Amy mendapatkan mimpi aneh setelah usianya menginjak sembilan belas tahun. Ia bahkan harus bertemu Rain, pria misterius yang seakan selalu terikat dengannya. Tak cukup sampai di situ, berbagai kejanggalan mulai mengusik hidupnya yang semula tenang. Munculnya kabut merah sebagai pembawa berita juga peringatan peramal tua yang mengatakan kematiannya telah dekat. Siapa yang akan mengira jika ternyata ia dan Rain adalah pengantin terkutuk. Mereka harus terjebak dalam siklus dua puluh tahun. Dua orang itu akan bertemu saat Amy berusia sembilan belas, dan setahun kemudian mereka akan dipisahkan oleh kematian. Tapi siapa yang telah mengutuk mereka? Mampukah Amy dan Rain memutus siklus dan hidup bahagia?
View MoreAwan biru yang cerah, wanita cantik dengan gaun panjang yang menutup mata kaki berdiri di bawah pohon berdaun jingga. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak jurang menganga dengan dasar berwarna biru tua yang pekat.
Wanita itu menoleh, berharap sosok yang ia tunggu segera datang. Salah satu tangannya meremas gaun putih sementara tangan yang lain menggenggam dua tangkai bunga berkelopak biru.Tak lama kemudian, muncul pria seusianya dari arah dataran yang lebih rendah. Rambut coklat tua berpadu dengan kulitnya yang putih pucat. Si wanita hendak mendekat, ekspresinya yang semula cemas kini terganti dengan senyum merekah. Namun pemandangan itu tidak bertahan lama, karena si pria justru mendorongnya menuju jurang. Tubuh itu melayang, sebelum menghilang di perairan laut yang dalam."Jangan!!"Amy terbangun di ranjang kamarnya, tepat jam tiga dini hari. Peluh membanjiri dahi dan punggungnya hingga sebagian kaos merah muda yang sedang dikenakan menjadi basah.Mimpi buruk yang telah menghantuinya selama seminggu terakhir kembali datang dan terasa lebih nyata. Wanita dengan rambut hitam sepunggung itu memutuskan untuk meminum segelas air dan melanjutkan tidur meski rasa kantuknya telah menghilang.**Sore yang sedikit mendung. Awan putih menggantung di antara kemilau langit yang keemasan. Dari sebuah rumah bergaya minimalis, terdengar kegaduhan yang menjadi rutinitas di jam yang sama hampir setiap harinya."Vel, bisa gak sih kalo mau pinjem sepatu bilang dulu? Mau aku pake hari ini ...." Amy, wanita cantik sembilan belas tahun mengomel pada seseorang melalui ponsel tipis yang sedang menempel di telinganya."Sorry, My. Cuma sepatumu yang pas sama outfitku sekarang. Please jangan marah, aku traktir deh besok," sahut wanita sebaya dari seberang."Traktir apa?" tanya Amy gemas. Ia yakin jawabannya akan mengecewakan."Duit lagi nipis, mie instan ajalah. Udah ya, bye."Amy menatap layar ponsel tak percaya. Panggilan benar-benar terputus. Wanita itu mengusap wajah kasar, kesal karena harus memutar otak di saat seharusnya ia telah berada di kafe tempatnya bekerja.Mau tak mau ia harus memakai sepatunya yang lain, meski sedikit basah karena semalam ia kehujanan ketika pulang dari kafe. Wanita itu mencomot buah apel di meja makan dan memasukkan ke tas selempangnya sebelum menuju pintu keluar rumah.Saat membuka pintu, netranya menangkap sesuatu yang teronggok di teras. Sebuah paket berukuran sedang terbungkus kertas cokelat dan bertuliskan namanya."Amy Ivory? Ini buat aku?" Amy membolak-balik kotak itu, mencari nama pengirim. Namun tak ia temukan di mana pun.Bunyi ponsel pada tasnya membuat Amy tergesa. Ia hampir terlambat masuk kerja. Ia meletakkan paket di ruang tamu lalu mengunci pintu. Untuk sementara rumah itu kosong, setidaknya hingga teman satu kontrakannya pulang pukul 7 malam nanti.Rutinitas Amy jalani seperti biasa, ia menjadi kasir di salah satu kafe yang hanya berjarak lima belas menit dari rumahnya jika berjalan kaki. Petang itu pengunjung tidak terlalu ramai, sehingga ia bisa sedikit bersantai."Amy!" Meta, salah seorang teman kerja yang merupakan pegawai lain menepuk pundaknya."Iya?" Amy hanya menatap sekilas lalu kembali fokus pada mesin kasir di depannya."Besok kamu mau off?" Wanita dengan apron merah itu duduk di kursi yang seharusnya Amy gunakan."Besok? Bukannya giliranmu yang off?""Iya harusnya, tapi aku ada janji hari Jumat. Tukeran ya? Please ...." Meta menarik seragam Amy yang berupa kaos berkerah berwarna hitam.Amy tak memiliki agenda apa pun di hari liburnya minggu ini. Mungkin ia akan mengajak Velia sekedar sekadar berbelanja kebutuhan dapur yang sebagian besar habis. Bukan masalah jika ia harus libur besok."Oke." Amy memberi anggukan yang langsung membuat Meta kegirangan.Malamnya, Amy sampai di rumah hampir pukul sebelas malam. Penat, ia ingin mandi dan segera tidur. Tangannya menyambar paket yang masih tergeletak di meja."My, udah pulang? Makan yuk," ajak Velia yang baru muncul dari ruang makan. Pada tangannya terlihat dua kebab berukuran jumbo."Vel, kamu selalu bisa bikin dietku gagal ...."Dua wanita itu tertawa sebelum duduk bersama di sofa ruang tengah. Velia melirik paket yang Amy bawa, merasa sedikit aneh karena ini pertama kalinya Amy mendapat kiriman paket meski mereka telah tinggal bersama selama hampir setahun.Usai menyelesaikan makan malam keduanya, Amy membersihkan diri dan masuk ke kamar kamar. Keinginannya untuk tidur terusik rasa penasaran pada paket tanpa nama pengirim yang ia terima sore tadi. Dengan sebilah cutter, ia membuka paket. Berisi buku dan sebuah kunci yang sudah tampak usang.Ketika Amy mengangkat buku bersampul hitam itu, secarik kertas terjatuh dan ia langsung memungut. Terdapat beberapa baris tulisan tangan di sana, tampak rapi tapi juga terlihat dibuat terburu-buru.[Amy, jika surat dan buku ini sampai padamu maka saatnya telah tiba. Aku tak bisa menjelaskan sepenuhnya sekarang. Satu hal yang pasti, waktumu tidaklah banyak. Temui aku di Villa Putih secepatnya. Dan, jangan biarkan 'dia' menemukanmu. Amethyst]Pada bagian bawah surat juga terdapat alamat vila yang terletak di kota yang berjarak enam puluh kilometer dari tempat tinggalnya sekarang.Alis Amy terangkat sebelah. Villa Putih di Kota M? Dan siapa 'dia' yang si pengirim maksud?Tak ingin ambil pusing, Amy meletakkan buku, surat beserta kunci begitu saja di atas meja. Tubuhnya lelah, matanya ingin terpejam. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah tidur.**Amy menghela napas kasar. Di sinilah ia sekarang, berdiri tepat di depan pintu gerbang sebuah villa tua tak berpenghuni. Kedatangannya bukan tanpa sebab. Semalam ia kembali bermimpi aneh dan Amy yakin mimpi itu ada hubungannya dengan buku dan villa ini.Matahari masih belum naik sepenuhnya, namun ia telah merasa gerah. Dengan langkah sedang wanita dengan outer peach itu mendekati pagar besi yang sebagian besar berkarat.Digembok. Tentu saja. Tapi Amy yang sudah jauh-jauh datang tak ingin perjalanan dua jamnya terbuang sia-sia. Ia berjalan berkeliling sembari mengamati sekitar. Villa ini terletak si area yang cukup jauh dari permukiman penduduk.Setelah melangkah beberapa saat, ia menemukan satu jalan masuk berupa pagar samping yang rusak. Mengendap bagai pencuri, ia berharap tidak ada orang yang menangkapnya karena telah memasuki properti orang lain tanpa ijin."Mudah-mudahan gak ada yang lihat," ujarnya pada diri sendiri.Baru saja ia kakinya menginjak halaman villa, tubuhnya merasakan sensasi aneh. Ia merasa tempat ini tidaklah asing. Pohon besar di sudut halaman, juga bekas kolam air mancur yang nyaris menjadi puing.Amy menggeleng, berusaha menekan perasaan tak biasa yang mendadak muncul. Ia memberanikan diri membuka pintu utama villa dengan kunci usang dari paket misterius, berhasil.Tampak jelas jika tempat ini telah lama ditinggalkan, mungkin lebih dari lima belas tahun. Penerangan berasal dari jendela-jendela besar yang telah rusak. Aroma pengap dan debu segera menyapa indra penciuman saat Amy melangkah masuk.Ting. Denting piano tiba-tiba terdengar, seakan menyambut kedatangannya."Tenang, Amy. Tenang," ucapnya sembari menetralkan detak jantung yang mulai tidak beraturan."Harusnya aku ngajak Velia," rutuknya kemudian.Ia menyusuri lantai kayu yang sebagian menimbulkan bunyi derit ketika terinjak. Lagi, denting piano terdengar dan kali ini lebih berirama.Meski was-was, Amy memaksa diri untuk mengikuti sumber suara itu. Makin lama, ia dituntun menuju sebuah ruangan tertutup di lantai dua. Begitu pintu didorong, hal yang pertama kali Amy lihat adalah piano tua yang sepenuhnya rusak.Sebuah foto tua di dinding merebut perhatiannya. Netra cantiknya seketika terbelalak, saat mendapati foto itu adalah sosok wanita yang sama persis dengannya. Tak hanya itu, nama mereka pun nyaris sama. Amethyst Ivory."I-ini, ini gak mungkin ...." Amy hendak menyentuh permukaan foto tapi kemudian denting piano terdengar sangat jelas.Instingnya meminta Amy berlari. Wanita itu terus berlari menuruni anak tangga dan tanpa sadar justru menuju halaman belakang Villa. Hal mengerikan kembali terjadi. Ia menemukan sebuah makam yang bertuliskan nama wanita dalam foto."Apa-apaan ini?!" Amy membalikkan badan dan berlari ketakutan hingga tersandung akar pohon.Wanita itu meringis, merasakan perih pada lututnya yang lecet. Beberapa detik kemudian, Amy merasakan kehadiran seseorang yang menawarkan tangan untuknya. Ia mendongak."Kamu ...."***Amy masih berdiri di tengah-tengah ruangan, area yang semula terang mendadak menjadi redup. Sekitar mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkelap-kelip di dinding. Di hadapannya, terhampar sembilan boneka cantik dengan penampilan dan gaya yang berbeda. Setiap boneka entah bagaimana tampak bersinar dengan cahaya aneh, seolah-olah menyimpan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Gadis kecil yang mudah marah maupun tertawa itu berdiri di sisi lain ruangan, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Amy.Gadis aneh itu tersenyum miring, wajahnya berubah-ubah antara kegelapan dan kegilaan. "Pilihlah, tuan putri," katanya dengan suara yang menggema di ruangan itu. "Tapi dengan satu syarat.""Apa itu?""Salah satu boneka ini memiliki benda yang Anda cari. Pil keabadian. Tuan putri hanya boleh memilih satu kali dan ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensi."Amy merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Dia melangkah mendekati boneka-boneka itu, tangannya gemetar saat dia m
Di tepi danau yang tenang, sinar bulan menerobos melalui dedaunan, menciptakan bayangan yang indah di permukaan air. Di tengah hutan yang sunyi, Amy dan Rain bertemu setelah berpisah selama beberapa waktu.Amy dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke danau. Rain mendekatinya dengan langkah mantap. Mereka saling bertatapan, lalu Amy memulai percakapan."Dari mana kamu tahu aku alergi jahe?""Aku tahu semua tentangmu.""Tapi bagaimana ... sudahlah, kemarin, kamu pergi begitu saja," alih Amy dengan suara yang terdengar sedih.Rain terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Maaf, aku tidak ingat. Apa yang terjadi kemarin?"Amy merasa kesal. "Kamu tidak ingat? Kamu datang ke kamarku lalu pergi begitu saja tanpa kata-kata. Aku menunggumu, tapi kamu tidak kembali."Rain menggelengkan kepala. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingat."Amy bangkit dari tempat duduknya, wajahnya memancarkan kekecewaan. "Kamu selalu begitu, Rain. Selalu datang
Permukaan danau yang tenang menarik perhatian Rain selama sesaat. Pria itu menatap datar sembari bersandar pada pilar bangunan penginapan yang berbahan kayu solid. Di belakangnya, beberapa pria muda berbicara dengan nada sedikit bercanda. Meski tak berniat menguping, Rain mampu mendengar mereka sesekali menyebut-nyebut pil keabadian."Apa menurutmu benda itu benar-benar ada?""Yang benar saja. Jika bukan karena Nona Emilia menawarkan bayaran fantastis, aku tidak akan mau repot-repot datang kemari," timpal pria dengan rambut cepak diikuti gelak kecil."Cuma uang yang ada dipikiranmu," seloroh yang lain."Memangnya kau tidak? Realistis saja. Dunia peri dan semacamnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Omong kosong.""Kau terlalu berani. Ck, ck ....""Kita ikuti saja sampai mana nona muda itu mau bersikeras."Seseorang menepuk pundak Rain yang membuat kepala pria itu sedikit menoleh. Gideon kini berdiri di sampingnya, ikut menatap lurus pada permukaan danau yang cantik nan misterius
Dua wanita berdiri berhadapan bagaikan bercermin. Rambut hitam panjang yang sama, juga irish mata ungu gelap yang senada."Siapa kamu? Di mana teman-temanku?" Amy memeluk lengan ketika Amethyst berjalan mendekat. Ketenangan yang wanita itu tunjukkan tak ayal membuatnya tidak nyaman."Mereka baik-baik saja. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan keadaanmu sendiri," balas Amethyst.Jarak mereka tidak sampai satu meter sekarang. Amy masih memberikan tatapan was-was. Ia melirik kamar luas itu, tak menyadari tatapan simpati milik Amethyst."Apa tanda itu sudah muncul?" Amethyst mengangkat tangan seakan ingin menyentuh sosok yang serupa dengannya itu."Tanda apa yang kamu maksud?" tanya Amy, tangannya refleks menyentuh perut. Ia paham makna pertanyaan itu tapi masih berharap semua hanya kesalahan."Lebih awal dari semestinya." Amethyst tersenyum tipis.Bukannya menjawab, Amy memandangi wanita cantik dengan dress putih menutup mata kaki itu. Terpancar jelas kesedihan di matanya. Tak lama berse
Velia mengaduk sup jamur, memastikan rasa dan mematikan kompor tak lama kemudian. Ketika memasuki ruang tengah, tangannya telah membawa nampan berisi dua mangkuk sup yang masih mengepul."Kita makan dulu," ujarnya pada Amy yang fokus membolak-balik halaman buku bersampul hitam."Terimakasih, Vel. Tapi aku belum lapar," tolak Amy tanpa menoleh sama sekali.Mendengarnya Velia hanya mampu menghela napas kasar. Ia letakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk tepat di samping Amy. Amy terlihat tidak terganggu, ia masih terlihat fokus.Percuma sedari tadi ia membuka buku untuk ke sekian kali. Tulisan dalam buku sama sekali tak ia mengerti. Amy mendengkus frustasi. Tangannya meletakkan buku dengan asal di sofa samping lalu ujung secarik kertas tampak menyembul."Kita tidak tahu siapa wanita aneh tadi. Bagaimana kalau dia cuma mau nipu?" Velia yang khawatir hendak menyentuh lengan sahabatnya. Namun ia harus mengurungkan karena Amy saat itu juga berdiri."Villa Putih. Aku harus ke sana sekaran
"Ayo naik!" ajak Tora ketika berhasil menyusul Amy.Amy menatapnya sejenak. Tertegun. Ia sudah ingin membuka suara tapi Tora berucap kembali."Katamu ini tentang nyawa seseorang. Mau naik apa tidak?" Dengan segera Amy menuruti. Pikirannya kembali fokus pada Rain. Meski itu hanya gambaran tidak nyata dari kabut merah, tak dipungkiri rasa khawatir kini menjalari seluruh tubuhnya."Ke mana kita?" tanya Tora lagi sebelum menjalankan kendaraan roda duanya."Rumah kontrakanku, tolong cepat ya," pesan Amy masih dengan wajah kalut.Tora tidak bertanya lagi. Tak berapa lama, mereka pun sampai. Namun bukannya menuju tempat tinggalnya selama beberapa bulan belakangan, Amy justru dengan cepat menghampiri halaman rumah Pak Tino. Tampak Gideon sedang mengutak-atik jam tangan tua di toko barang antik itu."Gideon," panggil Amy yang langsung membuat pria berkacamata mata itu menoleh."Hm? Oh, hai, ada yang bisa kubantu?" tanya pria itu dengan senyum mengembang."Di mana Rain? Aku ingin bertemu denga
Mendapat shift pagi, tak membuat Amy bersemangat dalam menjalani pekerjaannya di cafe. Sedari tadi ia tak banyak bicara, hanya sesekali menjawab pertanyaan rekan kerja. Namun senyum manis itu tak pernah lupa Amy berikan pada konsumen yang berkunjung. Hingga di saat makan siang, wanita itu beranjak sejenak guna menikmati masakan yang baru Tora buat. Aroma nasi kaldu jamur menggelitik penciuman Amy. Ditambah ayam goreng madu yang seakan memanggil untuk segera disantap. "My, ini nasinya," ujar Tora seraya memberikan sepiring nasi sekaligus ayam. "Iya, makasih," sambut Amy disertai senyuman. "Yang bagianku?" tanya rekan kerja yang lain, Ronald. "Ambil saja sendiri," jawab Tora acuh. "Ck, kalau untuk Amy saja kau gerak cepat," gerutu Ronald sambil berjalan ke dapur. Tora cengegesan sedang Amy memasang mode tak mendengar. Wanita itu meletakkan piring di meja panjang. Tidak ada yang menemaninya makan kali ini. Mereka harus makan bergantian karena situasi cafe yang cukup ramai. Beber
Langit mulai gelap ketika Emilia bersama tiga orang lain termasuk Rain berkendara menuju pinggiran suatu kota. Ketika mereka memasuki permukiman, mobil berhenti. Emilia yang semula sibuk dengan tablet di tangan menatap jalanan. "Jalanan di depan tidak bisa dilewati mobil," ujar si supir, pria muda yang hari itu khusus Emilia sewa untuk mengantar mereka ke satu tempat. "Seberapa jauh lagi jaraknya?" Emilia bertanya. "Sepuluh menit dengan berjalan kaki. Tapi aku tidak bisa ikut," jelas si pria muda lagi. "Kenapa tidak?" Emilia menghentikan gerakan tangan memasukkan tablet dalam tas. "Area ini terkutuk, aku tidak berani masuk ke sana." Supir itu menggeleng. Emilia menoleh ke belakang, pada Rain yang hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan. Wanita itu lalu mengeluarkan beberapa lembar merah dan diarahkan pada supir. "Kau yakin tidak mau mengantar kami? Aku akan tambah bayaranmu dua kali lipat." Emilia tersenyum kala mengajak bernegosiasi. Pria muda dengan kemeja kusut
Belum SelesaiDavon menghentikan laju motor sport-nya tepat di depan pagar. Velia yang duduk di belakang segera turun usai menepuk bahu pemuda dengan jaket denim itu. "Thank you, Davon. Tante Lavender the best pokoknya," ujar Velia dengan nada ceria. "Panggil dia Onty," sela Davon mengingatkan. "Sorry, lupa." Velia tergelak teringat kejadian di mansion ketika Lavender Peach protes setelah ia menyebut tante. "Aku langsung balik, ya. Ada kelas satu jam lagi," ujar Davon seraya melihat jam tangannya yang tampak mahal. "Oke, silahkan. Sekali lagi thank you ya." Velia melambaikan tangan. "Yup. Salam untuk Amy," balas Davon lalu menyalakan mesin motor. Sembari melangkah ringan lurus menuju pintu masuk, Velia merogoh clutch guna mencari kunci. Detik berikutnya ia merasa konyol karena menyadari tidak membawa kunci. "Amy?" panggil Velia. Tangannya aktif menyetuk. Hening. Velia mengulang tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya wanita itu duduk di kursi kayu, mengutak-atik ponsel. "Apa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments