"Assalamualaikum" "Waalaikumsalam." Ibu menjawab salamku. Aku menyalami ibu yang matanya tak lepas dari barang-barang bawaanku. Sementara Mbak Lastri juga melotot. Ia pasti paham tas belanjaanku bertuliskan merk barang-barang branded yang ada di dalamnya. Aku pura-pura tidak peduli, lalu sengaja meletakkan semua belanjaanku di atas meja makan. Mas Agung menyusulku ke kamar. "Dek, uang dari mana kamu belanja begitu banyak, hah?" tanyanya dengan wajah memerah. " Ya uangku dong," jawabku tegas. " Dari mana uang segitu banyak? Yang kamu beli ini barang-barang mahal, kan?" "Kamu gimana sih, Mas. Kemarin kamu bilang aku nggak bisa beli baju-baju bagus karena tidak pandai mengatur uang. Sekarang aku sudah beli kamu malah marah-marah. Kamu kan yang menyuruh aku berubah menjadi cantik." Aku mencoba lebih tenang. Mas Agung terdiam. " Gung ..., sini !" Terdengar teriakan ibu memanggil dari ruang tamu. Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius. "Rumah ini satu-satunya harta milik
"Mbak Lastri, besok diminta datang ke kantor untuk test " Tiba-tiba yuyun masuk melewati pintu tembus dari paviliun, ketika kami sedang makan malam. "Wah, beneran, Yun?" Wajah Mbak Lastri berbinar. "Makasih loh, Yun. Ngomong-ngomong kok bisa cepet ya Lastri dapat panggilan? Hebat banget kamu, Yun." Ibu ikut menimpali. "Bukannya Yuyun banyak kenal bos-bos, Bu?" selaku. "Iya dong. Kalau kerja itu harus supel kayak aku. Jangankan level manager, sampai level direkturpun aku kenal." Yuyun berkata dengan nada sombong. "Tuh Sera, contoh itu Yuyun. Besok kalau kamu kerja, sering-sering belajar sama Yuyun." Ibu menasehatiku. APA? Aku nggak salah denger? Mau ngakak sambil salto rasanya. "Betul, Bu. Yuyun kalau di kantor itu ramah dengan semua orang. Makanya banyak yang salah paham dengannya," ujar Mas Agung sambil melirikku. Eh, Apa maksudnya? "Habisnya kamu itu sudah ramah, cantik pula. Pantas aja banyak yang kegeeran. Iya kan?" puji Mbak Lastri. "Sera, kamu belajar dandan sana sa
"Mas, talak aku sekarang juga!" lirihku dengan suara bergetar. Mas Agung terdiam menatapku.Lalu Ia menyeringai. "Kamu itu tidak punya siapa-siapa di dunia ini, Sera. Apa jadinya kamu jika pisah dariku. Mentang-mentang baru dapat kerja, sudah minta cerai. Belum tentu gajimu bisa memenuhi kebutuhanmu dan Giska." Mas Agung berkata seraya tersenyum miring seakan meremehkan. "Sudahlah Sera. Kalau Agung mau menikah lagi dengan Yuyun, ya biarin aja. Yang penting kamu tidak dicerai. Kamu tetap bisa tinggal dan numpang hidup di sini." Ibu ikut menimpali. "Aku lebih baik tinggal di kolong jembatan dari pada satu rumah dengan perempuan pelakor itu," sergahku. Aku segera kembali ke kamar. Mengingat belum mengerjakan kewajiban subuhku. Pagi ini aku tidak menyiapkan keperluan Mas Agung seperti biasa. Hatiku sudah terlanjur patah. Tekadku sudah bulat ingin berpisah. Tak ada lagi yang pantas untuk aku pertahankan di sini. Diam-diam, aku sudah memasukan beberapa pakaian Giska dan keperluan s
[Mobil dan supir sudah nunggu di depan rumah] Sebuah pesan masuk dari Dido. Aku segera keluar menemui Bik Sum. "Ibu Sera ?" Seorang laki-laki setengah tua menghampiriku. "Iya betul. Pak Yono, ya? " laki-laki itu mengangguk. Sebuah mobil Toyota Alphard sudah terparkir di depan rumah Ibu. Pak Yono membawakan koperku. Tidak lama kemudian Pak yono membukakan pintu untukku dan Bik Sum. Sementara itu Mobil Mas Agung baru saja keluar pagar. Nampak mata mereka membelalak melihat aku menaiki mobil mewah itu. Mungkin mereka mengira itu taksi online. Entahlah. Kemudian Pak Yono melajukan mobil menuju sekolah Giska. ----- Dido memang asisten yang bisa di andalkan. Dalam waktu singkat ia bisa menyediakan mobil mewah ini untukku. Bahkan sekaligus dengan supirnya.Kami tiba di sekolah Giska. Aku mengurus perubahan lokasi antar jemput sekolah gadis kecilku itu.Sementara Bik Sum dan Pak Yono menunggu di parkiran. Ketika aku kembali ke mobil, ada sebuah pesan masuk dari Dido.[Bos, ditunggu
Mataku membelalak melihat laki-laki yang tiba-tiba berada di depanku. Kami sama-sama terkejut. Di wajahnya sangat jelas raut tidak suka melihat kehadiranku."Untuk apa lagi kamu menemuiku?" Dengan sombongnya, laki-laki itu bertolak pinggang bertanya padaku. "Sudah aku bilang. Kamu pasti akan hidup susah jika pisah dari aku. Sekarang menyesalkan?" lanjutnya dengan senyum menyeringai.Wow, luar biasa percaya dirinya mantan suamiku ini."Oh ya? Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan susah setelah kita berpisah," sahutku tenang.Wajah laki-laki itu memerah menahan emosi."Pak Agung, diminta menghadap ke bagian keuangan." Seorang office boy menghampiri Mas Agung."Hei Sera, sebaiknya kamu pulang sana! Jangan bikin malu aku dengan penampilanmu yang kampungan ini," hardiknya lagi sebelum melangkah pergi meninggalkanku.Aku membuang nafas kasar. Lenyap sudah tanpa sisa kekagumanku padamu selama ini, Mas. Pantas saja kamu tidak pernah sekalipun mengajakku pergi ke acara-acara kantor atau unda
Kamipun tiba di sebuah hotel bintang lima ternama di kota ini. Mobil toyota alphard milik Arief melaju langsung ke lobby ballroom hotel ini. Petugas hotel membukakan pintu untuk kami. Saat tiba di lobby kami di sambut oleh beberapa panitia. Aku berjalan bersisian dengan Arief. Seperti biasa laki-laki itu selalu tersenyum kepada semua orang. Tak sedikit wanita yang histeris melihat penampilannya malam ini. Aku yang berada di sampingnya memakai gaun yang berwarna sama dengannya, hanya bisa mengurut dada melihat kejadian itu. Kami melangkah di atas karpet beludru berwarna merah di ikuti beberapa staf direksi, memasuki ballroom hotel. Saat melewati barisan para manager yang menyambut di bagian kanan dan kiri, tampak sosok mantan suamiku yang juga turut menyambutku. Terlihat dari sudut mataku si pelakor yang selalu menempel padanya. Sepertinya mereka memang belum mengenaliku. Alunan musik yang di mainkan sekelompok group band ternama, sangat menghibur para undangan. Berbagai Makana
Om beni mengajakku berkeliling, Beliau memperkenalkan aku pada para petinggi-petinggi di perusahaan lain. Sementara Arief tak pernah jauh dariku. Sepertinya Arief sangat terkenal di kalangan para pemimpin perusahaan. Ia sangat ramah dan supel.Aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku dari sudut ruangan. Aku terlonjak ketika melihat wajah wanita itu.Wanita itu tertunduk ketika mata kami bertemu. Aku tersenyum. Akhirnya kamu masuk dalam kekuasaanku, Mbak Lastri. Kamu tidak akan lagi berbuat semena-mena terhadapku. Kamu sangat butuh pekerjaan ini bukan? Bersiaplah menghadapi kenyataan . Malam sudah semakin larut. Para undangan dari perusahaan lain sudah tidak terlihat. Namun para karyawan nampak masih menikmati live musik yang di tampilkan malam ini. Aku bersiap akan pulang.Mataku mengelilingi ruang ballroom mencari keberadaan Arief. Namun laki-laki itu belum juga terlihat. Dido masih sangat sibuk mengawasi dan memberi pengarahan pada panitia acara. Aku mencoba menghubungi A
Hari ini adalah pertama kalinya aku masuk kantor. Aku harus datang lebih awal. Karena pagi ini akan ada briefing dengan segenap kepala divisi dari berbagai cabang. Dengan riasan nuansa natural, atasan kemeja tunik berwarna hijau toska serta celana kulot berbahan wafels putih, tampilanku hari ini terlihat lebih elegan dan berkelas. Tak lupa aku kenakan hijab segiempat berbahan velvet berwarna putih tulang. Dengan hiasan bros berbatu swarovsky. Aku tersenyum puas melihat penampilanku di cermin. "Bunda ..." "Ya sayang." "Ayah kok nggak ikut tinggal di sini sama kita?" Deg.Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Giska. "Ayah harus menemani nenek, sayang." "Bunda ..., aku kangen Ayah sama Nenek." Wajah Giska nampak sedih . "Nanti kalau Bunda ada waktu, kita ke rumah nenek ya," bujukku. "Sekarang Giska berangkat sekolah dulu ya." lanjutku. Seketika wajah Giska nampak berbinar. Dia memang sangat dekat dengan neneknya. "Bik Sum. Nanti siang jemput Giska di lobby. Jangan sampai
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.