Share

Bab 4

"Seraaa ...!"

"Ya, Bu ..."

"Kamu kemana aja, sih? Ibu laper. Pusing kepala liat rumah berantakan. Anak-anaknya Lastri itu nakal-nakal banget." Ibu yang baru bangun tidur berjalan keluar kamar menghampiriku.

"Rumah sudah aku rapikan, Bu. Ibu sabar ya. Masakan sebentar lagi matang."

"Dasar si Lastri seenaknya aja nitip anaknya disini," gumam ibu.

Sungguh uniknya ibu mertuaku ini. Jika di depan Mbak Lastri pasti tidak akan berani  bicara seperti itu. Justru sebaliknya.

Tapi walau bagaimanapun juga. Aku tetap harus  menyayangi dan menghormati beliau.

Setelah selesai memasak, aku mengajak ibu untuk makan bersama di meja makan. Ibu mertuaku itu pasti sudah sangat lapar. 

"Bu ... Ibu ..." Terdengar teriakan Mbak Lastri dari luar.

"Kalau masuk ke rumah itu ucapkan salam. Jangan malah teriak-teriak," gumamku seraya menikmati makan siang yang masih hangat.

"Hey, ini rumahku. Suka-suka aku dong. Kamu cuma numpang di sini. Nggak usah ngatur," ketus Mbak Lastri sambil melotot ke arahku.

"Santai, Mbak. Itu muka udah serem jangan di serem-seremin lagi," jawabku tenang tanpa menoleh lagi padanya.

"Eeh ... Lastri, Joko. Ayo sini makan sekalian," sambut ibu yang juga sedang makan bersamaku.

"Nggak usah, Bu. Lastri buru-buru mau pergi arisan. Ini mau ambil anak-anak," jawab Mbak Lastri sambil melangkah ke dapur.

Eh, Kok tumben. Biasanya nyari gratisan melulu. Alhamdulilah masakanku aman.

Tidak lama kemudian Mbak Lastri muncul dari dapur dengan membawa beberapa lembar plastik kiloan.

"Itu plastik untuk apa, Mbak? tanyaku dengan kecurigaan yang meronta-ronta.

"Buat bungkus lauk sama nasi. Nanti aku makan di rumah aja," jawabnya seraya membungkus lauk di meja tanpa perasaan.

Karena jelas-jelas ibu dan aku masih makan.

Tapi meja sudah ia bersihkan, lauknya.

Terdengar ibu membuang napas dengan kasar. Aku lirik beliau dengan sudut mataku. Tidak ada senyum seperti ketika Mbak Lastri datang tadi. Ibu pasti kesal melihat kelakuan anak tertuanya itu. Namun entah mengapa beliau tak pernah bisa untuk menegur mereka.

Untung saja aku sudah antisipasi, memisahkan lauk untuk Giska dan Mas Agung makan malam nanti.

Setelah puas membungkus nasi dan lauk pauk di meja hingga tak bersisa, Mbak Lastri dan anak-anaknya pamit pulang. Ibu hanya menatap kepergian mereka dengan wajah tak menentu. Selama ini Ibu selalu membela anak-anaknya di depanku. Jadi ibu tak akan pernah mengungkapkan kekesalannya terhadap Mbak Lastri, di depanku. Namun jelas terlihat raut marah bercampur sedih dari wajah yang sudah tak muda itu.

-----

Malam sudah larut. Ibu dan Giska sudah terlelap. Tapi Mas Agung belum juga pulang. Aku coba hubungi ponselnya, tapi  tidak aktif.

Lagi-lagi terbayang wajah si Yuyun. Aku coba membuka profile kontak pelakor itu. Masih foto tulisan kaligrafi.

Aku cek statusnya di aplikasi warna hijau, Betapa terkejutnya aku melihat ada foto suamiku sendiri disana, dengan caption 'jadikan aku yang pertama' , entah apa maksudnya.

Mas Agung memang tampan. Wajahnya yang  berahang tegas, mata sedikit sipit dan rambut ikal. Dengan jambang yang tumbuh di sekitar pipi dan dagu, membuat wajahnya semakin menawan. Tidak menutup kemungkinan para wanita diluar sana akan menggodanya. Apalagi Mas Agung saat ini cukup beruntung. Hanya sebagai lulusan Sekolah Menengah Atas, bisa menjadi manager di kantor. Tentu saja ini ada campur tangan Om Beni. Walau aku yakin jabatan yang didapat Mas Agung bukan karena cara kerjanya yang bagus.

Lagi-lagi aku melihat status di kontak si Yuyun.

Huh ! Dasar pelakor nggak tau malu. Pasang status kok foto suami orang. Apa jangan-jangan mereka sedang jalan bareng?

Menjelang tengah malam Mas Agung baru saja pulang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Malam sekali, Mas."

Tanpa menjawab, Mas agung masuk dan langsung membersihkan diri.

Aku mencoba sabar untuk mendengar penjelasannya.

"Mau aku siapin makan?"

Ia menggeleng.

"Aku capek. Seharian meeting di luar. Aku Mau istirahat," ujarnya, lantas naik ke pembaringan.

Aku mengernyitkan dahi. Apa benar ada meeting hingga larut malam begini. Rasanya tidak mungkin.

Terdengar dengkuran halus Mas Agung. Pertanda ia sudah pulas.

Perlahan aku membuka ponselnya. Sayangnya terkunci. Ini mencurigakan. Karena sebelumnya ia tidak pernah pakai angka sandi. Suamiku ini sangat pelupa untuk hal-hal demikian.

Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk. Walau tidak bisa di buka, tapi terlihat nama si pengirim pesan dengan nama Yuyun. Sepertinya mereka sebelumnya saling berkirim pesan. Atau malah mereka baru saja bertemu?

Karena rasa penasaranku yang begitu membara, aku mencoba terus membuka ponsel suamiku. Namun angka sandi apapun tidak berhasil. Dari mencoba tanggal ulang tahun Giska, aku dan Mas  Agung. Tidak ada yang berhasil.

Aku coba mengirim pesan ke Dido.

[Do, lo tahu tanggal  lahirnya Yuyun nggak?]

Lama tidak dibalas. Akhirnya aku mencoba melakukan panggilan ke ponsel Dido berkali-kali. Dan akhirnya  pesanku di balasnya.

[Lo gila! Tengah malam telphon gue cuma buat nanyain gituan]

[Gue pecat lo ! Ngatain CEO gila. Udah buruan cari tahu! ]

Aku ngakak guling-guling, puas ngerjain Dido.

Tak lama pesan dari Dido masuk. Ia memberikan tanggal itu.

A-apa?? Tanggal delapan Mei? Berarti hari ini dong.

Yuyun hari ini berulang tahun?

Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung.

Ternyata ...

Komen (28)
goodnovel comment avatar
Yustien Ekowati
keren sekali ......
goodnovel comment avatar
Intan P.
mas agung ngak selingkuh mungkin judi online wkwk
goodnovel comment avatar
Hanifah Endrastyowati
bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status