"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Bunda, kok photo profil hape Ayah foto tante-tante? Ini foto siapa, Bun?" Apaaa? Aku tersentak mendengar pertanyaan Giska, anakku satu-satunya yang berusia tujuh tahun. Aku segera membuka kontak ponsel Mas Agung di aplikasi berwarna hijau, dan meng-klik photoprofilnya. Benar saja. Ada foto seorang wanita muda berpakaian seksi dengan rambut sebahu. Segera saja aku save foto itu di galeriku. "Oh itu mungkin teman sekantor Ayah Gis, biasa teman-teman Ayah suka pada iseng," jawabku mencari alasan yang tepat. Agar dia tak berburuk sangka pada Ayahnya. Dan benar saja, sekitar tiga menit kemudian foto profil itu telah berganti menjadi gambar kaligrafi. Mungkin saja tadi Mas Agung salah pencet. Tapi kenapa dia bisa menyimpan foto wanita itu. Lalu siapa sebenarnya wanita itu? Aku harus menyelidikinya. Akupun mengirim foto tersebut menggunakan aplikasi hijau kepada seseorang. [ Do, tolong cek ini foto siapa , cepet nggak pake lama ]Dido adalah teman sekantor suamiku. Dia adalah orang
"Dek, ayo pulang!" Mas Agung menghampiriku di ruang reseptionis yang sudah sepi. Dengan langkah gontai akupun mengikuti suamiku menuju mobilnya. Sekuat tenaga emosi ini kuredam. Biarlah nanti saatnya tiba akan kuhancurkan mereka. Selama perjalanan pulang Mas Agung nampak bahagia. Ia senyum-senyum sendiri. Persis seperti orang sedang jatuh cinta. Tapi lebih mendekati seperti orang gila menurutku. Sementara aku sedang berkirim pesan dengan Corri, asisten pribadiku yang pastinya tidak pernah di ketahui Mas Agung. Corri mengurus semua bisnisku. Termasuk bisnis properti yang selama ini aku jalani secara diam-diam. Teknologi dan alat komunikasi yang canggih sangat membantuku menjalankan bisnis ini dari rumah. Tentunya di saat Mas Agung ke kantor dan pekerjaan rumah terselesaikan. Mobil memasuki halaman. Kamipun sampai di depan rumah ibu mertua. Ya, sejak menikah kami memang menumpang dengan mertua. Mas Agung selalu beralasan tabungannya belum cukup setiap aku memintanya untuk membel
Hari ini aku sengaja masak pagi-pagi sekali. Rencananya sepulang mengantar Giska ke sekolah, aku akan rapat dengan Om Beni dan beberapa pemegang saham perusahaan. Om beni mengadakan rapat di salah satu kantor cabang. Bersyukur nanti aku tidak bertemu dengan Mas Agung atau pun dengan si Yuyun yang berada di kantor pusat. "Assalamualaikum." Terdengar ucapan salam dari luar. Siapa yang pagi-pagi sudah bertamu?Suaranya seperti tidak asing ditelingaku. Lalu terdengar riuh suara anak-anak di ruang tamu. Dengan rasa penasaran, aku melangkah ke depan melihat siapa yang datang. Mataku membelalak melihat Mbak Lastri dan Mas Joko-suami Mbak Lastri, serta ketiga anaknya yang langsung duduk di meja makan. Tanpa rasa malu mereka ikut sarapan bersama Mas Agung ,Ibu dan Giska. Apa-Apaan ini! Semakin lama mereka makin seenaknya. Untunglah aku sudah sarapan duluan di belakang. Aku melongo melihat tamu-tamu tak diundang itu makan tanpa perasaan. Masakan yang aku masak pagi-pagi tadi habis tak
"Seraaa ...!" "Ya, Bu ..." "Kamu kemana aja, sih? Ibu laper. Pusing kepala liat rumah berantakan. Anak-anaknya Lastri itu nakal-nakal banget." Ibu yang baru bangun tidur berjalan keluar kamar menghampiriku. "Rumah sudah aku rapikan, Bu. Ibu sabar ya. Masakan sebentar lagi matang." "Dasar si Lastri seenaknya aja nitip anaknya disini," gumam ibu. Sungguh uniknya ibu mertuaku ini. Jika di depan Mbak Lastri pasti tidak akan berani bicara seperti itu. Justru sebaliknya. Tapi walau bagaimanapun juga. Aku tetap harus menyayangi dan menghormati beliau. Setelah selesai memasak, aku mengajak ibu untuk makan bersama di meja makan. Ibu mertuaku itu pasti sudah sangat lapar. "Bu ... Ibu ..." Terdengar teriakan Mbak Lastri dari luar. "Kalau masuk ke rumah itu ucapkan salam. Jangan malah teriak-teriak," gumamku seraya menikmati makan siang yang masih hangat. "Hey, ini rumahku. Suka-suka aku dong. Kamu cuma numpang di sini. Nggak usah ngatur," ketus Mbak Lastri sambil melotot ke arahku.