Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Bunda, kok photo profil hape Ayah foto tante-tante? Ini foto siapa, Bun?" Apaaa? Aku tersentak mendengar pertanyaan Giska, anakku satu-satunya yang berusia tujuh tahun. Aku segera membuka kontak ponsel Mas Agung di aplikasi berwarna hijau, dan meng-klik photoprofilnya. Benar saja. Ada foto seorang wanita muda berpakaian seksi dengan rambut sebahu. Segera saja aku save foto itu di galeriku. "Oh itu mungkin teman sekantor Ayah Gis, biasa teman-teman Ayah suka pada iseng," jawabku mencari alasan yang tepat. Agar dia tak berburuk sangka pada Ayahnya. Dan benar saja, sekitar tiga menit kemudian foto profil itu telah berganti menjadi gambar kaligrafi. Mungkin saja tadi Mas Agung salah pencet. Tapi kenapa dia bisa menyimpan foto wanita itu. Lalu siapa sebenarnya wanita itu? Aku harus menyelidikinya. Akupun mengirim foto tersebut menggunakan aplikasi hijau kepada seseorang. [ Do, tolong cek ini foto siapa , cepet nggak pake lama ]Dido adalah teman sekantor suamiku. Dia adalah orang
"Dek, ayo pulang!" Mas Agung menghampiriku di ruang reseptionis yang sudah sepi. Dengan langkah gontai akupun mengikuti suamiku menuju mobilnya. Sekuat tenaga emosi ini kuredam. Biarlah nanti saatnya tiba akan kuhancurkan mereka. Selama perjalanan pulang Mas Agung nampak bahagia. Ia senyum-senyum sendiri. Persis seperti orang sedang jatuh cinta. Tapi lebih mendekati seperti orang gila menurutku. Sementara aku sedang berkirim pesan dengan Corri, asisten pribadiku yang pastinya tidak pernah di ketahui Mas Agung. Corri mengurus semua bisnisku. Termasuk bisnis properti yang selama ini aku jalani secara diam-diam. Teknologi dan alat komunikasi yang canggih sangat membantuku menjalankan bisnis ini dari rumah. Tentunya di saat Mas Agung ke kantor dan pekerjaan rumah terselesaikan. Mobil memasuki halaman. Kamipun sampai di depan rumah ibu mertua. Ya, sejak menikah kami memang menumpang dengan mertua. Mas Agung selalu beralasan tabungannya belum cukup setiap aku memintanya untuk membel
Hari ini aku sengaja masak pagi-pagi sekali. Rencananya sepulang mengantar Giska ke sekolah, aku akan rapat dengan Om Beni dan beberapa pemegang saham perusahaan. Om beni mengadakan rapat di salah satu kantor cabang. Bersyukur nanti aku tidak bertemu dengan Mas Agung atau pun dengan si Yuyun yang berada di kantor pusat. "Assalamualaikum." Terdengar ucapan salam dari luar. Siapa yang pagi-pagi sudah bertamu?Suaranya seperti tidak asing ditelingaku. Lalu terdengar riuh suara anak-anak di ruang tamu. Dengan rasa penasaran, aku melangkah ke depan melihat siapa yang datang. Mataku membelalak melihat Mbak Lastri dan Mas Joko-suami Mbak Lastri, serta ketiga anaknya yang langsung duduk di meja makan. Tanpa rasa malu mereka ikut sarapan bersama Mas Agung ,Ibu dan Giska. Apa-Apaan ini! Semakin lama mereka makin seenaknya. Untunglah aku sudah sarapan duluan di belakang. Aku melongo melihat tamu-tamu tak diundang itu makan tanpa perasaan. Masakan yang aku masak pagi-pagi tadi habis tak
"Seraaa ...!" "Ya, Bu ..." "Kamu kemana aja, sih? Ibu laper. Pusing kepala liat rumah berantakan. Anak-anaknya Lastri itu nakal-nakal banget." Ibu yang baru bangun tidur berjalan keluar kamar menghampiriku. "Rumah sudah aku rapikan, Bu. Ibu sabar ya. Masakan sebentar lagi matang." "Dasar si Lastri seenaknya aja nitip anaknya disini," gumam ibu. Sungguh uniknya ibu mertuaku ini. Jika di depan Mbak Lastri pasti tidak akan berani bicara seperti itu. Justru sebaliknya. Tapi walau bagaimanapun juga. Aku tetap harus menyayangi dan menghormati beliau. Setelah selesai memasak, aku mengajak ibu untuk makan bersama di meja makan. Ibu mertuaku itu pasti sudah sangat lapar. "Bu ... Ibu ..." Terdengar teriakan Mbak Lastri dari luar. "Kalau masuk ke rumah itu ucapkan salam. Jangan malah teriak-teriak," gumamku seraya menikmati makan siang yang masih hangat. "Hey, ini rumahku. Suka-suka aku dong. Kamu cuma numpang di sini. Nggak usah ngatur," ketus Mbak Lastri sambil melotot ke arahku.
Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung. Dan ... yess terbuka. Mataku membelalak melihat chat dari Yuyun berada paling atas. Langsung aku buka, ternyata hanya ada satu chat dan belum di baca. [ oke. sampai besok ya, Mas ] Ini seperti pesan balasan. Berarti sebelumnya mereka saling berkirim pesan. Tapi sepertinya sudah dihapus lebih dulu oleh Mas Agung. Sungguh licik suamiku itu. Aku membuang nafas kasar. Kecurigaanku belum terbukti. Tapi aku tidak akan berhenti sampai disini. Aku akan bongkar semua kebohonganmu, Mas. "Dek, matikan lampunya. Sudah malam." Aku terlonjak mendengar suara Mas Agung. Perlahan aku letakkan kembali ponselnya ketempat semula, lalu mematikan lampu. Aku pun berbaring di samping Mas Agung yang sepertinya sudah kembali berada di alam mimpi. ----- Pagi ini seperti biasa kegiatan rutinku sudah menanti. Memasak, merapikan rumah, mengurus Giska dan Mas Agung. Mungkin mulai bulan depan aku akan mencari asisten rumah tangga. Agar ada
"Kenalkan, saya Yuyun." Wanita itu menyodorkan tangannya padaku. Terlihat kuku-kuku panjangnya yang berwarna merah menyala. "Saya Sera." Akhirnya aku bersalaman juga dengannya. "Ternyata kamu cantik sekali Yuyun, persis ibu kamu waktu muda dulu," puji Ibu membuat wanita itu tersenyum bangga. Yuyun memang memiliki wajah cantik dan berkulit putih. Tubuhnya tinggi dan langsing. Tapi sayangnya kelebihan yang ia miliki digunakan untuk menggoda suami orang. Apa Mas Agung sudah tahu kalau tamunya adalah si Yuyun ? Terdengar suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Mas Agung baru saja pulang. Aku sangat penasaran melihat ekspresi Mas Agung saat melihat Yuyun nanti. "Assalamualaikum." Suara Mas Agung mengucapkan salam dari luar. "Waalaikumsalam." Kami serempak menjawab salam. "Loh, kok Mas Agung ada di sini?" " Yuyun ...?" Mas agung dan Yuyun nampak terkejut dan saling menunjuk. Sepertinya mereka memang benar-benar tidak menyangka akan bertemu di sini. Wajah wanita bermake up teba
"Aku nggak menyangka kalau pemilik perusahaan ini adalah Ayahmu, Ran." Arief menyeruput kopi latte kesukaannya sejak dulu. "Aku juga nggak menyangka kamu ikut andil mengembangkan perusahaan Papaku, Rief," sahutku sambil mengaduk lemon tea panas kesukaanku. Aromanya menguar menyegarkan. "Yang nggak habis pikir itu gue. Selama bertahun-tahun kerja bareng. Baru ini tahu kalau Arief budiman anak Pak Ilham itu adalah teman satu SMA gue," lanjut Dido. Kami tertawa. Sungguh kebetulan yang luar biasa bagi kami. Tiga sekawan di waktu SMA, kembali bersama setelah sekian tahun lamanya. "Maklumlah. Selama ini gue belum pernah ikut meeting bareng direksi," ujar Dido. "Tapi mulai sekarang, lo jadi asisten gue, Do! Ini perintah," tegasku. "Siap, Bu CEO." Arief ternyata sangat menguasai seluk beluk perkembangan perusahaanku. Pak Ilham, Ayah Arief selama ini juga sangat berjasa pada kemajuan perusahaan. "Rief, aku minta kamu dampingi aku dulu selama beberapa bulan kedepan. Bisa?" "Siap, Canti