Share

Pria Bermata Kelam

Author: Red Ruby
last update Last Updated: 2022-10-13 17:38:03

Amy menerima uluran tangan pria itu. Mereka saling tatap selama beberapa saat. Wajah tampan dengan kulit pucat, rambut coklat gelap dan tatapan yang kelam. Entah mengapa Amy bisa merasakan jika pria di hadapanannya ini sedang bersedih meski bibirnya tersenyum tipis.

"Kamu ...." Amy hendak mengatakan sesuatu namun pria itu justru berjalan menjauh.

"Amy!!" Suara lantang dari arah lain membuat Amy menoleh. Itu adalah Velia, bersama seorang pria dengan cardigan hijau lumut bernama Davon.

"Kok kalian di sini?" tanya Amy sambil melihat ke arah pria misterius sekali lagi. Jarak mereka cukup jauh sekarang.

"Tadi kamu share loc. Lupa? Lain kali jangan bikin khawatir, bisa gak?" Velia menjitak kening sahabat sekaligus teman satu kontrakannya tersebut.

"Sakit, Vel!" sungut Amy kesal.

"Ngapain kamu ke sini, My?" Kali ini Davon yang bertanya. Pria berpenampilan santai namun rapi itu memperhatikan bangunan vila yang sebagian besar catnya telah mengelupas.

"Bukan apa-apa. Balik yuk," ajak Amy. Ia tak ingin mengalami hal aneh untuk ke tiga kalinya.

"Eh, cowok yang tadi sama kamu siapa? Penjaga villa?" tanya Velia.

Amy hanya mengangkat bahu. Ia sendiri pun tak tahu. Namun pria yang telah membantunya berdiri beberapa saat lalu terlalu charming jika dikatakan sebagai penjaga villa.

Sebelum meninggalkan area villa, Amy menoleh ke arah makam yang bertuliskan namanya sekali lagi. Ia merinding, ditambah pepohonan rimbun yang menutup pemandangan di belakangnya.

"Ayo pulang ...," ajaknya pada Velia dan Davon.

**

Amy sampai di kontrakan beberapa jam kemudian. Ia kembali sendiri di rumah dua kamar itu setelah Velia mengatakan harus bertemu teman di suatu tempat.

Ia masuk ke kamar, hanya untuk membolak-balikan lembaran buku bersampul hitam yang baginya terasa aneh. Bukan cuma cara ia mendapatkannya namun juga isi di dalamnya. Buku itu penuh dengan tulisan tangan yang tak Amy mengerti.

Namun ketika ia sampai pada satu halaman, mendadak ia tertegun. Terdapat gambar totem yang sangat dikenalnya, bunga lotus dan ada tiga titik pada bagian bawahnya.

Amy bangkit, mencari cermin. Ya, gambar pada buku usang itu sama persis dengan tanda lahir yang ada di lehernya. Terlalu sama jika dikatakan kebetulan.

"Apa ini?"

Wanita cantik itu mulai bersemangat membaca buku namun percuma saja. Selain tulisan pada pesan, buku itu menggunakan bahasa yang tak ia mengerti.

Malamnya, Amy keluar dari kamar hanya untuk mengambil segelas air. Cuaca yang mendung membuat hawa di sekitarnya terasa gerah.

Melewati ruang makan, ia bertemu Velia yang sedang fokus merekam sesuatu di rumah sebelah melalui ponsel barunya.

"Vel, ngapain?" Amy menepuk bahu wanita itu.

"Ssstt. Ada cogan di sebelah."

"Cogan? Bukannya Pak Tino cuma punya anak perempuan?"

"Ya kali ini keponakannya. Mau ikutan?" Velia memainkan alis.

"Ck. Kebiasaan deh." Amy sudah ingin berlalu namun Velia menahan tangannya.

"Eh, liat deh. Cowok itu ngapain ...." Velia semakin antusias melihat pria muda yang tampak membuka hoodie hitamnya.

"Duh, aku gak mau ikutan ngintip, Vel," tegas Amy. Berbulan-bulan tinggal bersama, tak membuat kebiasaan Velia menular padanya.

"Liat dulu." Kali ini Velia memaksa.

Amy pun menuruti dengan setengah hati. Velia telah men-zoom kamera hingga delapan puluh kali dan apa yang Amy lihat membuatnya terpana.

"Amy? Halo?" Kini giliran Velia yang menepuk bahu sahabatnya.

"Eh, kenapa?" Amy menoleh.

"Kok bengong? Hmm, apa kubilang, ganteng banget 'kan?"

"Gak tau ah, aku mau ambil air terus tidur." Amy berlalu meninggalkan Velia yang masih diam di tempat sambil cekikikan.

Fokus Amy terpecah, pria yang ia lihat beberapa detik yang lalu adalah orang yang ia temui secara tak sengaja di Villa Putih pagi tadi. Apa ini? Kebetulan? Tapi kenapa mendadak ia merasa merinding?

**

Esoknya, Amy bersiap untuk berangkat kerja seperti biasa. Ia telah memakai hoodie ungunya, hanya tinggal menyambar tas dan memakai sepatu. Tetapi ponselnya yang telah berada di dalam tas mendadak berdering.

"Halo, Vel?"

"My, udah berangkat belum?" tanya Velia di seberang. Nada suaranya sedikit panik.

"Mau berangkat, sih. Kenapa? Ada yang ketinggalan, nanti biar aku mampir ke tempat kerjamu," tawar Amy pada teman dekat yang bekerja di sebuah butik terkenal.

"Dua hari lalu aku reparasi jamnya mama ke Pak Tino mungkin sekarang udah selesai, tolong ambilin ya. Udah bayar kok, tanda buktinya ada di laci kamar. Thank you, Sist!" seru wanita itu.

Klik. Velia menutup panggilan begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya. Mendengar nama Pak Tino disebut, Amy tiba-tiba teringat pria itu.

"Kebetulan. Cuma kebetulan." Amy menggeleng dan bergegas. Ia tak ingin gajinya dipotong karena terlambat.

Pak Tino mempunyai tempat reparasi jam tangan di samping rumahnya. Pria paruh baya yang memiliki senyum ramah itu juga mempunyai beberapa koleksi barang antik.

Amy memasuki halaman rumah tanpa pagar. Terlihat satu mobil yang sedang terparkir di depannya berwarna hitam. Rolling dor setengah terbuka, Amy mempercepat langkah karena mengira tempat itu akan segera tutup.

"Permisi ..." ucap wanita itu.

Hening.

Di belakang meja tampak berdiri seorang pria. Cahaya di ruangan itu cukup redup. Namun semakin dekat, Amy bisa melihatnya dengan wajahnya dengan jelas. Pria itu dengan tanda lotus dan tiga titik pada lehernya. Letak dan bentuk yang sama dengan miliknya, tak mungkin jika sebuah kebetulan.

"Ada apa?" Suara bariton pria itu terdengar bersamaan dengan netra yang bertemu tatap.

"Eh? Ehm, ini ...." Amy menyerahkan tanda bukti pembayaran milik Velia.

Pria misterius itu membaca lembaran sekilas dan mengambil jam tangan klasik dan cantik yang telah terbungkus rapi. Amy masih tak beranjak, rasa penasarannya terlalu besar untuk dibendung. Maka ia memutuskan untuk bertanya.

"Maaf, kemarin kita sempat ketemu 'kan? Di Villa Putih? Kota M?"

Pria tampan yang semula sibuk dengan guci antik di tangannya, mendadak menatap Amy. Wanita itu menunggu jawaban namun justru pria lain muncul dari arah dalam.

"Rain, apa kau butuh bantuan? Oh, kita ada pelanggan? Ada yang bisa kubantu?" Pria berkacamata itu tersenyum ramah pada Amy.

"Udah kok, terima kasih."

Amy membalikkan badan dan keluar dari toko antik itu tanpa menoleh. Dua pria masih menatap punggungnya hingga menghilang saat berbelok di jalanan.

"Seperti sebelumnya, kalian bertemu saat tanda pada lehermu muncul. Tapi aku merasa ada yang berbeda kali ini. Apa kau juga merasakannya, Rain?" Pria bernama Gideon menepuk pundaknya.

Rain tak menjawab, ia meneruskan pekerjaannya tanpa suara sedikit pun. Gideon hanya melirik, lalu lanjut bertanya.

"Kali ini kau ingin mengacuhkan wanita itu lagi? Jangan lupa apa yang terjadi padanya dua puluh tahun yang lalu di Villa Putih."

Gerakan tangan Rain terhenti. Tentu ia ingat akan peristiwa tragis yang terjadi bertahun silam. Tubuh rapuh Amethyst terjun dari balkon lantai tiga vila itu.

"Itu bukan cara yang tepat untuk menghentikan siklus," tambah Gideon.

"Aku tahu." Rain meletakkan guci antik di tempatnya dan keluar dari toko.

"Hei, mau ke mana? Si tua Tino akan mencarimu sesaat lagi," seru Gideon lantang.

Alih-alih menjawab, Rain terus berjalan. Bibirnya terkatup namun pikirannya terasa penuh. Siklus dua puluh tahun telah terulang dan ia harus segera melakukan sesuatu sebelum nyawa Amethyst-nya kembali melayang.

***

Related chapters

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Gelang Pemberian

    Pria berusia lima puluh enam tahun membetulkan letak kacamata sebelum memeriksa kotak musik berbentuk piano di tangannya. Benda cantik itu didominasi transparan dan berwarna putih pada bagian mesin. "Di mana Rain?" tanya pria bernama Tino itu saat Gideon baru memasuki ruang reparasi."Keluar. Cari udara segar mungkin. Jika ada yang harus dikerjakan, katakan saja padaku.""Aku cuma ini membicarakan hal penting dengannya. Tapi sudahlah, akan kutunggu dia kembali."Gideon mengangguk dan keluar, meninggalkan Pak Tino yang kini menarik salah satu laci mejanya pada bagian bawah. Tangannya meraih bingkai foto yang berisi potret tiga pria muda. Potret itu diambil lebih dari satu abad yang lalu. Paling kanan adalah mendiang kakeknya, sisi tengah diisi oleh pria tinggi yang posturnya sedikit berisi. Pak Tino tak pernah mengetahui siapa pria itu sampai hari ini. Sedangkan pada bagian kiri, adalah Rain. Ya, pria muda yang kini bekerja padanya.Saat dikonfirmasi pada yang bersangkutan, pria yang

    Last Updated : 2022-10-13
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Kabut Merah

    Amy mengeratkan jaket ungunya karena angin malam semakin dingin. Wanita itu mempercepat langkah, area tempat tinggalnya sudah dekat. Hanya dua ratus meter lagi.Memasuki jalan lebih sempit, Amy berpapasan dengan pemuda dengan rokok di tangan. Mereka tidak saling mengenal tapi orang tersebut memandangnya dengan cara aneh.Ponsel dalam tasnya mendadak berdering. Tanpa melihat layar, Amy sudah bisa menebak jika yang memanggil adalah Velia. Tentu ia harus menyiapkan diri mendengar temannya itu menggerutu."Halo, Vel?""My, maaf hari ini aku nginap di rumah mama. Besok udah balik kok.""Oh, gitu ya?" Ada nada kecewa pada suaranya."Jangan lupa kunci semua pintu, oke? Stay save, Sista!" seru Velia dari seberang.Begitu panggilan terputus Amy hendak menyimpan ponselnya kembali. Tapi sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Refleks Amy membalikkan badan. Tidak ada apapun. Wanita itu memegang tengkuk, memastikan yang baru ia rasakan bukan hayalan semata.Belum habis rasa terkejutnya, Amy diha

    Last Updated : 2022-10-13
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Ingatan Luka

    Krieeett. Blam!Pintu kamar Rain terbuka dan menutup kembali dengan cukup keras usai wanita cantik bergaun putih masuk. Netranya basah, hidungnya memerah. Meski bibirnya terkatup, raut wajahnya cukup menggambarkan jika ia sedang tidak baik-baik saja. Rain yang duduk di sebuah kursi hanya diam menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Hening sejenak, hingga wanita itu melirik tas berukuran sedang yang teronggok di sudut kamar bernuansa coklat muda itu. "Kamu mau pergi?" tanya wanita itu. Air matanya kembali berlinang, membasahi pipi putih mulus yang terawat. "Jangan seperti ini, Amethyst," ucap Rain akhirnya. Pria itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju balkon. Kamarnya yang berada di lantai dua memudahkannya melihat pemandangan perbukitan sore itu. Sikap Rain tampak dingin, bahkan seolah tak peduli pada wanita berambut panjang itu. Posisinya yang membelakangi hanyalah cara untuk menghindari tatapan sendu milik Amethyst. Cuma ia saja yang tahu jika saat ini hatinya juga hancur.

    Last Updated : 2022-10-13
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Insiden Pagi Hari

    Pagi itu Amy bangun dengan malas. Meski netranya terasa berat, ia harus tetap menjalani aktivitas. Seminggu di mulai dari hari ini, shift-nya adalah pukul sembilan pagi. Setelah bersiap-siap, Amy menikmati sarapan paginya sambil sesekali menguap. Tubuhnya lebih segar usai mandi, tapi rasa kantuk tak juga hilang. Sebuah ketukan terdengar di pintu depan. Dengan langkah malas ia berjalan untuk mengetahui siapa tamu yang datang. Cklek."Pagi, Tukang tidur!" seru Velia yang langsung melesak ke dalam. "Vel? Bukannya kamu balik nanti?" Amy bertanya dengan heran seraya mengerjap. Berharap kedatangan temannya itu bukanlah mimpi. "Gak tau kenapa pengen balik pagi. Takut kamu lupa kunci pintu waktu berangkat sebentar lagi," jawab Velia sekenanya. "Enak aja," balas Amy tak sedikit merengut. Sebenarnya wanita itu memiliki firasat aneh pagi ini. Ia buru-buru pulang dan bersyukur Amy masih berada di rumah itu hingga ia datang. Usai mandi, Ami bersiap untuk berangkat. Ia telah siap dengan outt

    Last Updated : 2022-11-10
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Kisah Sang Putri

    Sorenya, Amy sampai di rumah kontrakannya pukul lima sore. Ruang tengah sedikit berantakan, tanpa bertanya pun ia tahu jika itu adalah hasil karya Velia. Teman satu kontrakannya itu selalu sukses membuatnya gemas."Really?" Amy memutar bola mata mendapati piring dan gelas bekas Velia gu masih teronggok di meja depan televisi.Tak hanya itu, jaket coklat dan juga dua buku dibiarkan di atas sofa. Amy meletakkan tasnya dan bersiap merapikan ruangan bernuansa soft green itu.Tangan Amy memungut dua buku yang salah satunya adalah novel yang nampak masih baru. Wanita itu memandangi covernya sejenak. Buku berjudul Cursed Princess itu sepertinya sedikit menarik perhatian Amy.Srakk.Satu lembar tipis memanjang tiba-tiba jatuh dari dalam buku. Amy meraihnya pembatas buku yang memiliki gambar sama persis dengan cover dan menyadari terdapat tulisan di atasnya."Ini ...."Langkah kaki Amy menuju ke kamar, hanya untuk mencari buku misterius yang ia dapatkan beberapa hari lalu. Ia mencocokkan satu

    Last Updated : 2022-11-10
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Cemburu

    Langit mulai gelap. Namun sepertinya Amy tidak menyadari akan hal itu. Sejak satu jam lalu ia telah tenggelam dalam novel seri pertama karya Lavender Peach milik Velia. Jika sebelumnya Amy tak terlalu suka membaca novel, saat ini ia justru antusias untuk mencapai halaman terakhir. Wanita cantik itu bahkan membatalkan niatnya untuk mengunjungi pasar sore yang terletak beberapa blok dari tempat tinggalnya. Tok. Tok. "Amy? Aku masuk ya?" Terdengar suara Velia usai mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Iya, masuk aja," sahut si empunya kamar tanpa mengalihkan netra dari lembaran novel yang cukup tebal tersebut. Velia mendekati Amy yang nampak serius membaca di sudut ranjang. Ia sedikit takjub karena posisi temannya itu belum berubah sejak satu jam yang lalu. "Ternyata beneran mau baca? Tumben banget," komentar Velia dan Amy hanya menjawabnya dengan senyum simpul. "Mau makan malam apa nih?" lanjut Velia seraya mengamati kuku-kuku pada jarinya yang lentik. "Satu jam lagi aku yang ma

    Last Updated : 2022-11-10
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Bayangan dari Kabut

    Suasana sibuk di cafe telah menjadi rutinitas terutama ketika hari menjelang sore. Amy seharusnya sudah bersiap pulang mengingat jarum pada jam dinding telah menunjukkan pada angka empat. Namun nyatanya ia masih tetap di tempat. "Totalnya seratus empat puluh enam ribu, Kak," ujarnya disertai senyum ramah pada salah seorang pelanggan. Beberapa menit berlalu, seorang rekan menyikut lengannya hingga berhasil membuat Amy menoleh. Itu adalah kasir untuk shift sore yang baru bisa datang setelah ijin terlambat. "Sorry, My. Kamu bisa pulang sekarang," bisik wanita dengan lesung pipi. Setelah Amy mengangguk, otomatis posisinya digantikan. Amy beristirahat sejenak di kursi dapur, menonton aktifitas tiga pria yang berjibaku membuat pesanan. Tora sesekali melirik ke arahnya, tetapi Amy pura-pura tidak menyadari. Merasa istirahatnya cukup, Amy hendak bangkit dan pulang. Namun sesuatu menarik perhatian Amy. Wanita itu lagi-lagi mendapati kabut tak biasa muncul. Benda asing itu semula hanya ber

    Last Updated : 2022-11-13
  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Keinginan Terdalam

    Brakk. Amy melempar tas selempangnya begitu saja setelah melepas sepatu dan masuk ke dalam ruang tamu. Namun tidak butuh waktu lama ia segera mengambil tas kembali, berharap ponselnya yang berharga tidak lecet atau bahkan pecah. "Duh, untung aja gak apa-apa," ucapnya pada diri sendiri. Wanita muda itu terduduk, merenungi apa yang ia rasakan. Dalam hati bertanya-tanya mengapa melihat kedekatan Rain dan Emilia membuat hatinya sakit. "Nyebelin!" sungutnya. Entah pada Rain atau pada dirinya sendiri yang seakan memberi tanda ketertarikan. "Lupain, Amy, lupain ...," tegas wanita itu seraya geleng-geleng kepala. Tentu ia harus melupakan kejadian baru saja, termasuk bayangan aneh ketika di dapur cafe tadi. Amy menatap jam dinding, masih butuh dua jam hingga Velia pulang. Selama itu ia akan sendirian. Saat ini hal yang ingin Amy lakukan adalah mandi. Setengah jam berlalu, terdengar seseorang memasuki pagar dan memencet bel rumah. Amy dengan rambut terurai setengah basah beraroma floral

    Last Updated : 2022-11-18

Latest chapter

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Serpihan Jawaban

    Amy masih berdiri di tengah-tengah ruangan, area yang semula terang mendadak menjadi redup. Sekitar mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkelap-kelip di dinding. Di hadapannya, terhampar sembilan boneka cantik dengan penampilan dan gaya yang berbeda. Setiap boneka entah bagaimana tampak bersinar dengan cahaya aneh, seolah-olah menyimpan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Gadis kecil yang mudah marah maupun tertawa itu berdiri di sisi lain ruangan, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Amy.Gadis aneh itu tersenyum miring, wajahnya berubah-ubah antara kegelapan dan kegilaan. "Pilihlah, tuan putri," katanya dengan suara yang menggema di ruangan itu. "Tapi dengan satu syarat.""Apa itu?""Salah satu boneka ini memiliki benda yang Anda cari. Pil keabadian. Tuan putri hanya boleh memilih satu kali dan ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensi."Amy merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Dia melangkah mendekati boneka-boneka itu, tangannya gemetar saat dia m

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Penghuni Pintu Merah

    Di tepi danau yang tenang, sinar bulan menerobos melalui dedaunan, menciptakan bayangan yang indah di permukaan air. Di tengah hutan yang sunyi, Amy dan Rain bertemu setelah berpisah selama beberapa waktu.Amy dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke danau. Rain mendekatinya dengan langkah mantap. Mereka saling bertatapan, lalu Amy memulai percakapan."Dari mana kamu tahu aku alergi jahe?""Aku tahu semua tentangmu.""Tapi bagaimana ... sudahlah, kemarin, kamu pergi begitu saja," alih Amy dengan suara yang terdengar sedih.Rain terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Maaf, aku tidak ingat. Apa yang terjadi kemarin?"Amy merasa kesal. "Kamu tidak ingat? Kamu datang ke kamarku lalu pergi begitu saja tanpa kata-kata. Aku menunggumu, tapi kamu tidak kembali."Rain menggelengkan kepala. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingat."Amy bangkit dari tempat duduknya, wajahnya memancarkan kekecewaan. "Kamu selalu begitu, Rain. Selalu datang

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Tiba di Penginapan

    Permukaan danau yang tenang menarik perhatian Rain selama sesaat. Pria itu menatap datar sembari bersandar pada pilar bangunan penginapan yang berbahan kayu solid. Di belakangnya, beberapa pria muda berbicara dengan nada sedikit bercanda. Meski tak berniat menguping, Rain mampu mendengar mereka sesekali menyebut-nyebut pil keabadian."Apa menurutmu benda itu benar-benar ada?""Yang benar saja. Jika bukan karena Nona Emilia menawarkan bayaran fantastis, aku tidak akan mau repot-repot datang kemari," timpal pria dengan rambut cepak diikuti gelak kecil."Cuma uang yang ada dipikiranmu," seloroh yang lain."Memangnya kau tidak? Realistis saja. Dunia peri dan semacamnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Omong kosong.""Kau terlalu berani. Ck, ck ....""Kita ikuti saja sampai mana nona muda itu mau bersikeras."Seseorang menepuk pundak Rain yang membuat kepala pria itu sedikit menoleh. Gideon kini berdiri di sampingnya, ikut menatap lurus pada permukaan danau yang cantik nan misterius

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Bertemu Amethyst

    Dua wanita berdiri berhadapan bagaikan bercermin. Rambut hitam panjang yang sama, juga irish mata ungu gelap yang senada."Siapa kamu? Di mana teman-temanku?" Amy memeluk lengan ketika Amethyst berjalan mendekat. Ketenangan yang wanita itu tunjukkan tak ayal membuatnya tidak nyaman."Mereka baik-baik saja. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan keadaanmu sendiri," balas Amethyst.Jarak mereka tidak sampai satu meter sekarang. Amy masih memberikan tatapan was-was. Ia melirik kamar luas itu, tak menyadari tatapan simpati milik Amethyst."Apa tanda itu sudah muncul?" Amethyst mengangkat tangan seakan ingin menyentuh sosok yang serupa dengannya itu."Tanda apa yang kamu maksud?" tanya Amy, tangannya refleks menyentuh perut. Ia paham makna pertanyaan itu tapi masih berharap semua hanya kesalahan."Lebih awal dari semestinya." Amethyst tersenyum tipis.Bukannya menjawab, Amy memandangi wanita cantik dengan dress putih menutup mata kaki itu. Terpancar jelas kesedihan di matanya. Tak lama berse

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Kembali ke Villa

    Velia mengaduk sup jamur, memastikan rasa dan mematikan kompor tak lama kemudian. Ketika memasuki ruang tengah, tangannya telah membawa nampan berisi dua mangkuk sup yang masih mengepul."Kita makan dulu," ujarnya pada Amy yang fokus membolak-balik halaman buku bersampul hitam."Terimakasih, Vel. Tapi aku belum lapar," tolak Amy tanpa menoleh sama sekali.Mendengarnya Velia hanya mampu menghela napas kasar. Ia letakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk tepat di samping Amy. Amy terlihat tidak terganggu, ia masih terlihat fokus.Percuma sedari tadi ia membuka buku untuk ke sekian kali. Tulisan dalam buku sama sekali tak ia mengerti. Amy mendengkus frustasi. Tangannya meletakkan buku dengan asal di sofa samping lalu ujung secarik kertas tampak menyembul."Kita tidak tahu siapa wanita aneh tadi. Bagaimana kalau dia cuma mau nipu?" Velia yang khawatir hendak menyentuh lengan sahabatnya. Namun ia harus mengurungkan karena Amy saat itu juga berdiri."Villa Putih. Aku harus ke sana sekaran

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Tanda Sisa Usia

    "Ayo naik!" ajak Tora ketika berhasil menyusul Amy.Amy menatapnya sejenak. Tertegun. Ia sudah ingin membuka suara tapi Tora berucap kembali."Katamu ini tentang nyawa seseorang. Mau naik apa tidak?" Dengan segera Amy menuruti. Pikirannya kembali fokus pada Rain. Meski itu hanya gambaran tidak nyata dari kabut merah, tak dipungkiri rasa khawatir kini menjalari seluruh tubuhnya."Ke mana kita?" tanya Tora lagi sebelum menjalankan kendaraan roda duanya."Rumah kontrakanku, tolong cepat ya," pesan Amy masih dengan wajah kalut.Tora tidak bertanya lagi. Tak berapa lama, mereka pun sampai. Namun bukannya menuju tempat tinggalnya selama beberapa bulan belakangan, Amy justru dengan cepat menghampiri halaman rumah Pak Tino. Tampak Gideon sedang mengutak-atik jam tangan tua di toko barang antik itu."Gideon," panggil Amy yang langsung membuat pria berkacamata mata itu menoleh."Hm? Oh, hai, ada yang bisa kubantu?" tanya pria itu dengan senyum mengembang."Di mana Rain? Aku ingin bertemu denga

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Kekhawatiran

    Mendapat shift pagi, tak membuat Amy bersemangat dalam menjalani pekerjaannya di cafe. Sedari tadi ia tak banyak bicara, hanya sesekali menjawab pertanyaan rekan kerja. Namun senyum manis itu tak pernah lupa Amy berikan pada konsumen yang berkunjung. Hingga di saat makan siang, wanita itu beranjak sejenak guna menikmati masakan yang baru Tora buat. Aroma nasi kaldu jamur menggelitik penciuman Amy. Ditambah ayam goreng madu yang seakan memanggil untuk segera disantap. "My, ini nasinya," ujar Tora seraya memberikan sepiring nasi sekaligus ayam. "Iya, makasih," sambut Amy disertai senyuman. "Yang bagianku?" tanya rekan kerja yang lain, Ronald. "Ambil saja sendiri," jawab Tora acuh. "Ck, kalau untuk Amy saja kau gerak cepat," gerutu Ronald sambil berjalan ke dapur. Tora cengegesan sedang Amy memasang mode tak mendengar. Wanita itu meletakkan piring di meja panjang. Tidak ada yang menemaninya makan kali ini. Mereka harus makan bergantian karena situasi cafe yang cukup ramai. Beber

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Peta Hutan Rhae

    Langit mulai gelap ketika Emilia bersama tiga orang lain termasuk Rain berkendara menuju pinggiran suatu kota. Ketika mereka memasuki permukiman, mobil berhenti. Emilia yang semula sibuk dengan tablet di tangan menatap jalanan. "Jalanan di depan tidak bisa dilewati mobil," ujar si supir, pria muda yang hari itu khusus Emilia sewa untuk mengantar mereka ke satu tempat. "Seberapa jauh lagi jaraknya?" Emilia bertanya. "Sepuluh menit dengan berjalan kaki. Tapi aku tidak bisa ikut," jelas si pria muda lagi. "Kenapa tidak?" Emilia menghentikan gerakan tangan memasukkan tablet dalam tas. "Area ini terkutuk, aku tidak berani masuk ke sana." Supir itu menggeleng. Emilia menoleh ke belakang, pada Rain yang hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan. Wanita itu lalu mengeluarkan beberapa lembar merah dan diarahkan pada supir. "Kau yakin tidak mau mengantar kami? Aku akan tambah bayaranmu dua kali lipat." Emilia tersenyum kala mengajak bernegosiasi. Pria muda dengan kemeja kusut

  • AMETHYST Pengantin Terkutuk   Ide Gila

    Belum SelesaiDavon menghentikan laju motor sport-nya tepat di depan pagar. Velia yang duduk di belakang segera turun usai menepuk bahu pemuda dengan jaket denim itu. "Thank you, Davon. Tante Lavender the best pokoknya," ujar Velia dengan nada ceria. "Panggil dia Onty," sela Davon mengingatkan. "Sorry, lupa." Velia tergelak teringat kejadian di mansion ketika Lavender Peach protes setelah ia menyebut tante. "Aku langsung balik, ya. Ada kelas satu jam lagi," ujar Davon seraya melihat jam tangannya yang tampak mahal. "Oke, silahkan. Sekali lagi thank you ya." Velia melambaikan tangan. "Yup. Salam untuk Amy," balas Davon lalu menyalakan mesin motor. Sembari melangkah ringan lurus menuju pintu masuk, Velia merogoh clutch guna mencari kunci. Detik berikutnya ia merasa konyol karena menyadari tidak membawa kunci. "Amy?" panggil Velia. Tangannya aktif menyetuk. Hening. Velia mengulang tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya wanita itu duduk di kursi kayu, mengutak-atik ponsel. "Apa

DMCA.com Protection Status