Langit mulai gelap. Namun sepertinya Amy tidak menyadari akan hal itu. Sejak satu jam lalu ia telah tenggelam dalam novel seri pertama karya Lavender Peach milik Velia. Jika sebelumnya Amy tak terlalu suka membaca novel, saat ini ia justru antusias untuk mencapai halaman terakhir. Wanita cantik itu bahkan membatalkan niatnya untuk mengunjungi pasar sore yang terletak beberapa blok dari tempat tinggalnya. Tok. Tok. "Amy? Aku masuk ya?" Terdengar suara Velia usai mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Iya, masuk aja," sahut si empunya kamar tanpa mengalihkan netra dari lembaran novel yang cukup tebal tersebut. Velia mendekati Amy yang nampak serius membaca di sudut ranjang. Ia sedikit takjub karena posisi temannya itu belum berubah sejak satu jam yang lalu. "Ternyata beneran mau baca? Tumben banget," komentar Velia dan Amy hanya menjawabnya dengan senyum simpul. "Mau makan malam apa nih?" lanjut Velia seraya mengamati kuku-kuku pada jarinya yang lentik. "Satu jam lagi aku yang ma
Suasana sibuk di cafe telah menjadi rutinitas terutama ketika hari menjelang sore. Amy seharusnya sudah bersiap pulang mengingat jarum pada jam dinding telah menunjukkan pada angka empat. Namun nyatanya ia masih tetap di tempat. "Totalnya seratus empat puluh enam ribu, Kak," ujarnya disertai senyum ramah pada salah seorang pelanggan. Beberapa menit berlalu, seorang rekan menyikut lengannya hingga berhasil membuat Amy menoleh. Itu adalah kasir untuk shift sore yang baru bisa datang setelah ijin terlambat. "Sorry, My. Kamu bisa pulang sekarang," bisik wanita dengan lesung pipi. Setelah Amy mengangguk, otomatis posisinya digantikan. Amy beristirahat sejenak di kursi dapur, menonton aktifitas tiga pria yang berjibaku membuat pesanan. Tora sesekali melirik ke arahnya, tetapi Amy pura-pura tidak menyadari. Merasa istirahatnya cukup, Amy hendak bangkit dan pulang. Namun sesuatu menarik perhatian Amy. Wanita itu lagi-lagi mendapati kabut tak biasa muncul. Benda asing itu semula hanya ber
Brakk. Amy melempar tas selempangnya begitu saja setelah melepas sepatu dan masuk ke dalam ruang tamu. Namun tidak butuh waktu lama ia segera mengambil tas kembali, berharap ponselnya yang berharga tidak lecet atau bahkan pecah. "Duh, untung aja gak apa-apa," ucapnya pada diri sendiri. Wanita muda itu terduduk, merenungi apa yang ia rasakan. Dalam hati bertanya-tanya mengapa melihat kedekatan Rain dan Emilia membuat hatinya sakit. "Nyebelin!" sungutnya. Entah pada Rain atau pada dirinya sendiri yang seakan memberi tanda ketertarikan. "Lupain, Amy, lupain ...," tegas wanita itu seraya geleng-geleng kepala. Tentu ia harus melupakan kejadian baru saja, termasuk bayangan aneh ketika di dapur cafe tadi. Amy menatap jam dinding, masih butuh dua jam hingga Velia pulang. Selama itu ia akan sendirian. Saat ini hal yang ingin Amy lakukan adalah mandi. Setengah jam berlalu, terdengar seseorang memasuki pagar dan memencet bel rumah. Amy dengan rambut terurai setengah basah beraroma floral
Pukul sembilan lewat lima belas menit. Pria tua pemilik rumah berdiri di balkon lantai dua, pandangannya mengitari situasi pesta bernuansa rustic cozy yang putrinya adakan. Terdengar langkah kaki mendekat, Pak Tino tidak perlu menoleh untuk mengetahui jika yang datang adalah Emilia. Wanita muda itu berjalan dengan tempo sedang dan berhenti tepat di sampingnya. "Ayah tidak ikut turun?" tanyanya pada Pak Tino. "Tidak, ayah tidak suka keramaian. Semua yang kau undang datang?""Tidak semua, ada beberapa yang berhalangan. Tapi bukan masalah." Emilia tersenyum. Nampak moodnya sangat bagus malam ini. "Bagaimana dengan rencanamu untuk minggu depan?" alih Pak Tino. "Ini yang perlu kubahas dengan ayah. Aku butuh Rain." Netra Emilia tertuju lurus pada pria yang kini duduk bersama Gideon. "Kau sudah memiliki tim yang hebat, untuk apa masih membawa Rain?" Pak Tino menoleh. "Ayah pasti setuju pendapatku jika Rain memiliki intuisi begitu kuat. Lagi pula, proyek pertamaku akan menguntungkan Ay
Perlu waktu hampir satu jam untuk Amy sampai di alamat yang sedang dituju. Setelah menaiki bus, saat ini ia berjalan di kawasan perumahan elit. Rumah-rumah mewah berjejer dengan warna pastel yang cantik. Amy sesekali memeriksa alamat yang telah ia tulis pada ponsel sembari terus berjalan. Ia yakin di area inilah tempat Mansion Athania berada. "Jalan L, no. 66 ...." ulang Amy sudah ke sekian kali, sikapnya sama seperti bocah lima tahun yang khawatir lupa ketika diminta membeli sesuatu. Situasi di sekitarnya sepi, hampir tidak ada orang sama sekali. Hingga kemudian, Amy berdiri di depan rumah besar yang lebih tepat disebut mansion terlindungi pagar kokoh nan megah. Ia bisa melihat jika kotak surat berbentuk klasik mempunyai angka enam puluh enam. Setengah ragu, Amy mendekati pagar. Lengang. Bahkan tidak ada kenampakan penjaga atau semacamnya. Tangan Amy terangkat, hendak memencet bel pada interkom. Tapi urung saat mendadak muncul pria berperawakan tinggi dengan pakaian penjaga. "C
Belum SelesaiDavon menghentikan laju motor sport-nya tepat di depan pagar. Velia yang duduk di belakang segera turun usai menepuk bahu pemuda dengan jaket denim itu. "Thank you, Davon. Tante Lavender the best pokoknya," ujar Velia dengan nada ceria. "Panggil dia Onty," sela Davon mengingatkan. "Sorry, lupa." Velia tergelak teringat kejadian di mansion ketika Lavender Peach protes setelah ia menyebut tante. "Aku langsung balik, ya. Ada kelas satu jam lagi," ujar Davon seraya melihat jam tangannya yang tampak mahal. "Oke, silahkan. Sekali lagi thank you ya." Velia melambaikan tangan. "Yup. Salam untuk Amy," balas Davon lalu menyalakan mesin motor. Sembari melangkah ringan lurus menuju pintu masuk, Velia merogoh clutch guna mencari kunci. Detik berikutnya ia merasa konyol karena menyadari tidak membawa kunci. "Amy?" panggil Velia. Tangannya aktif menyetuk. Hening. Velia mengulang tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya wanita itu duduk di kursi kayu, mengutak-atik ponsel. "Apa
Langit mulai gelap ketika Emilia bersama tiga orang lain termasuk Rain berkendara menuju pinggiran suatu kota. Ketika mereka memasuki permukiman, mobil berhenti. Emilia yang semula sibuk dengan tablet di tangan menatap jalanan. "Jalanan di depan tidak bisa dilewati mobil," ujar si supir, pria muda yang hari itu khusus Emilia sewa untuk mengantar mereka ke satu tempat. "Seberapa jauh lagi jaraknya?" Emilia bertanya. "Sepuluh menit dengan berjalan kaki. Tapi aku tidak bisa ikut," jelas si pria muda lagi. "Kenapa tidak?" Emilia menghentikan gerakan tangan memasukkan tablet dalam tas. "Area ini terkutuk, aku tidak berani masuk ke sana." Supir itu menggeleng. Emilia menoleh ke belakang, pada Rain yang hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan. Wanita itu lalu mengeluarkan beberapa lembar merah dan diarahkan pada supir. "Kau yakin tidak mau mengantar kami? Aku akan tambah bayaranmu dua kali lipat." Emilia tersenyum kala mengajak bernegosiasi. Pria muda dengan kemeja kusut
Mendapat shift pagi, tak membuat Amy bersemangat dalam menjalani pekerjaannya di cafe. Sedari tadi ia tak banyak bicara, hanya sesekali menjawab pertanyaan rekan kerja. Namun senyum manis itu tak pernah lupa Amy berikan pada konsumen yang berkunjung. Hingga di saat makan siang, wanita itu beranjak sejenak guna menikmati masakan yang baru Tora buat. Aroma nasi kaldu jamur menggelitik penciuman Amy. Ditambah ayam goreng madu yang seakan memanggil untuk segera disantap. "My, ini nasinya," ujar Tora seraya memberikan sepiring nasi sekaligus ayam. "Iya, makasih," sambut Amy disertai senyuman. "Yang bagianku?" tanya rekan kerja yang lain, Ronald. "Ambil saja sendiri," jawab Tora acuh. "Ck, kalau untuk Amy saja kau gerak cepat," gerutu Ronald sambil berjalan ke dapur. Tora cengegesan sedang Amy memasang mode tak mendengar. Wanita itu meletakkan piring di meja panjang. Tidak ada yang menemaninya makan kali ini. Mereka harus makan bergantian karena situasi cafe yang cukup ramai. Beber
Amy masih berdiri di tengah-tengah ruangan, area yang semula terang mendadak menjadi redup. Sekitar mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkelap-kelip di dinding. Di hadapannya, terhampar sembilan boneka cantik dengan penampilan dan gaya yang berbeda. Setiap boneka entah bagaimana tampak bersinar dengan cahaya aneh, seolah-olah menyimpan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Gadis kecil yang mudah marah maupun tertawa itu berdiri di sisi lain ruangan, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Amy.Gadis aneh itu tersenyum miring, wajahnya berubah-ubah antara kegelapan dan kegilaan. "Pilihlah, tuan putri," katanya dengan suara yang menggema di ruangan itu. "Tapi dengan satu syarat.""Apa itu?""Salah satu boneka ini memiliki benda yang Anda cari. Pil keabadian. Tuan putri hanya boleh memilih satu kali dan ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensi."Amy merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Dia melangkah mendekati boneka-boneka itu, tangannya gemetar saat dia m
Di tepi danau yang tenang, sinar bulan menerobos melalui dedaunan, menciptakan bayangan yang indah di permukaan air. Di tengah hutan yang sunyi, Amy dan Rain bertemu setelah berpisah selama beberapa waktu.Amy dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke danau. Rain mendekatinya dengan langkah mantap. Mereka saling bertatapan, lalu Amy memulai percakapan."Dari mana kamu tahu aku alergi jahe?""Aku tahu semua tentangmu.""Tapi bagaimana ... sudahlah, kemarin, kamu pergi begitu saja," alih Amy dengan suara yang terdengar sedih.Rain terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Maaf, aku tidak ingat. Apa yang terjadi kemarin?"Amy merasa kesal. "Kamu tidak ingat? Kamu datang ke kamarku lalu pergi begitu saja tanpa kata-kata. Aku menunggumu, tapi kamu tidak kembali."Rain menggelengkan kepala. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingat."Amy bangkit dari tempat duduknya, wajahnya memancarkan kekecewaan. "Kamu selalu begitu, Rain. Selalu datang
Permukaan danau yang tenang menarik perhatian Rain selama sesaat. Pria itu menatap datar sembari bersandar pada pilar bangunan penginapan yang berbahan kayu solid. Di belakangnya, beberapa pria muda berbicara dengan nada sedikit bercanda. Meski tak berniat menguping, Rain mampu mendengar mereka sesekali menyebut-nyebut pil keabadian."Apa menurutmu benda itu benar-benar ada?""Yang benar saja. Jika bukan karena Nona Emilia menawarkan bayaran fantastis, aku tidak akan mau repot-repot datang kemari," timpal pria dengan rambut cepak diikuti gelak kecil."Cuma uang yang ada dipikiranmu," seloroh yang lain."Memangnya kau tidak? Realistis saja. Dunia peri dan semacamnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Omong kosong.""Kau terlalu berani. Ck, ck ....""Kita ikuti saja sampai mana nona muda itu mau bersikeras."Seseorang menepuk pundak Rain yang membuat kepala pria itu sedikit menoleh. Gideon kini berdiri di sampingnya, ikut menatap lurus pada permukaan danau yang cantik nan misterius
Dua wanita berdiri berhadapan bagaikan bercermin. Rambut hitam panjang yang sama, juga irish mata ungu gelap yang senada."Siapa kamu? Di mana teman-temanku?" Amy memeluk lengan ketika Amethyst berjalan mendekat. Ketenangan yang wanita itu tunjukkan tak ayal membuatnya tidak nyaman."Mereka baik-baik saja. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan keadaanmu sendiri," balas Amethyst.Jarak mereka tidak sampai satu meter sekarang. Amy masih memberikan tatapan was-was. Ia melirik kamar luas itu, tak menyadari tatapan simpati milik Amethyst."Apa tanda itu sudah muncul?" Amethyst mengangkat tangan seakan ingin menyentuh sosok yang serupa dengannya itu."Tanda apa yang kamu maksud?" tanya Amy, tangannya refleks menyentuh perut. Ia paham makna pertanyaan itu tapi masih berharap semua hanya kesalahan."Lebih awal dari semestinya." Amethyst tersenyum tipis.Bukannya menjawab, Amy memandangi wanita cantik dengan dress putih menutup mata kaki itu. Terpancar jelas kesedihan di matanya. Tak lama berse
Velia mengaduk sup jamur, memastikan rasa dan mematikan kompor tak lama kemudian. Ketika memasuki ruang tengah, tangannya telah membawa nampan berisi dua mangkuk sup yang masih mengepul."Kita makan dulu," ujarnya pada Amy yang fokus membolak-balik halaman buku bersampul hitam."Terimakasih, Vel. Tapi aku belum lapar," tolak Amy tanpa menoleh sama sekali.Mendengarnya Velia hanya mampu menghela napas kasar. Ia letakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk tepat di samping Amy. Amy terlihat tidak terganggu, ia masih terlihat fokus.Percuma sedari tadi ia membuka buku untuk ke sekian kali. Tulisan dalam buku sama sekali tak ia mengerti. Amy mendengkus frustasi. Tangannya meletakkan buku dengan asal di sofa samping lalu ujung secarik kertas tampak menyembul."Kita tidak tahu siapa wanita aneh tadi. Bagaimana kalau dia cuma mau nipu?" Velia yang khawatir hendak menyentuh lengan sahabatnya. Namun ia harus mengurungkan karena Amy saat itu juga berdiri."Villa Putih. Aku harus ke sana sekaran
"Ayo naik!" ajak Tora ketika berhasil menyusul Amy.Amy menatapnya sejenak. Tertegun. Ia sudah ingin membuka suara tapi Tora berucap kembali."Katamu ini tentang nyawa seseorang. Mau naik apa tidak?" Dengan segera Amy menuruti. Pikirannya kembali fokus pada Rain. Meski itu hanya gambaran tidak nyata dari kabut merah, tak dipungkiri rasa khawatir kini menjalari seluruh tubuhnya."Ke mana kita?" tanya Tora lagi sebelum menjalankan kendaraan roda duanya."Rumah kontrakanku, tolong cepat ya," pesan Amy masih dengan wajah kalut.Tora tidak bertanya lagi. Tak berapa lama, mereka pun sampai. Namun bukannya menuju tempat tinggalnya selama beberapa bulan belakangan, Amy justru dengan cepat menghampiri halaman rumah Pak Tino. Tampak Gideon sedang mengutak-atik jam tangan tua di toko barang antik itu."Gideon," panggil Amy yang langsung membuat pria berkacamata mata itu menoleh."Hm? Oh, hai, ada yang bisa kubantu?" tanya pria itu dengan senyum mengembang."Di mana Rain? Aku ingin bertemu denga
Mendapat shift pagi, tak membuat Amy bersemangat dalam menjalani pekerjaannya di cafe. Sedari tadi ia tak banyak bicara, hanya sesekali menjawab pertanyaan rekan kerja. Namun senyum manis itu tak pernah lupa Amy berikan pada konsumen yang berkunjung. Hingga di saat makan siang, wanita itu beranjak sejenak guna menikmati masakan yang baru Tora buat. Aroma nasi kaldu jamur menggelitik penciuman Amy. Ditambah ayam goreng madu yang seakan memanggil untuk segera disantap. "My, ini nasinya," ujar Tora seraya memberikan sepiring nasi sekaligus ayam. "Iya, makasih," sambut Amy disertai senyuman. "Yang bagianku?" tanya rekan kerja yang lain, Ronald. "Ambil saja sendiri," jawab Tora acuh. "Ck, kalau untuk Amy saja kau gerak cepat," gerutu Ronald sambil berjalan ke dapur. Tora cengegesan sedang Amy memasang mode tak mendengar. Wanita itu meletakkan piring di meja panjang. Tidak ada yang menemaninya makan kali ini. Mereka harus makan bergantian karena situasi cafe yang cukup ramai. Beber
Langit mulai gelap ketika Emilia bersama tiga orang lain termasuk Rain berkendara menuju pinggiran suatu kota. Ketika mereka memasuki permukiman, mobil berhenti. Emilia yang semula sibuk dengan tablet di tangan menatap jalanan. "Jalanan di depan tidak bisa dilewati mobil," ujar si supir, pria muda yang hari itu khusus Emilia sewa untuk mengantar mereka ke satu tempat. "Seberapa jauh lagi jaraknya?" Emilia bertanya. "Sepuluh menit dengan berjalan kaki. Tapi aku tidak bisa ikut," jelas si pria muda lagi. "Kenapa tidak?" Emilia menghentikan gerakan tangan memasukkan tablet dalam tas. "Area ini terkutuk, aku tidak berani masuk ke sana." Supir itu menggeleng. Emilia menoleh ke belakang, pada Rain yang hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan. Wanita itu lalu mengeluarkan beberapa lembar merah dan diarahkan pada supir. "Kau yakin tidak mau mengantar kami? Aku akan tambah bayaranmu dua kali lipat." Emilia tersenyum kala mengajak bernegosiasi. Pria muda dengan kemeja kusut
Belum SelesaiDavon menghentikan laju motor sport-nya tepat di depan pagar. Velia yang duduk di belakang segera turun usai menepuk bahu pemuda dengan jaket denim itu. "Thank you, Davon. Tante Lavender the best pokoknya," ujar Velia dengan nada ceria. "Panggil dia Onty," sela Davon mengingatkan. "Sorry, lupa." Velia tergelak teringat kejadian di mansion ketika Lavender Peach protes setelah ia menyebut tante. "Aku langsung balik, ya. Ada kelas satu jam lagi," ujar Davon seraya melihat jam tangannya yang tampak mahal. "Oke, silahkan. Sekali lagi thank you ya." Velia melambaikan tangan. "Yup. Salam untuk Amy," balas Davon lalu menyalakan mesin motor. Sembari melangkah ringan lurus menuju pintu masuk, Velia merogoh clutch guna mencari kunci. Detik berikutnya ia merasa konyol karena menyadari tidak membawa kunci. "Amy?" panggil Velia. Tangannya aktif menyetuk. Hening. Velia mengulang tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya wanita itu duduk di kursi kayu, mengutak-atik ponsel. "Apa