Hari ini aku sengaja masak pagi-pagi sekali. Rencananya sepulang mengantar Giska ke sekolah, aku akan rapat dengan Om Beni dan beberapa pemegang saham perusahaan. Om beni mengadakan rapat di salah satu kantor cabang. Bersyukur nanti aku tidak bertemu dengan Mas Agung atau pun dengan si Yuyun yang berada di kantor pusat. "Assalamualaikum." Terdengar ucapan salam dari luar. Siapa yang pagi-pagi sudah bertamu?Suaranya seperti tidak asing ditelingaku. Lalu terdengar riuh suara anak-anak di ruang tamu. Dengan rasa penasaran, aku melangkah ke depan melihat siapa yang datang. Mataku membelalak melihat Mbak Lastri dan Mas Joko-suami Mbak Lastri, serta ketiga anaknya yang langsung duduk di meja makan. Tanpa rasa malu mereka ikut sarapan bersama Mas Agung ,Ibu dan Giska. Apa-Apaan ini! Semakin lama mereka makin seenaknya. Untunglah aku sudah sarapan duluan di belakang. Aku melongo melihat tamu-tamu tak diundang itu makan tanpa perasaan. Masakan yang aku masak pagi-pagi tadi habis tak
"Seraaa ...!" "Ya, Bu ..." "Kamu kemana aja, sih? Ibu laper. Pusing kepala liat rumah berantakan. Anak-anaknya Lastri itu nakal-nakal banget." Ibu yang baru bangun tidur berjalan keluar kamar menghampiriku. "Rumah sudah aku rapikan, Bu. Ibu sabar ya. Masakan sebentar lagi matang." "Dasar si Lastri seenaknya aja nitip anaknya disini," gumam ibu. Sungguh uniknya ibu mertuaku ini. Jika di depan Mbak Lastri pasti tidak akan berani bicara seperti itu. Justru sebaliknya. Tapi walau bagaimanapun juga. Aku tetap harus menyayangi dan menghormati beliau. Setelah selesai memasak, aku mengajak ibu untuk makan bersama di meja makan. Ibu mertuaku itu pasti sudah sangat lapar. "Bu ... Ibu ..." Terdengar teriakan Mbak Lastri dari luar. "Kalau masuk ke rumah itu ucapkan salam. Jangan malah teriak-teriak," gumamku seraya menikmati makan siang yang masih hangat. "Hey, ini rumahku. Suka-suka aku dong. Kamu cuma numpang di sini. Nggak usah ngatur," ketus Mbak Lastri sambil melotot ke arahku.
Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung. Dan ... yess terbuka. Mataku membelalak melihat chat dari Yuyun berada paling atas. Langsung aku buka, ternyata hanya ada satu chat dan belum di baca. [ oke. sampai besok ya, Mas ] Ini seperti pesan balasan. Berarti sebelumnya mereka saling berkirim pesan. Tapi sepertinya sudah dihapus lebih dulu oleh Mas Agung. Sungguh licik suamiku itu. Aku membuang nafas kasar. Kecurigaanku belum terbukti. Tapi aku tidak akan berhenti sampai disini. Aku akan bongkar semua kebohonganmu, Mas. "Dek, matikan lampunya. Sudah malam." Aku terlonjak mendengar suara Mas Agung. Perlahan aku letakkan kembali ponselnya ketempat semula, lalu mematikan lampu. Aku pun berbaring di samping Mas Agung yang sepertinya sudah kembali berada di alam mimpi. ----- Pagi ini seperti biasa kegiatan rutinku sudah menanti. Memasak, merapikan rumah, mengurus Giska dan Mas Agung. Mungkin mulai bulan depan aku akan mencari asisten rumah tangga. Agar ada
"Kenalkan, saya Yuyun." Wanita itu menyodorkan tangannya padaku. Terlihat kuku-kuku panjangnya yang berwarna merah menyala. "Saya Sera." Akhirnya aku bersalaman juga dengannya. "Ternyata kamu cantik sekali Yuyun, persis ibu kamu waktu muda dulu," puji Ibu membuat wanita itu tersenyum bangga. Yuyun memang memiliki wajah cantik dan berkulit putih. Tubuhnya tinggi dan langsing. Tapi sayangnya kelebihan yang ia miliki digunakan untuk menggoda suami orang. Apa Mas Agung sudah tahu kalau tamunya adalah si Yuyun ? Terdengar suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Mas Agung baru saja pulang. Aku sangat penasaran melihat ekspresi Mas Agung saat melihat Yuyun nanti. "Assalamualaikum." Suara Mas Agung mengucapkan salam dari luar. "Waalaikumsalam." Kami serempak menjawab salam. "Loh, kok Mas Agung ada di sini?" " Yuyun ...?" Mas agung dan Yuyun nampak terkejut dan saling menunjuk. Sepertinya mereka memang benar-benar tidak menyangka akan bertemu di sini. Wajah wanita bermake up teba
"Aku nggak menyangka kalau pemilik perusahaan ini adalah Ayahmu, Ran." Arief menyeruput kopi latte kesukaannya sejak dulu. "Aku juga nggak menyangka kamu ikut andil mengembangkan perusahaan Papaku, Rief," sahutku sambil mengaduk lemon tea panas kesukaanku. Aromanya menguar menyegarkan. "Yang nggak habis pikir itu gue. Selama bertahun-tahun kerja bareng. Baru ini tahu kalau Arief budiman anak Pak Ilham itu adalah teman satu SMA gue," lanjut Dido. Kami tertawa. Sungguh kebetulan yang luar biasa bagi kami. Tiga sekawan di waktu SMA, kembali bersama setelah sekian tahun lamanya. "Maklumlah. Selama ini gue belum pernah ikut meeting bareng direksi," ujar Dido. "Tapi mulai sekarang, lo jadi asisten gue, Do! Ini perintah," tegasku. "Siap, Bu CEO." Arief ternyata sangat menguasai seluk beluk perkembangan perusahaanku. Pak Ilham, Ayah Arief selama ini juga sangat berjasa pada kemajuan perusahaan. "Rief, aku minta kamu dampingi aku dulu selama beberapa bulan kedepan. Bisa?" "Siap, Canti
"Assalamualaikum" "Waalaikumsalam." Ibu menjawab salamku. Aku menyalami ibu yang matanya tak lepas dari barang-barang bawaanku. Sementara Mbak Lastri juga melotot. Ia pasti paham tas belanjaanku bertuliskan merk barang-barang branded yang ada di dalamnya. Aku pura-pura tidak peduli, lalu sengaja meletakkan semua belanjaanku di atas meja makan. Mas Agung menyusulku ke kamar. "Dek, uang dari mana kamu belanja begitu banyak, hah?" tanyanya dengan wajah memerah. " Ya uangku dong," jawabku tegas. " Dari mana uang segitu banyak? Yang kamu beli ini barang-barang mahal, kan?" "Kamu gimana sih, Mas. Kemarin kamu bilang aku nggak bisa beli baju-baju bagus karena tidak pandai mengatur uang. Sekarang aku sudah beli kamu malah marah-marah. Kamu kan yang menyuruh aku berubah menjadi cantik." Aku mencoba lebih tenang. Mas Agung terdiam. " Gung ..., sini !" Terdengar teriakan ibu memanggil dari ruang tamu. Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius. "Rumah ini satu-satunya harta milik
"Mbak Lastri, besok diminta datang ke kantor untuk test " Tiba-tiba yuyun masuk melewati pintu tembus dari paviliun, ketika kami sedang makan malam. "Wah, beneran, Yun?" Wajah Mbak Lastri berbinar. "Makasih loh, Yun. Ngomong-ngomong kok bisa cepet ya Lastri dapat panggilan? Hebat banget kamu, Yun." Ibu ikut menimpali. "Bukannya Yuyun banyak kenal bos-bos, Bu?" selaku. "Iya dong. Kalau kerja itu harus supel kayak aku. Jangankan level manager, sampai level direkturpun aku kenal." Yuyun berkata dengan nada sombong. "Tuh Sera, contoh itu Yuyun. Besok kalau kamu kerja, sering-sering belajar sama Yuyun." Ibu menasehatiku. APA? Aku nggak salah denger? Mau ngakak sambil salto rasanya. "Betul, Bu. Yuyun kalau di kantor itu ramah dengan semua orang. Makanya banyak yang salah paham dengannya," ujar Mas Agung sambil melirikku. Eh, Apa maksudnya? "Habisnya kamu itu sudah ramah, cantik pula. Pantas aja banyak yang kegeeran. Iya kan?" puji Mbak Lastri. "Sera, kamu belajar dandan sana sa
"Mas, talak aku sekarang juga!" lirihku dengan suara bergetar. Mas Agung terdiam menatapku.Lalu Ia menyeringai. "Kamu itu tidak punya siapa-siapa di dunia ini, Sera. Apa jadinya kamu jika pisah dariku. Mentang-mentang baru dapat kerja, sudah minta cerai. Belum tentu gajimu bisa memenuhi kebutuhanmu dan Giska." Mas Agung berkata seraya tersenyum miring seakan meremehkan. "Sudahlah Sera. Kalau Agung mau menikah lagi dengan Yuyun, ya biarin aja. Yang penting kamu tidak dicerai. Kamu tetap bisa tinggal dan numpang hidup di sini." Ibu ikut menimpali. "Aku lebih baik tinggal di kolong jembatan dari pada satu rumah dengan perempuan pelakor itu," sergahku. Aku segera kembali ke kamar. Mengingat belum mengerjakan kewajiban subuhku. Pagi ini aku tidak menyiapkan keperluan Mas Agung seperti biasa. Hatiku sudah terlanjur patah. Tekadku sudah bulat ingin berpisah. Tak ada lagi yang pantas untuk aku pertahankan di sini. Diam-diam, aku sudah memasukan beberapa pakaian Giska dan keperluan s
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.