklah kak! Aku pergi dulu!" Putri Elaria menghentakkan tali kekang kudanya hingga Kai berlari dengan cepat. Putri Elaria keluar melalui jalur gerbang belakang, dimana pelayan bebas keluar masuk istana untuk berbelanja membeli bahan pokok dan lainnya. Putri Elaria terpaksa merahasiakan kepergiannya, karena kalau kedua orang tuanya tahu kepergiannya, pasti akan menyuruhnya membawa pasukan pengawal sangat banyak, dan dia tidak suka berpergian membawa banyak orang karena akan menambah bebannya yang harus melindungi mereka. Putri Elaria tidak khawatir ada musuh yang menyerangnya, dengan kemampuannya dia yakin bisa menjaga dirinya sendiri. sejak kecil Putri Elaria selain berlatih mengendalikan kekuatannya dia sangat senang berlatih bela diri dan memanah, ilmu pedangnya juga tidak bisa di anggap remeh. Setelah memacu kudanya selama satu jam, Putri Elaria dan Kai kini telah sampai di hutan. Menggunakan kemampuannya bisa berbicara dengan tanaman, Putri Elaria menanyakan keberadaan sumber mata air yang tidak akan habis meskipun kemarau panjang pada sebuah pohon besar dan cukup tua. Pohon ini pasti sudah hidup ribuan tahun. Putri Elaria menempelkan telapak tangannya pada batang pohon yang tebal itu. seberkas cahaya keemasan keluar dari tangannya. "Halo kakek tanaman. aku Putri Elaria, Aku ingin bertanya sesuatu bolehkah?" tanya Putri Elaria dalam hati sambil memejamkan matanya. "Kau bisa mengerti bahasa kami? baru kali ini sepanjang hidupku berbicara dengan manusia!" Putri Elaria tersenyum mendengarnya. "Kakek, aku ingin tahu apakah kau mengetahui letak mata air yang tidak pernah habis saat kemarau panjang?" "Tentu saja kakek tahu, berjalanlah terus ke depan dan temukan sebuah gua. di dalam gua itu ada kolam mata air yang tidak akan pernah habis walaupun sedang kemarau panjang!" "ah..Terima kasih atas bantuannya kakek. sebagai hadiah untukmu aku akan memberikan vitalitas tubuh agar kau tetap kuat saat menjalani musim kemarau." Tangan Putri Elaria semakin mengeluarkan cahaya dan cahaya yang berwarna keemasan itu menyelubungi seluruh batang pohon besar lalu cahaya itu terserap masuk ke dalam pohon besar itu. Seetelah mendapatkan info dari kakek pohon, Putri Elaria kembali melanjutkan perjalanannya mencari gua yang di sebutkan.. Sementara itu… Rion kini berusia sembilan tahun. Tubuhnya sudah lebih tinggi dari anak seusianya, dan ketajaman nalurinya makin luar biasa. Ia bisa berburu tanpa suara, merasakan kehadiran binatang dari jarak jauh, dan bahkan mulai mendengar suara pepohonan saat berjalan di hutan. Goran, ayahnya, akhirnya mengaku suatu malam ketika mereka duduk di depan api unggun. “Rion... kau bukan anak biasa. Waktu kau masih bayi, tubuhmu sangat lemah, nyaris tak bernyawa. Tapi suatu malam, cahaya turun dari langit dan masuk ke dalam tubuhmu… Sejak saat itu, kau berubah.” Rion tidak terlalu terkejut. Dalam mimpi-mimpinya, ia sering melihat seorang gadis kecil berpakaian kerajaan, memanggil namanya... "Aeron..." Suatu malam, saat Rion sedang duduk di dekat sungai yang mengalir deras, seekor burung kecil jatuh dari pohon, sayapnya patah. Saat Rion mendekatinya, tangan kanannya bersinar lembut. Saat menyentuh burung itu, luka di sayapnya perlahan sembuh. “Aku… sama sepertinya…” ucap Rion dalam hati, memikirkan gadis dalam mimpinya. Rion sudah mengingat kehidupannya yang pertama, dia berhasil mengingat melalui mimpi-mimpi yang selalu datang padanya. Rion bertekad akan menjadi lebih kuat agar bisa melindungi saudaranya yang terpisah. Dia yakin suatu saat nanti akan menemukan saudaranya itu.Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Beberapa tahun pun berlalu… Putri Elaria kini telah berusia sembilan tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang anggun dan bijaksana, dengan aura yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Di bawah bimbingan guru spiritual kerajaan, Elaria mulai memahami bahwa kekuatan penyembuhannya bukan berasal dari dunia biasa. Ia belajar mengendalikan aliran energi penyembuhan, memahami perasaan makhluk hidup di sekitarnya, bahkan membaca bisikan alam. Banyak bangsawan mulai mendengar keajaiban sang putri dan datang dari berbagai kerajaan untuk melihatnya secara langsung. Namun Elaria tidak sombong. Ia tetap sering bermain di taman, berbicara dengan bunga-bunga, membantu pelayan, dan mengunjungi kandang kudanya yang kini sudah dinamai Kai. Kai kini menjadi sahabatnya, dan hanya mau ditunggangi oleh Elaria. "Kai ayo kita pergi ke hutan!" ajak Putri Elaria. "Mau apa kita ke hutan Putri? Disana tidak enak, lebih baik kita tidur saja!" balas Kai si kuda hitam. "Dasar pemalas, ayo cepetan Kai!
Waktu terus berlalu, dan perubahan mulai terasa di dunia baru tempat Alina dan Aeron dilahirkan. Di dalam istana kerajaan, Putri Elaria yang masih berusia lima tahun sedang duduk di balkon sambil membaca buku mengenai kerajaan. Ratu Aeris duduk di sampingnya, membaca pembukuan istana dengan tenang. Meski usianya baru seumur jagung, Elaria sudah bisa membaca dan memahami hal-hal yang bahkan sulit dicerna oleh bangsawan dewasa. Kejernihan mata dan sikapnya yang dewasa sering membuat penasihat kerajaan berkata bahwa sang putri “mewarisi jiwa leluhur agung”. Suatu hari, ketika sedang bermain di taman istana, Elaria melihat bunga yang layu di taman membuatnya sangat sedih. Sebenarnya sejak berumur saru tahun dia bisa mengerti bahasa tumbuhan dan bahasa binatang, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia bisa memahami semua yang ada di sekitarnya. Mendengar bunga itu yang menangis membutuhkan air dan pupuk, Dia tanpa sadar mengangkat tangan kecilnya ke arah bunga yang layu. Dalam sekej
Alina dan Aeron saat sadar berada di sebuah taman yang indah. Mereka berdua sangat kagum, dengan keindahan bunga yang beraneka warna dan memiliki banyak jenisnya yang berbeda. Alina menggandeng Aeron yang masih bingung dengan keadaan mereka. Alina melihat seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut pirang kecoklatan yang panjang bergelombang mirip dengannya, duduk di kursi taman menghadap kolam ikan. Alina mengajak Aeron mendekati wanita itu. Saat semakin dekat Alina melihat wajah wanita itu sangat mirip dengannya. "Kalian sudah bangun? Maaf disini tidak ada kasur empuk jadi ibu tidak memindahkan kalian berdua, " ucap wanita itu dengan suara lembut menenangkan hati Alina yang takut. "Kau sangat mirip denganku, Apa kau Ibuku? " tanya Alina Ragu. "Benar! Aku ibu kalian, " Aeron menatap wanita itu dengan mata membelalak, antara bingung dan kagum. Ia memegang tangan Alina lebih erat, seolah memastikan semua ini bukan mimpi. “Ibu kami?” gumam Aeron pelan. “Tapi… baga
Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu. "Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya
Hari-hari di kuil Cahaya berlalu dengan pelatihan yang intens. Alina, meski masih kecil, menunjukkan perkembangan luar biasa. Setiap gerakan tangannya mulai selaras dengan cahaya di sekitarnya. Ia belajar mengarahkan energi penyembuh, membentuk pelindung cahaya, hingga memanggil cahaya kecil yang bisa menuntunnya di tengah gelap. Lyra dan Kael melatihnya dengan sabar. Kael mengajarkan teknik bertarung dan pertahanan, sedangkan Lyra fokus pada pengendalian energi dan meditasi. Alina setiap hari berlatih setelah pulang sekolah dan akan pulang ke rumah saat sore hari. Meskipun hari-harinya menjadi sangat sibuk, Alina melakukannya dengan hati senang. Alina merasa jika dia memiliki kemampuan dan bisa ikut membantu kenapa tidak dia lakukan, hitung-hitung sebagai amalnya nanti, karena dia tidak tahu masa depan seperti apa yang akan dia jalani dengan kemampuan seperti ini, yang pasti akan sangat berbahaya bagi dirinya. Namun di suatu sore, ketika Alina sedang duduk di taman kuil memanda
Malam itu, setelah Kael dan Lyra pergi, Alina sulit tidur. Ia meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya yang sudah mulai usang, dan menatap kalung daun perak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembutnya masih berdenyut... seperti bernafas. Pikirannya melayang-layang. Tentang ibunya Alenia Sirene yang tak pernah ia kenal, selain dari foto dan cerita Nenek. Tapi kini... semuanya terasa dekat. Seolah ibunya belum pernah benar-benar pergi. ** Keesokan paginya, saat sekolah usai, Kael sudah menunggu di luar pagar sekolah, menyamar seperti guru dengan jas panjang dan map di tangannya. Kenzo bahkan menyapanya dengan penasaran."Eh...om Kael, kau menjemputku?Apa di suruh Nenek?" tanya Alina merasa tidak enak."Tidak Alina, ini keinginan om sendiri yang ingin menjemputmu pulang sekolah," sahut Kael dengan wajah datar."Terima kasih om, sudah mau menjemputku," sahut Alina tersenyum manis. kenzo yang bersama Alina penasaran dengan pria yang menjemput Alina, kare
Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan. Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia,
Langit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya. Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tida